METODE
PENELITIAN FIQIH
TUGAS
KELOMPOK 4
DISUSUN
OLEH :
1.
ANDIKA
YUDA PRATAMA (12621021)
2.
DWI
LIQA ADE RISKI (12621008)
3.
ENITA
WAHYUNI J (12621006)
4.
JENI
SAPUTRA (12621030)
5.
WENI
MEYSIN NOVELLA (12621048)
MATA KULIAH : METODE PENELITIAN FIQIH
DOSEN PENGAMPU : BUDI
BIRAHMAT., MIS
PROGRAM
STUDI PERADILAN AGAMA
JURUSAN
SYARIAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
TAHUN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas
pokok perguruan tinggi adalah menyelenggarakan pendidikan yang meliputi
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, yang
dikenal dengan nama ‘’Tri Dharma Perguruan Tinggi’’. Dalam salah satu fungsinya
yaitu menyelenggarakan penelitian dalam rangka pengembangan kebudayaan, khususnya
ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan dan seni.
Penelitian
merupakan tugas kedua dari Perguruan Tinggi yakni menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran. Dan kedudukan penelitian sangat penting karena dalam penelitian
tersebut dilakukan berdasarkan langkah-langkah berpikir ilmiah dalam suatu
kegiatan objektif untuk menemukan dan mengembangkan serta menguji ilmu
pengetahuan berdasarkan prinsip dan teori yang disusun secara sistematis.
Dalam
melakukan penelitian mahasiswa harus memiliki keterampilan khusus yang berbeda
dengan kebanyakan keterampilan yang dihasilkan di bangku kuliah. Oleh karena
itu makalah ini bermaksud membantu mahasiswa dalam menyelesaikan kuliah ketika
mengusulkan penelitian maupun menyusun skripsi. Apabila kurang memahami metode
penelitian, akan banyak mengalami kesulitan dalam memulai menyusun usulan
penelitian. Untuk hal tersebut makalah ini mencoba menguraikan berbagai
penelitian hukum dan berbagai petunjuk dan prosedur yang benar dan tepat dalam
mengusulkan penelitian.
BAB II
PEMBAHASAN
Metode Penelitian Fiqih
A.
Pengertian Desain
Penelitian Hukum Islam
Desain penelitian disebut juga rencana penelitian.
Rencana merupakan suatu kehendak atau keputusan yang dilakukan oleh seseorang.
Rencana bisa juga berarti sebuah usulan (proposal) yang rinci untuk melakukan
atau mencapai sesuatu. Adapun penelitian adalah pengamatan secara sistematis
dan kajian atas bahan dan sumber sesuatu untuk membangun fakta dan kesimpulan.
Jadi yang dimaksud dengan rencana penelitian adalah sebuah keputusan untuk
mengamati atau mengkaji suatu bahan atau sumber secara sistematis.
Pendapat Mohammad Ali Mengenai arti
dari hukum islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama
islam. Hukum islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi
abstrak, dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, dan
dimensi konkret dalam wujud perilaku mempola yang bersifat ajeg dikalangan
orang islam sebagai upaya konkret lagi dalam wujud perilaku manusia (amaliyah),
baik individual maupun kolektif. Hukum islam juga mencakup substansi yang yang
terinternalisasi kedalam berbagai pranata sosial.
Terdapat
dua istilah untuk menunjukkan dan memahami hukum islam yakni syariat islam dan
fiqh islam :[1]
1.
hukum islam dalam dimensi syariat islam merupakan
fungsi kelembagaan yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi sepenuhnya. Hukum
islam dalam dimensi ini merupakan dimensi illahiyah karena diyakini sebagai
ajaran yang bersumber dari Allah. Dalam hal ini hukum islam dipahami sebagai
syariat yang cakupannya sangat luas yang mencakup bidang keyakinan, amaliyah,
dan akhlaq.
2.
hukum islam dalam dimensi fiqh islam yang merupakan
produk daya pikir manusia yang mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip
syariah secara sistematis. Dimensi ini merupakan dimensi insaniyah dalam dimensi
ini hukum islam merupakan upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk memahami
syariat.
Berdasarkan
batasan tersebut di atas sebenarnya dapat dibedakan antara syari’ah dan Hukum
Islam atau Fiqih. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang
digunakannya. Jika syari’at didasarkan pada nash al-Qur’an atau as-Sunnah
secara langsung, tanpa memerlukan penalaran; sedangkan Hukum Islam didasarkan
pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad
dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at. Dengan
demikian, maka jika syari’at bersifat permanen, kekal dan abadi, maka fiqih
atau hukum Islam bersifat temporer dan dapat berubah.
B.
Pendekatan dalam Penelitian Hukum Islam
Dalam
penelitian hukum islam variasi pendekatan dilatar belakangi oleh
dilatarbelakangi sejarah yang cukup panjang antara kondisi pewahyuan dengan
kondisi riil sekarang. Kenyataan seperti ini mau tidak
mau menuntut seorang peneliti untuk memilih pendekatan yang esuai dengan obyek
penelitian beberapa pendekatan pada penelitian hukum islam diantaranya adalah :
1. Pendekatan
historis (Historical approach)
Pendekatan
ini digunakan untuk menelusuri konteks konteks yang melatar belakangi proses
pewahyuan muncul teori asbab annuzul, asbab al-wurud, Prinsip Nasikh dan
Mansukh.
2.
Pendekatan kasus (Case Approach)
Dalam hukum
islam pendekatan kasus dilakukan dengan mempersamakan kasus huku baru dengan
kasus hukum lama yang terdapat ketentuan reasoning-nya dalam teks suci.
Upaya mempersamakan ini dilakukan lantaran terdapat persamaan resoning antarakasus
yang satu dengan kasus yang lain. Kasus seperti ini dalam hukum islam disebut
dengan analogi atau qiyas.
3.
Pendekatan analisis ( Analitical Aproach)
Maksud utama
pendekatan ini adalah mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah
dalam al quran dan hadis, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.
4.
Pendekatan Filsafat ( Phylosophycal Approach)
Dalam
perspektif islam filsafat sangat diapresiasi sehingga salah satu tema bahasan
yang populer dalam kajian hukum adalah hikmah al-tasyri’ wa falsafatuhu
( hikamh dan filsafat pembentukan hukum ). Selain itu terdapat sejumlah kaidah
yang bermuara pada aspek filosofis dibentukknya hukum islam.
5.
Pendekatan perbandingan (Comparative Approach)
Pendekatan
perbandingandilakukan secara dialektis untuk menguki validasi argumen yang di
ketengahkan masing-masing ketentuan hukum yang berbeda. Hal itu disebabkan
karena tidak sebangun visi mereka dalam meresapketentuan ketentuan teks wahyu
yang global dan multi tafsir.
6.
Pendekatan Perundang-undangan( Statute Approach)
Dalam hukum
islam, kerja penelitian mempunyai tujuan untuk menemukan preskripsi (istinbath)
dan sekaligus menerapkan nya di tengah masyarakat. Tujuan menerapkan hukum
ditengah masyarakat sangat memerlukan perangkat legislasi sehingga produk hukum
yang ditemukan tidak sekedar berupa angan-angan di atas awan. Dengan tujuan
seperti ini, pendekatan undang-undang mutlak diperlukan dalam kerja penelitian
hukum.
C.
Wilayah Penelitian Hukum Islam
Fiqih adalah hasil kajian atau
pemahaman para fiqih (fuqaha’) tentang hal-hal yang terkait dengan
perbuatan orang-orang mukallaf , diambil dari dalil-dalil syar’I
(Al-Qur’an dan al-Sunnah) yang rinci. Dimensi hukum islam yang paling dikenal
dalam masyarakat, baik umat islam maupun komunitas ilmiah, adalah fiqh. Adapun
ciri-ciri fiqh:
1.
Didasarkan kepada ayat Al-Qur’an (kitab) dan hadits
(sunnah) yang dicantumkan secara eksplisit dan otentik.
2.
Tersusun secara sistematis, yang dilakukan oleh para
pakar yang memiliki kompetensi. Didalamnya mencakup unsure hokum taklifi (wajib,
mubah, makruh, dan haram) dan hukum wadh’i (sabab, syarat dan mani’)
3.
Terdokumentasi dalam berbagai kitab fiqih, yang
tersebar menurut berbagai aliran pemikiran (madzab) sehingga mudah dipelajari
dan diajarkan.
4.
Mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, yang
disertai kaifiah masing-masing. Dalam berbagai hal pararel dengan pertumbuhan
dan perkembangan pranata social.
5.
Bersifat praktis (‘amaliyah) sehingga mudah
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fiqih dijadikan rujukan dalam
menghadapi masalah hukum yang memerlukan pemecahan segera.
6.
Diajarkan dalam berbagai lingkungan, baik melalui
pendidikan jalur sekolah (termasuk pesantren) dan institusi masyarakat lainnya.
7.
Di transformasikan ke dalam produk badan
penyelenggaraan Negara, baik melalui badan legislatif dan eksekutif maupun
produk dalam pelaksanaan kekuasaan yudikatif (judicial power).
Berdasarkan
ciri diatas dapat disusun wilayah penelitian fiqh sebagai berikut :
1. Model
penelitian dalil fiqih;
2. Model
penelitian kaidah fiqih;
3. Model
penelitian ulama fiqih;
4. Model
penelitian ulama fuqaha;
5. Model
penelitian mazhab fiqih;
6. Model
penelitian kitab fiqih;
7. Model
penelitian substansi Fiqih;
8. Model
penelitian pengajaran fiqih;
9. Model
penelitian institusional fiqih;
10. Model penelitian fiqih dan pola prilaku;
11. Model
penelitian masalah fiqih;
12. Model
penelitian transformasi fiqih;
13. Model penelitian KHI;
14. Model
penelitian perkembangan fiqih;
15. Model
penelitian rujukan prilaku.
Penelitian Dalil Fiqih
Definisi dalil menurut para ulama’: Secara etimology
bermakna menunjukkan ataupun memberi tahu jalan.
Sedangkan
dalil secara terminology:
Sesuatu yang memungkinkan untuk sampai
(pada maksud) melalui pandangan yang benar dalam menetapkan hukum Islam.[2]
Maksudnya adalah sesuatu yang memungkinkan untuk sampai pada masuknya
dalil yang belum diperhatikan oleh mujtahid dalam menemukan hukum baru. Hal ini
merupakan dalil meskipun belum ditunjukkan secara nyata, hal ini masih
berbentuk kemungkinan-kemungkinan. Karena dalil adalah sesuatu yang berhasil
menghantarkan kepada maksud secara nyata. Yang dimaksud pandangan yang benar
adalah pandangan yang tidak rusak apalagi salah sehingga bisa menghasilkan
hukum yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
1.
Pembagian Dalil Berdasarkan Sumbernya.
Dalam semua pembahasan berkaitan dengan dalil maka para ulama telah sepakat
bahwa dalil yang disepakati oleh para ulama terdiri dari empat dalil:
Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Hal itu
ditegaskan oleh Imam syafi’i yang menyatakan: ”Kedudukan ilmu harus berdasarkan
kepada: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Dan ada kesepakatan ulama mengenai
sumber asal empat dalil diatas harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dikarenakan hal ini berhubungan langsung dengan tegaknya agama Islam.
Dengan demikian dalil-dalil baik
yang disepakati maupun masih diperselisihkan yang ada dalam syariah harus
bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, apabila menetapkan hukum tanpa terlebih
dahulu menyandarkan pada kedua dalil tersebut maka harus ditolak dan dibatalkan
demi hukum. Karena kedua dalil tersebut berdasarkan atas wahyu, dan wahyu dari
Allah selalu benar dan tidak pernah bertentangan satu sama lainnya. Dan sumber
dari segala dalil adalah Al-Qur’an.
Imam Ibn Taimiyah menyatakan:
“Sumber hukum syariah adalah Rasulullah SAW, karena Al-Qur’an disampaikan
kepada Rasulullah SAW, dan As-Sunnah muncul sebagai penjelas dari Al-Qur’an,
kedudukan ijma’ dan qiyas harus disandarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Penjelasan diatas memungkinkan kita
untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber segala dalil
yang disepakati keberadaannya, karena keduanya dapat disebut sebagai dalil
naqli, wahyu, syara’, nash, khabar dan semuanya itu
kebalikan dari dalil ‘aqli, pendapat, ijtihad, istinbath hukum.
Dibawah ini dapat dilihat, bahwa
kedua sumber tersebut mempunyai karakteristik yang kuat dalam syariah :
a.
Semuanya berdasar atas wahyu Allah kepada Rasulullah;
b.
Sumber awal dari Al-Qur’an diperoleh dari Rasulullah
SAW, karena kita tidak mendapatkan wahyu langsung dari Allah, tidak juga
melalui Malaikat Jibril as, karena hanya Rasulullah yang mendapatkan wahyu, dan
beliaulah yang berkewajiban menyampaikannya kepada kita;
c.
Allah SWT menjamin keaslian dan kemurnian Al-Qur’an
sebagai sumber hukum selamanya.
d.
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum
untuk hamba-hambanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
e.
Kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti dan
berpedoman pada kedua sumber hukum tersebut selama-lamanya, dan tidak
diperbolehkan untuk meninggalkannya apalagi mengingkarinya.
2.
Pembagian Dalil
Berdasarkan Qath’i Dan Dzanni
a.
Pengertian qath’i
dan dzanni
Pertama: Secara etimology
qath’i dari kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh
dengan cara menghilangkannya atau memotongnya. Tetapi dalam pembahasan ini kata
qath’i bermakna keyakinan, kepastian, sesuatu yang bersifat tetap. Sedangkan secara terminology
bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian
dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
Secara etimology dzanni
bermakna dugaan, persangkaan, sesuatu yang masih membingungkan. Sedangkan secara terminology
bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling
berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
b.
Dalil qath’i
dan dzanni
Dalil qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang
bersifat pasti dan tetap tanpa ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa
merubahnya. Atau bisa juga diartikan: sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi
sanad, dalalah dan sifatnya yang tetap. Ada yang menambahkan: qath’i
adalah sesuatu yang pasti dilihat dari segi matan dan dalalahnya.
Menurut imam Syafi’i: “Apabila ada
nash Al-Qur’an yang sudah jelas dan terang hukumnya, atau apabila ada As-Sunnah
yang disepakati keberadaannya, maka keberadaan keduanya bersifat qath’i,
dan tidak diperbolehkan meragukannya, sehingga jika ada orang yang menolak
untuk menerima nash tersebut dihukumi sebagai orang yang cacat akalnya”. Maksudnya
adalah apabila ada yang menolak keberadaan nash yang qath’i maka harus
dapat memilah apakah sebagian dari nash tersebut sanadnya
bersifat qath’i atau tidak? Apakah nash tersebut dalalahnya
bersifat qath’i atau tidak?. Hal ini memberikan pemahaman bahwa
penelitian dalil nash merupakan penelitian yang harus tepat dan benar,
tidak boleh mengikutkan hawa nafsunya sehingga nash tersebut dapat dinilai qath’i
atau tidak yang nantinya dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Dalil dzanni adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih
mengandung kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan
salah satunya”. Makna lainnya adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya
nash yang tidak qath’i”.
Imam Syafi’i
menyatakan: “Apabila dalam nash As-Sunnah terdapat perbedaan dalam segi
maknanya, maka hal ini dimungkinkan untuk di ta’wil. Atau apabila ada
hadits ahad, maka masih dapat dijadikan hujjah sehingga hadits
ini tidak tertolak, terbuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan oleh umat
Islam”.
3.
Pembagian Dalil Berdasarkan Cara Pengambilannya
Dalil dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi dua; dalil syar’i dan
bukan syar’i: Dalil syar’i adalah dalil yang diperintahkan,
ditunjukkan atau direkomendasikan oleh syara’.
Dalil bukan syar’i adalah
anonym dari dalil syar’i. Dalil ini dapat berupa dalil yang unggul
maupun diunggulkan, dalil shahih maupun rusak, ‘aqli maupun sam’i.
dalil yang bukan syar’i ini bisa datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti:
berbuat, berkata dan memutuskan hukum tanpa pengetahuan. Dalil syar’i dibagi menjadi tiga:
a.
Dalil yang
ditetapkan oleh syara’ yang hadir melalui pendengaran (audio) dan
kutipan (migrasi), dalil ini disebut dengan dalil sima’i (dalil yang
diperoleh melalui pendengaran) dan dalil ini tidak dapat diperoleh melalui
penelitian dan logika. Contohnya adalah berita yang datang dari malaikat dan
penghuni ’Arsy, permasalahan akidah, perintah dan larangan. Semuanya itu dapat
kita ketahui melalui hadits Rasulullah SAW saja;
b.
Dalil yang
keberadaannya ditunjukkan dan yang diperingatkan oleh syara’. Dalil ini disebut
dengan dalil ’aqli. Contohnya dalam masalah perumpamaan, penetapan
keNabian dan penetapan hari kebangkitan.
c.
Dalil yang
diperbolehkan dan direkomendasikan oleh syara’. Dalil yang dimaksud
disini adalah segala yang tertuang dalam hadits Rasulullah SAW dalam bentuk
ilmu kedokteran, kimia, matematika, tehnologi dan sebagainya.
Dalil syar’i ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Dalil ini
benar keberadaannya;
b.
Dalil syar’i
diutamakan daripada dalil yang bukan syar’i;
c.
Dalil syar’i
berupa dalil sam’i dan ’aqli;
d.
Dalil syar’i
berbeda dengan dalil yang bukan syar’i.
Penelitian Kaidah Fiqih
1. Pengertian Fiqh dan Kaidah Ushuliyah
Fiqh menurut
bahasa berarti tahu atau paham Menurut istilah berarti syari’at. Dalam kaitan
ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqh adalah
sekelompok dengan syari’at yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia yang diambil dari nash Alquran atau Al-sunnah. Sedangkan kaidah
ushuliyah adalah Hukum kulli (umum) yang dibentuk menjadi perantara dalam
pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta
kondisi pengguna dalil.
2. Sumber Pengambilan Kaidah Usuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul
fiqh bersumber dari naql (Alquran dan Sunnah), ‘Akal
(prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang
secara terperinci dijelaskan dibawah ini :[3]
a.
Alquran.
Alquran
merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., untuk
membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-undang yang
mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang
bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat
dari segala penyakitnya.
b. As
Sunnah
Allah memberikan kemuliaan kepada
nabi Muhammad saw. dengan mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk
umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat.
Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang
Pengutus yaitu Allah swt., karena siapapun yang menjadi utusan pasti lebih
rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman
yang artinya:” Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran:
144). Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat,
selesailah tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang
di sampaikan oleh rasulullah.
Banyak sekali ayat Alquran yang
menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah merupakan salah satu sumber agama
Islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 53,132,144, 172
juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak
lagi.
c.
Ijma’
Di antara kaidah-kaidah ushul yang
di ambil dari ijma adalah:
a)
Ijma’ Sahabat bahwa hukum yang di hasilkan dari hadis ahad
dapat di terima;
b)
Ijma’ Sahabat bahwa hukum terbagi menjadi 5 macam;
c)
Ijma’ Sahabat bahwa syariat nabi Muhammad menghapus
seluruh syariat yang sebelumnya.
d.
Akal
Akal memiki
kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena tidak akan paham Islam
tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada?
Jika dijawab Alquran, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Alquran benar-benar dari
Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul
quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah swt.? Dan seterusnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam tidak akan dipahami tanpa akal, oleh
karena itulah akal merupakan syarat taklif dalam Islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang
harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri
tanpa syar’i. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah
melalui dalil-dalil al quran dan hadis. Allah lah yang menjadi hakim, dan akal
merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.
e.
Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang
diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah adalah:
1)
Hadis-hadis Ahad zonniyah
2)
Qiyas adalah hujjah
3)
Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu
(naskh)
4)
Orang awam boleh taqlid
5)
Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’
3.
Model Penelitian
a.
Model
Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang teologi dan filsafat, Harun Nasution juga
mempunyai perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam bidang fiqih ini
dituangkan dalam bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap hukum Islam dengan
menggunakan pendekatan Sejarah. Selanjutnya melalui pendekatan sejarah Harun
Nasution membagi perkembangan fiqih dalam empat periode yaitu periode nabi,
periode sahabat, periode ijtihad dan periode taklid. Model penelitian yang
digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif dengan
menggunakan pendekatan sejarah.
b. Model
Noel J.Coulson
Noel J.
Coulson menyajikan hasil penelitiannya dibidang fiqih dalam karyanya yang
berjudul Hukum Ulama dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya bersifat deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan
sejarah. Penelitiannya itu dituangkan ke dalam tiga bagian. Pada bagian
pendahuluan ia mengatakan bahwa problema yang mendasar pada saat ini ialah
adanya pertentangan antara ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang
dinyantakan secara kaku di satu pihak, dan ketentuan-ketentuan masyarakat
modern di pihak lain.
c. Model
Mohammad Atho Mudzhar
Tujuan dari
penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui materi fatwa yang dikemukakan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta latar belakang sosial politik yang melatar
belakangi timbulnya fatwa tersebut. Hasil
penelitiannya di tuangkan ke dalam empat bab
Penelitian Ulama Fuqaha
Terdapat
beberapa kesulitan untuk mengidentifikasi seseorang sebagai ulama. Apalagi
sebagai faqīh (jamak: fuqahā’), diantaranya ialah :[4]
1. Ulama
merupakan gelar atau panggilan kehormatan yang diberikan oleh masyarakat kepada
seseorang yang memiliki tingkat ilmu dan kesalihan tertentu. Panggilan ulama,
diberikan sebagai pengakuan (legitimasi) atas prestasi seseorang dalam
komunitas heterogen, tanpa tatacara dan upacara tertentu.
2. Panggilan
ulama di dalam masyarakat Indonesia merupakan hal yang tidak lazim. Biasanya
orang yang memiliki kualifikasi ilmu dan kesalihan itu diberi gelar dan
dipanggil kyai (Jawa, bahkan nasional), ajĕngan (Sunda, belakangan
ada yang dipanggil: Aa), buya (Minangkabau), teungku
(Aceh), dan tuan guru imam (Bima).
3. Panggilan
kehormatan tersebut diberikan secara informal dan bertahap, terutama oleh
orang-orang yang mengenal secara pribadi terhadap orang yang diberi gelar kehormatan
itu.
4. Biasanya
orang yang diberi panggilan kehormatan bukan semata-mata karena ilmu dan
kesalihannya saja. Tetapi, juga, karena kepemimpinanya di dalam masyarakat
telah teruji. Di satu pihak, ia memiliki keahlian dan kesalihan sebagai
kekuatan dalam mengembangkan inti kebudayaan yang dijadikan rujukannya. Namun
di lain pihak, ia menempati kelompok elite dalam struktur masyarakat. Ia
merupakan salah satu unsur pemimpin dalam masyarakat yang heterogen.
5. Ulama
merupakan pewaris para nabi (al-‘ulamā’ waratsāt al-anbiyā’). Ia
mengemban misi untuk mengaktualisasikan apa yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya dalam realitas kehidupan manusia.
6. Khusus
tentang identifikasi ulama fiqh merupakan kesulitan tersendiri, karena lebih
spesifik. Apalagi bila dibedakan dengan ulama ushul.
Terlepas dari
beberapa kesulitan di atas, menurut Quraish Shihab (1985: 3), dengan merujuk
pada Q. S. Fathir: 28 dan as-Syu‘ara: 197, yang dinamai ulama adalah
orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah
maupun qur’aniyah. Sementara itu, ayat Qur’an yang membicarakan ilmu,
dengan berbagai bentuk kata dan yang sejalan dengan arti kata itu, berjumlah
854 ayat.
Apa yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab menunjukkan bahwa ulama merupakan suatu istilah
umum, yang dalam konteks kehidupan manusia melekat pada ilmuwan atau sebutan
lain, sebagaimana diuraikan di atas, yang disertai sikap istislam dan khasy-yah.
Dengan kata lain, sasaran ilmu adalah ayat-ayat Allah, sedangkan yang memiliki
pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat itu adalah ulama. Hal itu dapat melekat
pada diri faqīh, atau sosiolog, atau fisikawan, sebagai ulama
spesialis yang memiliki sikap istislam dan khasy-yah.
Dengan
kelebihan ilmu yang ditekuninya itu, fuqaha (ulama pada umumnya) berinteraksi
dengan sesamanya dan unsur lainnya, terutama murid dan pengikut mereka,
sehingga memiliki kedudukan, peranan, dan posisi khusus dalam sistem sosial.
Berkenaan dengan hal itu, terdapat ciri-ciri fuqaha dalam konteks sistem sosial
tertentu, yaitu :
1. Fuqaha
merupakan kelompok sosial yang menekuni dan mengembangkan ilmu yang menjadi
keahliannya, yakni fiqh
2. Dengan
kelebihan dan keunggulan ilmu yang dikuasai dan disebarluaskan untuk memenuhi
sebagian kebutuhan hidup masyarakat, fuqaha menempati kedudukan sebagai bagian
dari kelompok pemimpin dalam struktur sosial.
3. Berkenaan
dengan butir pertama dan kedua fuqaha merupakan tokoh masyarakat. Sedangkan
secara kolektif mereka merupakan komunitas tersendiri.
Ciri-ciri
umum yang melekat pada komunitas fuqaha, dan lebih ditekankan pada aspek
kultural. Ciri-ciri tersebut ialah sebagai berikut:
1. Fuqaha
termasuk dalam kualifikasi sebagai ulama yang istislam dan khasy-yah
sebagaimana dikemukakan secara sepintas oleh Quraish Shihab. Keimanan,
kepatuhan, dan kesalihan merupakan unsur dinamika internal di kalangan fuqah
ketika merumuskan dan menerapkan titah Allah dan Rasul-Nya dalam entitas
kehidupan manusia. Apa pun yang mereka lakukan senantiasa berpegang teguh
kepada Qur’an dan Sunnah.
2. Fuqaha
mempunyai kerendahan hati dan kehati-hatian yang sangat tinggi. Mereka menerima
pendapat dari sahabat yang dipandang benar, sebagaimana tercermin dalam dalil
ijma‘.
3. Fuqaha
memiliki keterampilan berpikir kreatif, yakni keterampilan menggunakan proses
berpikir untuk menghasilkan gagasan baru dan konstruktif, baik berdasarkan
konsep dan prinsip yang rasional maupun persepsi dan intuisi, terutama di
kalangan imam mujtahidin.
4. Fuqaha
juga memiliki keterampilan berpikir kritis, yakni kemampuan menggunakan proses
berpikir untuk menganalisis argumen dan memberi interpretasi berdasarkan
persepsi yang sahih dan interpretasi logis.
5. Berkenaan
dengan ciri keempat, fuqaha mengembangkan tradisi dialog melalui halaqah,
terutama dengan para murid dan pengikut mereka.
6. Fuqaha
memiliki tradisi pengembaraan intelektual, dengan mobilitas spasial dalam
kawasan yang sangat luas.
7. Fuqaha
memiliki kemampuan untuk memformulasikan pandangannya dalam bentuk tulisan.
A. Tokoh
Fuqaha
Tokoh dan
komunitas fuqaha pada dasarnya merupakan satu kesatuan. Tokoh merupakan unsur
elite dalam sistem sosial. Ketika tokoh sejenis menjadi salah satu gugus dalam
sistem sosial karena adanya ikatan yang spesifik, maka terbentuk suatu
masyarakat tersendiri, yang dapat disebut sebagai komunitas khusus. Fuqaha,
secara individual merupakan tokoh dalam sistem sosial. Ketika fuqaha itu
terhimpun berdasarkan ikatan kultural, maka menjadi bagian dari struktur dalam
sistem sosial itu. Ia menjadi komunitas (atau bagian dari society),
yang terdiri atas sejumlah fuqaha, yang memiliki ciri-ciri tertentu sebagaimana
dikemukakan di atas. Berkenaan dengan hal itu, untuk keperluan penelitian dapat
dilakukan pemilahan:
1. secara
individual fuqaha diidentifikasi sebagai tokoh;
2. secara
kolektif fuqaha diidentifikasi sebagai komunitas.
Seorang
fuqaha (dalam kosa kata bahasa Arab:
faqīh) adalah anggota komunitas fuqaha. Sedangkan komunitas fuqaha
terdiri atas sejumlah fuqaha. Dalam komunitas itu terdapat tokoh fuqaha yang tersusun
secaca gradual. Tokoh utama dalam komunitas itu adalah imam madzhab dalam suatu
kesatuan komunitas madzhab; atau para imam madzhab dalam keseluruhan komunitas
fuqaha dan madzhab fiqh.
A. Komunitas
Fuqaha
Proses ke
arah pembentukan komunitas dilakukan melalui pola hubungan di antara anggota
dan antar generasi, sejak masa imam mujtahidin hingga kini. Proses itu lebih
berkembang melalui pengembangan madzhab fiqh. Dalam komunitas madzhab itu
terjadi pola komunikasi antara imam madzhab (sebagai tokoh utama) dengan para
murid dan pengikut mereka.
Proses itu
yang dilakukan secara terus menerus, antar generasi, sehingga terjadi jaringan
fuqaha dan matarantai intelektual yang dihubungkan oleh kitab fiqh. Dengan
demikian, jaringan fuqaha hampir identik dengan jaringan dan matarantai kitab
fiqh.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ulama fiqh terdiri
atas tokoh fuqaha dan komunitas fuqaha. Tokoh fuqaha merupakan bagian dari
komunitas fuqaha, sedangkan komunitas fuqaha terdiri atas sejumlah fuqaha.
Dalam masyarakat Islam fuqaha (dan ulama umumnya) menempati posisi penting
karena memiliki kelebihan ilmu yang dapat dijadikan panduan normatif dalam
kehidupan kolektif. Kedua pilahan fokus penelitian itu dapat dilihat dalam
perspektif masa lalu dan perspektif masa kini. Disusun secara dikotomis atau
kontinum. Tokoh fuqaha dapat digambarkan melalui biografi yang bersangkutan.
Sedangkan komunitas fuqaha dapat digambarkan melalui jaringan sosial dan
matarantai intelektual. Kedua fokus itu berpangkal dari wilayah penelitian yang
sangat luas, karena fuqaha merupakan komunitas yang sangat besar yang mengalami
pergantian antar generasi.[5]
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian
terhadap ulama fiqh ditujukan untuk memahami tokoh dan komunitas fuqaha.
Berkenan dengan hal itu, tujuan umum penelitian tentang fuqaha untuk memahami,
mendeskripsikan, dan menjelaskan fuqaha dalam konteks sistem sosial. Dengan
demikian, dapat ditemukan karakteristik dan kontribusi fuqaha dalam
pengembangan fiqh, dan pengembangan peradaban Islam pada umumnya.
Tujuan
penelitian tokoh fuqaha diarahkan untuk memahami dan mendeskripsikan tentang
keunikan tokoh sebagai sosok pribadi dalam konteks komunitas fuqaha dan sistem
sosial. Merujuk pada Model Tokoh Fuqaha, dapat dirumuskan tujuan penelitian
secara rinci, yakni untuk memahami dan mendeskripsikan:
1. Karakteristik
individual fuqaha, berkenaan dengan aspek psikologis, latar belakang keluarga,
dan lingkungan sosial;
2. Pengembaraan
intelektual, berkenaan dengan masa belajar dan perhatiannya terhadap fiqh dan
wacana intelektual lainnya;
3. Afiliasi
komunitas, berkenaan dengan “keanggotaan” dalam komunitas madzhab dan sistem
sosial;
4. Wacana
intelektual berkenaan dengan pemikirannya di bidang fiqh yang dituturkan secara
lisan atau tulisan (kitab fiqh).
Berdasarkan
rincian itu, akan dapat diketahui tentang kedudukan dan posisi tokoh fuqaha
dalam komunitas madzhab dan sistem sosial, secara lebih jelas dan empiris. Hal
itu akan mempermudah untuk menyusun kualifikasi fuqaha, yang selama ini menjadi
bagian dari wacana ushul fiqh, yakni peringkat mujtahid: mujtahid mutlak,
mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid madzhab,
dan seterusnya.
Sementara
itu, penelitian komunitas fuqaha diarahkan untuk memahami dan mendeskripsikan
karakteristik dan keunikan komunitas fuqaha sebagai salah satu kesatuan dalam
komunitas muslim dan sistem sosial. Dengan merujuk pada Model Komunitas Fuqaha,
dapat dirumuskan tujuan penelitian secara rinci, yakni untuk memahami dan
mendeskripsikan:
1.
Basis komunitas fuqaha, berkenaan dengan daya ikat
komunitas tersebut, baik internal madzhab maupun lintas madzhab;
2.
Jaringan komunikasi dalam komunitas madzhab berkenaan
dengan pola hubungan guru-murid dan hubungan kesejawatan dalam komunitas;
3.
Tradisi intelektual dalam komunitas, berkenaan dengan
tradisi transmisi dan sosialisasi pandangan (para) imam madzhab dalam komunitas
atau lintas komunitas;
4.
Matarantai intelektual, berkenaan dengan jaringan
fuqaha dan jaringan kitab fiqh dalam komunitas atau lintas komunitas madzhab.
D. Kegunaan
Penelitian
Pada dasarnya
penelitian fuqaha memiliki kegunaan ganda. Pertama, hasil penelitian dapat
digunakan untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentang fuqaha dalam konteks
sosial, baik masa lalu maupun masa kini. Hal itu mencakup:[6]
1.
Untuk dapat dijadikan bahan dalam merumuskan informasi
abstrak berkenaan dengan mobilitas horizontal dan mobiltas vertikal fuqaha,
sehingga wacana fiqh dan ushul fiqh semakin kaya;
2.
Untuk menata pengkajian dan penelitian fuqaha sebagai
subyek khusus dengan pendekatan holistik. Dengan perkataan lain, ilmu fiqh akan
diperkaya dengan rijāl al-fiqh sebagai subyek baru;
3.
Untuk mengembangkan pengetahuan tentang rijāl
al-fiqh dapat dialihkan ke dalam kegiatan pembelajaran sehingga para
pencari pengetahuan ilmiah akan mendapat informasi mutakhir berkenaan dengan
tokoh dan komunitas fuqaha;
4.
Untuk dijadikan titik tolak bagi penelitian fuqaha
lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun oleh peneliti lain.
Kedua, hasil
penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup manusia, khususnya berkenaan
dengan aspek penataan kehidupan kolektif. Hal itu menyakup:
1. Untuk
mengembangkan apresiasi terhadap tokoh dan komiunitas fuqaha, yang telah
memberikan kontribusi terhadap wacana fiqh dan penataan kehidupan manusia,
khususnya bagi masyarakat Muslim;
2. Untuk
meningkatkan apresiasi terhadap tokoh fuqaha, yang meneladani pengembangan
keterampilan berpikir kreatif dan berpikir kritis, sehingga kegiatan ijtihad
tetap berlangsung;
3. Untuk
meningkatkan apresiasi terhadap tokoh fuqaha, yang meneladani pengembangan
wacana intelektual sebagaimana tampak dalam berbagai kitab fiqh;
4. Untuk
meningkatkan apresiasi terhadap komunitas fuqaha, yang meneladani pengembangan
jaringan komunikasi dan matarantai intelektual, meskipun memerlukan modifikasi
dalam konteks masa kini dan masa yang akan datang.
E. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir
1.
Tinjauan Pustaka
Tokoh dan
komunitas dapat ditarik pada cakupan yang lebih umum, yakni individu dan
masyarakat. Individu merupakan suatu sosok yang utuh. Tidak dapat dipilah dan
dipecah (indivisible). Individu merupakan unsur utama dari masyarakat.
Sedangkan masyarakat merupakan kumpulan individu yang berinteraksi secara terus
menerus berdasarkan ikatan tertentu. Ikatan itu dapat berupa kesamaan tempat
tinggal, atau kesamaan kepentingan, atau kesamaan minat dan keahlian, atau
kesamaan nilai-nilai budaya yang dipegang teguh. Atas perihal tersebut,
terdapat beragam satuan masyarakat manusia karena keragaman pengikat dalam
pergaulan hidup mereka.
Penulisan
biografi tokoh dari berbagai komunitas telah banyak dilakukan, baik yang
ditulis secara khusus maupun yang disusun dalam suatu himpunan. Sedangkan
penelitian tentang pribadi fuqaha sebagai tokoh, relatif terbatas ketimbang
penelitian tentang pemikirannya. Bahkan, penelitian tentang pemikiran fuqaha
biasanya sarat dengan biografi yang bersangkutan, sehingga kurang mencerminkan
model penelitian yang dapat diadaptasi oleh peneliti pemula. Demikian pula,
penelitian tentang komunitas fuqaha atau komunitas madzhab sangat langka.
Kelangkaan semacam itu, memberi peluang kepada peneliti untuk merintis
penelitian tentang tokoh atau komunitas fuqaha itu.
Hasil
penelitian tentang komunitas fuqaha secara khusus masih sulit ditemukan. Bahkan
boleh dikatakan tidak ditemukan. Namun demikian penelitian yang lebih umum,
yakni tentang ulama dan kyai, dapat ditemukan dalam beberapa laporan
penelitian, dengan variasi pendekatan: historis, antropologis, dan sosiologis.
2.
Kerangka
Berpikir
Untuk
mempermudah penelitian kedua fokus penelitian itu, dapat disusun kerangka
berpikir. Selanjutnya, kerangka berpikir ini dijadikan kerangka analitis
terhadap data yang ditemukan di lapangan. Dalam kerangka berpikir penelitian
fuqaha terdiri atas lima komponen inti, yakni :[7]
1.
Keluarga orientasi;
2.
Keluarga prokreasi;
3.
Sistem sosial;
4.
Komunitas;
5.
Tokoh.
Di samping
itu, terdapat empat komponen lainnya, yakni :
1.
Matarantai genealogis;
2.
Jaringan interaksi;
3.
Produk intelektual;
4.
Matarantai intelektual.
F. Langkah-langkah Penelitian
1.
Metode Penelitian
Secara umum
fokus penelitian fuqaha berwujud konteks, meskipun sebagian dapat diketahui
melalui teks. Tokoh fuqaha barada dalam konteks komunitas dan sistem sosial.
Sedangkan komunitas fuqaha berada dalam konteks sistem sosial. Sementara itu,
sistem sosial dapat diidefinisikan sebagai masyarakat Islam, atau masyarakat
bangsa, atau satuan masyarakat lainnya. Selanjutnya, fokus penelitian itu dapat
ditempatkan dalam konteks sistem sosial masa lalu atau konteks masa kini.
Dengan perkataan lain, kedua fokus penelitian tersebut dapat dipandang sebagai
bagian gejala historis atau gejala sosiologis. Karena itu, terhadap fokus
tersebut dapat digunakan pendekatan historis atau pendekatan sosiologis. Hal
itu memberi arah bagi penggunaan metode penelitian yang dipandang paling tepat.
Ketika tokoh
dan komunitas fuqaha itu diidentifikasi sebagai gejala historis, maka
menggunakan metode
penelitian historis. Ketika tokoh dan komunitas fuqaha itu
diidentifikasi sebagai gejala sosiologis, dapat digunakan metode penelitian studi
kasus, salah satu metode penelitian kualitatif yang biasa
digunakan dalam penelitian sosial (Lihat: Yin, 1987). Terdapat beberapa ciri
yang melekat pada metode penelitian ini. Pertama, satuan analisis dipandang
sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terintegrasi. Ia terdiri atas beberapa
unsur yang saling berhubungan. Berkenaan dengan hal itu, fokus penelitian
didekati secara kualitatif dan bersifat holistik. Selain itu, satuan analisis
memiliki hubungan dengan unsur lain di luar dirinya dalam konteks yang lebih
luas, dalam hal ini sistem sosial. Kedua, studi kasus diarahkan untuk menemukan
spesifikasi atau keunikan satuan analisis, dalam hal ini keunikan tokoh
(biografi) atau komunitas fuqaha. Oleh karena itu, memerlukan data yang rinci
dan mendalam. Ketiga, data yang diperlukan itu, dikumpulkan dengan cara
wawancara mendalam atau pengamatan terlibat.
Khusus
mengenai penelitian komunitas fuqaha, dapat digunakan metode penelitian survai,
suatu metode yang lazim digunakan dalam penelitian sosiologis. Misalnya,
tentang hubungan antara tokoh dengan komunitas, atau hubungan antara matarantai
intelaktual dengan produk intelektual, atau hubungan antara komunitas fuqaha
dengan komunitas lainnya dalam satuan sistem sosial. Terdapat beberapa ciri
yang melekat pada metode penelitian ini. Pertama, digunakan bagi penelitian
yang dilakukan dengan paradigma kuantitatif, dalam arti menggunakan uji
statistik, sekurang-kurangnya menggunakan statistik deskriptif (Lihat: Young,
1982; Singarimbun dan Sofian Effendi, 1982). Kedua, data yang dikumpulkan
bersifat aspektual dan relatif besar (sedikit peubah dari satuan analisis yang
banyak). Maksudnya, hanya tentang ciri tertentu dari suatu populasi yang
dihubungkan dengan ciri lainnya. Ciri-ciri itu kemudian didefinisikan sebagai peubah
(variable) penelitian. Ketiga, sumber data, pada umumnya, dipandang
sebagai informan atau responden, yakni orang yang diminta pengetahuan,
pengalaman, atau pendapatnya tentang sesuatu yang dipilih sebagai peubah
penelitian. Keempat, penentuan sumber data dilakukan dengan teknik sampling,
yakni pemilihan sampel yang dipandang sebagai representasi populasi. Berkenaan
dengan hal itu, maka sampel berfungsi sebagai penduga terhadap populasi,
sehingga kesimpulan terhadap sampel berarti sebagai kesimpulan bagi populasi.
Penelitian komunitas fuqaha dengan menggunakan metode ini diarahkan untuk
penarikan kesimpulan umum aspek-aspek komunitas melalui sampel terpilih.
Kelima, berkenaan dengan jumlah sampel yang banyak, pengumpulan data dilakukan
dengan pengajuan daftar pertanyaan kepada informan atau responden. Dalam
penyusunan daftar pertanyaan itu, dilakukan pemilihan dan penggunaan
butir-butir pertanyaan yang disusun secara terstruktur dan rinci.
2.
Sumber Data
Secara garis
besar, data tentang tokoh dan komunitas fuqaha dapat digali dari dua sumber.
Pertama, dari bahan pustaka atau sumber lain yang berisi tentang tokoh dan
komunitas fuqaha. Ia terdiri atas riwayat hidup tokoh dan entitas komunitas
dalam konteks sejarah Islam atau konteks sistem sosial. Kedua, dari informan
atau responden yang dipandang memiliki pengetahuan yang cukup tentang tokoh dan
komunitas fuqaha. Hal yang patut diperhatikan dalam pemilihan dan penentuan
sumber data ialah kesahihan dan ketasdikan sumber. Kesahihan sumber berkenaan
dengan prosedur pemilihan sumber yang digunakan, termasuk teknik pengambilan
contoh dalam paradigma penelitian kuantitatif. Ketasdikan sumber itu berkenaan
dengan keteladalan dan ketepatannya sebagai sumber data.
Prosedur
pemilihan sumber data dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dilakukan
secara acak dalam arti seluruh calon sumber memiliki peluang yang sama untuk
dipilih menjadi sumber data. Dalam penelitian yang diarahkan untuk penarikan
kesimpulan yang bersifat umum, yakni komunitas fuqaha, secara operasional dapat
memilih salah satu dari ragam probability sampling. Misalnya, untuk
melakukan penarikan simpulan tentang tradisi dan matarantai intelektual dalam
komunitas madzhab tertentu dilakukan pemilihan sejumlah fuqaha yang
mencerminkan representasi dari anggota komunitas tersebut. Cara ini hanya
dilakukan bagi penelitian yang berskala besar, dengan menggunakan metode
penelitian survai.
Kedua,
dilakukan secara purposif atau nonprobability sampling, yang
merujuk pada tujuan penelitian. Pemilihan sumber data secara purposif ini,
digunakan dalam metode penelitian sejarah dan metode studi kasus sebagaimana
dikemukakan di atas. Sumber data dipilih dan ditentukan secara terbatas dan
digunakan untuk penelitian berskala kecil. Pemilihan sumber pertama, terutama
tentang tokoh fuqaha, relatif mudah, karena bahan pustaka relatif tersedia.
Sedangkan pemilihan sumber kedua akan mengalami kesulitan, terutama berkenaan
dengan penentuan: siapa yang patut dikualifikasikan sebagai fuqaha yang dapat
dipilih menjadi informan atau responden dalam entitas kehidupan Muslim dewasa
ini. Untuk menentukan sumber data tersebut dapat dipilih salah satu dari tiga
cara, yakni: informant’s rating, atau snow-balling, atau sociometric.
3.
Pengumpulan Data
Sebagaimana
telah dikemukakan, bahwa data dalam penelitian fuqaha terdiri atas teks
(ungkapan tulisan) dan konteks (entitas kehidupan). Sedangkan sumber data
adalah bahan pustaka dan bahan sejenis yang tersimpan dalam perpustakaan; dan
informan atau responden yang tersebar dalam entitas kehidupan Muslim. Berkenaan
dengan hal itu, muncul pertanyaan: bagaimana cara menggali data dari kedua
jenis sumber tersebut? Jawaban atas pertanyaan itu berkenaan dengan cara
pengumpulan data, yang dikenal sebagai metode pengumpulan data. Atas perihal
tersebut, kegiatan penelitian yang mengandalkan data dari bahan pustaka disebut
penelitian kepustakaan. Sedangkan penelitian yang mengandalkan data dari
responden disebut penelitian lapangan. Cara pengumpulan data dari kedua jenis
sumber data itu memiliki ciri dan tahapan kerja masing-masing.
Berkenaan
dengan hal itu, dapat dipilih cara pengumpulan data yang dipandang cocok dengan
cakupan fokus penelitian dan sumber data yang dipilih. Dalam penelitian tpkoh
fuqaha, misalnya, dapat dipilih studi kepustakaan bagi tokoh fuqaha masa lalu.
Atau wawancara bagi tokoh fuqaha masa kini, dalam hal ini informan atau
responden. Dalam penelitian komunitas fuqaha dapat dipilih studi kepustakaan
bagi komunitas fuqaha masa lalu. Sedangkan bagi komunitas masa kini terdapat
beberapa cara pengumpulan data yang dapat dipilih, baik alternatif (tunggal)
maupun kumulatif (gabungan). Apabila dilakukan penggabungan, maka ditentukan
salah satu cara yang diutamakan sedangkan yang lainnya berkedudukan sebagai
penunjang.
a.
Pengumpulan Data Kepustakaan
Apa yang
dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pengumpulan data dalam penelitian tokoh
fuqaha digali dari sumber kepustakaan, demikian pula dalam penelitian komunitas
fuqaha sebagian data digali dari jenis sumber yang sama. Dalam sumber tersebut
tersimpan informasi tentang tokoh dan komunitas fuqaha. Berkenaan dengan hal
itu, pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:[8]
1.
Mengumpulkan bahan pustaka yang akan dipilih sebagai
sumber data, yang berhubungan dengan fokus penelitian. Isi bahan pustaka itu,
sekurang-kurangnya mengandung dua unsur yang mengitari tokoh atau komunitas
fuqaha.
2.
Memilih bahan pustaka tertentu untuk dijadikan sumber
data primer, yang memuat informasi tentang fokus penelitian. Di samping itu,
dilengkapi sumber data sekunder yang menunjang sumber data primer. Pemilahan
sumber data primer atau sumber data sekunder ditentukan oleh peneliti, dengan
merujuk pada fokus dan tujuan penelitian.
3.
Membaca bahan pustaka yang telah dipilih tentang tokoh
atau komunitas fuqaha. Penelaahan isi salah bahan pustaka dicek oleh isi bahan
pustaka lainnya. Apabila perlu, dilakukan berulang-ulang.
4.
Mencatat isi bahan pustaka yang berhubungan dengan
pertanyaan penelitian, baik berupa tokoh maupun komunitas fuqaha. Pencatatan
dilakukan sebagaimana yang tertulis dalam bahan pustaka, dan menghindarkan
pencatatan berdasarkan simpulan peneliti. Catatan hasil bacaan itu
ditulis secara jelas dalam lembaran khusus.
5.
Apabila bahan pustaka itu berbahasa asing, maka
dilakukan penerjemahan isi catatan ke dalam bahasa Indonesia, yakni bahasa yang
digunakan dalam karya tulis di Indonesia. Sementara itu, istilah teknis
akademis dalam wacana fiqh ditulis sebagaimana adanya, dengan penyalinan huruf
(Arab-Latin) dilakukan secara konsisten. Namun demikian, pencarian padanannya
dalam bahasa Indonesia diperlukan. Aspek kebahasaan yang patut diperhatikan
berkenaan dengan kota kata, tata kalimat, dan konteks penulisan.
6.
Menyarikan isi catatan yang telah diterjemahkan menurut
kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh peneliti. Dalam proses ini
diperlukan kehati-hatian karena bahasa yang digunakan memiliki konteks situasi
dan konteks kebudayaan. Selain itu, peneliti dituntut untuk memiliki empati
terhadap teks yang disarikan.
7.
Mengklasifikasikan sari tulisan, yang secara garis
besar terdiri atas dua pilahan, yakni tokoh dan komunitas fuqaha. Proses itu
dilakukan melalui seleksi terhadap sari tulisan yang sudah disusun, mana yang
akan digunakan dan mana yang tidak akan digunakan. Kemudian, mana yang
dipandang pokok, dan mana yang dipandang penting dan penunjang.
8.
Berdasarkan hasil klasifikasi data itu, dilakukan
klasifikasi yang lebih spesifik, yakni subkelas data. Dalam penelitian tokoh
fuqaha, berdasarkan unsur yang tercakup, yakni karakteristik individual,
perjalanan intelektual, afiliasi komunitas, dan wacana intelektual. Sedangkan
dalam penelitian komunitas fuqaha, juga, dipilah menjadi empat subkelas, yakni
basis komunitas, jaringan komunikasi, tradisi intelektual, dan matarantai
intelektual. Dalam proses ini, dapat dilakukan pengodean dan tabulasi data
apabila data yang diperoleh cukup banyak dan bervariasi. Berdasarkan hasil
kerja tahap ini, dilanjutkan langkah penelitian berikutnya, yakni analisis data
meskipun kegiatan analisis data dapat dilakukan sejak awal secara simultan.
b.
Pengumpulan Data Lapangan
Pengumpulan
data dalam penelitian fuqaha dalam konteks sistem sosial masa kini digali dari
sumber data lapangan, yakni dari informan atau responden, yang ditunjang oleh
bahan pustaka. Penggalian data dalam penelitian tokoh fuqaha dilakukan dengan
cara wawancara mendalam. Sementara itu, dalam penelitian komunitas fuqaha dapat
dipilih salah satu: wawancara mendalam, atau kuisioner, atau pengamatan
terlibat. Atau gabungan wawancara dengan pengamatan terlibat. Secara umum, prosedur
pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:
1.
Menyusun alat pengumpul data atau instrumen pengumpul
data, yang berisi beberapa butir pertanyaan yang bersifat umum. Daftar
pertanyaan itu tersusun dalam sebuah panduan wawancara yang menjadi pegangan
peneliti untuk dikembangkan dalam pelaksanaan wawancara. Atau daftar pertanyaan
yang disusun secara terstruktur, khususnya dalam penelitian komunitas fuqaha,
apabila dilakukan dengan menggunakan metode survai. Sementara itu, untuk
pengamatan, peneliti sendiri menjadi instrumen penelitian.
2.
Menghubungi informan atau responden untuk menentukan
kesediaan wawancara, terutama berkenaan dengan subsatansi wawancara, tempat dan
waktu wawancara. Hal ini menjadi penting karena keberhasilan wawancara sangat
tergantung kepada kesediaan informan atau responden untuk menyampaikan
informasi atau pendapatnya secara rinci dan terbuka.
3.
Mengumpulkan data dengan cara wawancara, atau
kuisioner, atau pengamatan terlibat. Sedangkan dalam kuisioner diusahakan agar
isi pertanyaan mudah dipahami oleh responden. Sementara itu, dalam pengamatan
diperlukan kejelian peneliti terhadap apa yang dilihat dan didengar dalam
komunitas fuqaha yang dijadikan fokus penelitian.
4.
Mencatat isi wawancara atau kuisioner atau pengamatan.
Pencatatan isi wawancara cukup dibatasi pada hal-hal yang dipandang penting,
sedangkan isi wawancara secara lengkap direkam dengan menggunakan alat perekam.
Sedangkan pengisian kuisioner relatif mudah dilakukan, apabila dalam daftar
pertanyaan itu telah disusun secara jelas dan rinci. Sementara itu, pencatatan
hasil pengamatan dilakukan secara terus menerus dari apa yang dapat dilihat dan
didengar.
5.
Melakukan pengecekan terhadap hasil wawancara, yang
dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, wawancara ulang apabila hasil
wawancara belum memadai dan ditemukan hal-hal yang belum jelas. Kedua,
dilakukan melalui responden berikutnya apabila kesamaan pandangan antar
responden tampak dengan nyata. Sedangkan pengecekan hasil pengamatan dapat
dilakukan dengan cara yang sama dengan pengecekan hasil wawancara. Sementara
itu, pengecekan kuisioner dilakukan pemeriksaan hasil pengisian oleh responden,
untuk selanjutnya dilakukan seleksi dari kesalahan pengisian kuisioner.
6.
Menyalin hasil wawancara atau penamatan dari ragam bahasa
lisan menjadi bahasa tulisan, sesuai dengan ungkapan responden, atau hasil
pengamatan. Hasil salinan itu dicatat secara lengkap, kemudian dialihkan ke
dalam lembaran khusus. Dalam lembaran itu diberi keterangan tentang: nama
informan atau responden, waktu wawancara, dan tempat wawancara; serta pengodean
berdasarkan unsur yang tercakup dalam fokus penelitian. Hal serupa dilakukan
atas hasil pengamatan dan kuisioner.
7.
Menyarikan isi catatan yang telah disalin ke dalam
bahasa tulisan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh peneliti.
Dalam proses ini diperlukan kehati-hatian, terutama hasil wawancara atau
pengamatan yang dapat disarikan. Di samping itu, hal yang juga penting,
menghidarkan diri untuk memberi komentar, apalagi, penilaian terhadap
hasil wawancara atau pengamatan.
8.
Melakukan konfirmasi dengan informan atau responden
terutama tentang sari hasil wawancara atau pengamatan. Konfirmasi ini dilakukan
untuk memeroleh persetujuan informan atau responden. Selain itu, untuk
menghidarkan kemencengan berdasarkan persepsi atau subyektivitas peneliti.
9.
Mengklasifikasikan data sesuai dengan unsur dan
pertanyaan penelitian yang diajukan. Kemudian, mana yang dipandang pokok, dan
mana yang dipandang penting dan penunjang.
Di samping
itu, tahapan pengumpulan data sebagaimana dikemukakan di atas dalam berbagai
hal kemungkinan mengalami perubahan, terutama wawancara dan pengamatan, karena
hal itu sangat tergantung pada situasi di lapangan. Boleh jadi wawancara dengan
informan atau responden dilakukan lebih dari satu kali apabila data yang
diperoleh belum dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian secara
rinci. Selain itu, dalam penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif
pengumpulan data dan analisis data dapat dilakukan secara simultan dan terus
menerus.
c.
Analisis Data
Tahapan
pengumpulan data sebagaimana diuraikan di atas, sebagian telah memasuki bagian
awal dari analisis data, yakni ketika dilakukan klasifikasi data. Berkenaan
dengan hal itu, pada tahap analisis data dilakukan dengan melibatkan tahapan
penelitian yang telah dilaksanakan. Secara umum analisis data dilakukan dengan
cara menghubungkan dari apa yang diperoleh dari suatu proses kerja sejak awal.
Ia ditujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, untuk menjawab
pertanyaan penelitian dengan menggunakan kerangka berpikir tertentu. Atas
perihal tersebut dapat disusun tahapan analisis data secara terus menerus.
Dalam
penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak pengumpulan data, dengan
tahapan sebagaimana berikut ini. Pertama, data yang telah terkumpul (Data 1)
diedit dan diseleksi sesuai dengan ragam pengumpulan data (kajian bahan pustaka
dan wawancara), ragam sumber (bahan pustaka dan responden), dan pendekatan yang
digunakan (kerangka berpikir), untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
terkandung dalam fokus penelitian. Oleh karena itu, terjadi reduksi data
sehingga diperoleh data halus (Data 2). Dalam proses itu, dilakukan konfirmasi
dengan sumber data (Konfirmasi 1: bahan pustaka; Konfirmasi 2: responden).
Kedua,
berdasarkah hasil kerja pada tahapan pertama, dilakukan klasifikasi data: kelas
data dan subkelas data. Hal itu dilakukan dengan merujuk pada pertanyaan
penelitian dan unsur-unsur yang terkandung dalam fokus penelitian.
Ketiga, data
yang telah diklasifikasikan diberi kode. Kemudian antar kelas data itu disusun
dan dihubungkan dalam konteks model penelitian. Hubungan antar kelas data
tersebut divisualisasikan dalam tabel silang (matriks), atau diagram. Dengan
cara demikian berbagai hubungan antar data dapat dideskripsikan secara verbal,
sehingga diperoleh kesatuan data yang menggambarkan tentang tokoh atau
komunitas fuqaha.
Keempat,
selanjutnya dilakukan penafsiran data berdasarkan salah satu, atau lebih,
pendekatan yang digunakan, yakni: pendekatan historis, atau pendekatan
sosiologis. Ketepatan pendekatan yang digunakan merujuk pada kerangka berpikir
yang dijadikan kerangka analitis.
Kelima,
berdasarkan hasil kerja pada tahapan keempat dapat diperoleh jawaban atas
pertanyaan penelitian. Berdasarkan hal itu, dapat ditarik simpulan internal,
yang di dalamnya terkandung data baru atau temuan penelitian (Data 3). Dalam
proses itu dilakukan konfirmasi dengan sumber data dan sumber lainnya
(Konfirmasi 3: kepustakaan; dan Konfirmasi 4: responden).
Keenam,
menghubungkan apa yang ditemukan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian
tentang fokus serupa, yang pernah dilakukan dalam konteks yang sama atau
berbeda sebagaimana dapat ditemukan dalam tinjauan pustaka. Berdasarkan hal
itu, dapat ditarik simpulan makro dari penelitian tersebut. Dengan cara
demikian, akan tampak makna dan posisi penelitian dalam gugus penelitian yang
tercakup dalam model penelitian fuqaha.
Sementara
itu, analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji statistik
sesuai dengan tingkat akurasi yang diharapkan. Dalam analisis data kuantitatif
diperlukan pemilahan data: nominal, ordinal, dan interval; hubungan antar
pilahan data tersebut. Untuk menuju ke arah itu, apa yang disusun oleh
Singarimbun dan Sofian Effendi (1982: 238), tabel “Ukuran Pengujian Data dalam
Penelitian Sosial”, dapat dijadikan rujukan.
Penelitian Mazhab Fiqih
Menurut Luis Ma’luf yang dikutip
oleh Romli SA, (1999) secara etimologi muqaranah berasal dari kata kerja qarana, yang artinya
membandingkan dan kata muqaranah sendiri, kata yang menunjukan keadaan atau hal
yang berarti membandingkan atau perbandingan. Membandingkan disini adalah
membandingkan dua perkara atau lebih. Adapun mazhab yang berarti aliran atau
paham yang dianut. Yang dimaksud disini adalah mazhab-mazhab hukum dalam islam.
Sedangkan menurut istilah, madzhab bermakna:[9]
a.
Jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang
imam Mujtahid dalam menetapkan suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan
Hadits.
b.
Fatwa
atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum atau peristiwa yang diambil
dari AL-Qur’an dan AL-Hadits.
Menurut ulama fikih
Islam, perbandingan madzhab atau
muqoronatul-madzahib adalah, Mengumpulkan pendapat para imam mujtahidin dengan dalil-dalilnya tentang sesuatu masalah yang diperselisihkann padanya, kemudian membandingkan
dalil-dalil itu satu sama lainnya, agar nampak setelah dimunaqosahkan pendapat mana yang terkut dalilnya.
A.
Perbandingan Mazhab Sebagai Ilmu dan Metode
Istilah perbandingan madzhab
merupakan terjemahan dari kata muqaranah almadzahib. Dalam perkembangan
keilmuan, dikenal juga istilah fiqih muqaran. Para ahli telah berupaya untuk
mendefinisikan istilah tersebut.
Perbandingan madzhab dianggap
sebagai suatu ilmu yang mandiri yang memiliki ontology, epistemology dan
aksiologi tersendiri. Lebih jauh tentang hal ini, Muslim Ibrahim menjelaskan
bahwa perbandingan madzhab adalah salah satu cabang dari fiqih muqaran. Fiqh
muqaran sendiri menurutnya, memiliki empat buah cabang, yaitu muqaranah
al-madzahab fi al-fiqh (dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
“perbandingan madzhab”), muqaranah al-madzahbi fi ushul al-fiqh (ushul
fiqih perbandingan), muqaranah asy-syara’i (perbandingan syariah) dan muqaranah
fi al-qawanin al-wadh’iyyah (perbandingan hukum”).
Secara etimologi muqaranah berarti
membandingkan. Membandingkan dua hal atau dua perkara atau lebih. Menurut
bahasa madzhab berarti jalan atau tempat yang dilalui. Muqaranah madzhab yaitu
bidang yang mengkaji dan membahas tentang hukum yang terdapat dalam berbagai
madzhab dengan membandingkan satu sama lain agar dapat melihat tingkat
kehujjahan yang dimiliki oleh masing-masing madzhab tersebut, serta mencari
segi-segi persamaan dan perbedaannya.
Di samping suatu ilmu yang mandiri,
perbandingan madzhab juga adalah suatu metode. Metode perbandingan madzhab
adalah suatu metode yang para fuqaha berusaha mencari masalah yang
diperselisihkan. Langkah dari metode perbandingan madzhab adalah sebagai
berikut:
a.
Mengutip pendapat-pendapat para fuqaha dari berbagai
madzhab yang diambil dari kitab-kitab madzhab, terutama pendapat yang dianggap
paling kuat;
b.
Mengutip dalil-dalil yang digunakan para fuqaha, baik
dari al-Quran, as-Sunnah, qiyas dengan syarat dalil-dali tersebut yang paling
kuat;
c.
Mengidentifikasi faktor yang menjadi pemicu dari
perbedaan pendapat tersebut;
d.
Mengkritisi kuat atau lemahnya pendapat dan dalil yang
dikemukakan masingmasing fuqaha;
e.
Menarik kesimpulan dan memilih pendapat yang terkuat
dalilnya serta cocok untuk diterapkan.
B. Objek dan Ruang Lingkup
Obyek bahasan ilmu perbandingan
madzhab adalah membandingkan, baik permasalahannya, maupun dalil-dalilnya. Sedangkan yang menjadi ruang lingkup atau sasaran permasalahan ilmu
perbandingan madzhab ialah:
a.
Hukum-hukum
amaliah, baik yang disepakati, maupun yang masih diperselisihkan antara para
mujtahid, dengan membahas cara beritihad mereka dan sumber-sumbeer hukum yang
dijadikan dasar oleh mereka dalam menetapkan hukum;
b.
Dalil-dalil
yang dijadiakan dasar oleh para mujtahid, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, atau dalil-dalil lain yang diakui oleh syara’;
c.
Hukum-hukum
yang berlaku di negara tempat muqorin (pelaku muqoronah) hidup, baik hukum
nasional/positif, maupun hukum international.
Madzhab fiqh dapat dikelompokkan
menjadi tiga madzhab utama yaitu: Sunni, Syi’ah, dan Khawariji. Dari tiga
madzhab itu berkembang madzhab yang lebih kecil, misalnya madzhab Sunni sampai
sekarang berkembang menjadi empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali
(al-Madzahib al-Arba’ah); madzhab Syi’ah berkembang menjadi Madzhab Ja’fari
(Imami), Zaidi, dan Isma’ili; terakhir madzhab Khawarij menyisakan satu madzhab;
madzhab Ibadi.
Ketiga madzhab tersebut mempunyai
karakteristik masing-masing dalam menggali hukum Islam dan menyebarkan
pemahamannya kepada masyarakat. Begitu pula, dalam proses pembentukan dan
penulisan kitab fiqhnya, masing-masing memiliki sistematika yang berbeda. Lebih
tegas lagi, Schacht mengatakan bahwa yurisprudensi hukum Islam lahir dari satu
pusat, yakni madzhab Irak sebagaimana pendapat Goldziher. Madzhab Irak ini
lebih berkembang dan sistematis dibanding madzhab Madinah. Dampak nyata dalam
bentuk penulisan kitab fiqh dapat dilihat dari karya-karya para imam atau murid
imam madzhab fiqh. Misalnya, Kitab-kitab fiqh disusun berdasarkan permintaan
penguasa dan pemerintah pun mulai menganut salah satu madzhab fiqh resmi
negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh
Madzhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan.
Di samping sempurnanya penyusunan
kitab-kitab fiqh dalam berbagai madzhab, juga disusun kitab-kitab usul fiqh,
seperti kitab Ar-Risalah yang disusun oleh Imam Asy Syafi’i. sebagaimana pada
periode ketiga, pada periode ini, fiqh iftiradi semakin berkembang karena pendekatan
yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi
mulai bergeser pada pendekatan teoretis. Selain itu, penulisan sunnah dikenal
dengan “kutub al-sittah”” (Bukhari, Nuslim, Nasai, Ibn Majjah, Dawud, dan
Tirmidzi) yang jumlahnya berpuluh jilid serta penulisan tafsir telah dilakukan
seperti tafsir ibn juraih, Saddi dan Muhammad bin Ishaq yang dikembangkan oleh
Ibn Jarir Ath-Thabari (ulama tafsir terkenal).
Dalam analisis Qordri Azizy,
penulisan kitab-kitab fiqh tidak lepas dari madzhab besar atau imam sebelumnya.
Peralihan dari tradisi ijtihad kepada tradisi taklid pun terjadi sebagai dampak
madzhab besar terhadap para pengikut atau muridnya. Sebagai contoh, uraian yang
terdapat dalam Al-Majmu karya An-Nawawi, Al-Mustasfha, dan Ihya Ulum Ad-Din
karya Al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Mereka juga giat meneliti dan
mengklarifikasikan permasalahan fiqh dan memperdebatkannya dalam forum-forum
ilmiah sehingga dapat diketahui mana pendapat yang disepakati dan mana pendapat
yang diperselisihkan.
Kemudian, mereka bukukan dalam
bentuk kitab seperti Al-Inshaf karya Al-Bathliyusi, Bidaya Al-Mujtahid karya
Ibnu Rusyd (w. 595 H), Al-I’tisham karya Asy-Syatibi dan lain-lainnya yang
merupakan embrio bagi kelahiran ilmu fiqh al-muqaram pada periode selanjutnya.
Fuqaha juga sangat berkreasi dalam
bidang usul fiqh. Mereka mempelajari metode-metode yang dirumuskan oleh fuqaha
sebelumnya, menyempurnakan, dan menganalisis hasil penerapan masing-masing
metode kepada masalah-masalah fiqhiyyah sehingga fase ini telah dapat
menelurkan puluhan kitab dalam bidang qawaid fiqhiyyah.
Sementara itu, madzhab Zaidiyah,
meskipun sedikit, madzhab ini mamiliki format penulisan fiqh, yakni Al-Majmu
[fatwa-fatwa Zaid ibn Ali], baik bidang hadis maupun fiqh, yang dikumpulkan
oleh Abu Khalid ‘Amar bin Khalid Al-Wasithi (w. 150 H) dan al-Raudhu An-Nadhir
Syarh Majmu’ al-Fiqh al-Kabir karya Syafrudin Husein Ibn Ahmad Al-Haimi
Al-Yamini al-Son’ani (1221 H). Adapun kitab resmi Fiqh madzhab Ismaili, Da’aim
al-Islam, karya Numan Ibn Muhammad At-Tamimi (w. 974 H).
Adapun madzhab Khawarij, format
penulisan kitab yang dijadikan rujukan oleh madzhab Ibadiyah adalah Musnad
Ar-Rab’I karya Rabi’ bin Habib al-Farahidi al Umani al-Bashri dan kitab Ashdag
Al-Manahij fi Tamyiz Al-Ibadiyah Min Al-Khawarij karya ulama mutqkhir Ibadi,
Salim bin Hamud.
Penelitian Institusional Fiqih
A.
Fiqh dan
Institusional
Ada semacam kesan bahwa fiqh atau
hukum (syari‘at) Islam pada umumnya, identik dengan hukuman qisas, rajam, dan
potong tangan. Oleh karena itu, bagi mereka yang merasa risih dengan hukuman
yang mengerikan itu, dengan serta merta merasa takut apabila syari‘at Islam
dilaksanakan dalam penyelenggaraan negara.[10]
Sebaliknya, bagi mereka yang berpandangan bahwa hukuman itu merupakan bagian
dari kelengkapan syari‘at Islam yang sangat penting, pelaksanaan hukuman
tersebut dalam penyelenggaraan negara merupakan keniscayaan. Terjadi dua sikap
apriori yang berlawanan.
Sementara itu pelaksanaan syari‘at
Islam melalui pendekatan kultural dalam kehidupan bermasyarakat boleh dikatakan
relatif lancar, meskipun berjalan sangat lambat (“jalur lambat”) dan tidak
memiliki daya ikat dan daya atur secara nasional. Pendekatan itu dilakukan
melalui proses alokasi hukum Islam, terutama fiqh, ke dalam institusi sosial
yang tersedia dalam ruang yang luas dan kurun waktu yang amat panjang. Proses
itu dapat disebut sebagai institusionalisasi
fiqh, yang menjadi subyek utama dalam tulisan ini. Hal itu terjadi
secara bertahap dan berkesinambungan. Setiap tahapan menunjukkan tentang
perubahan alokasi fiqh ke dalam institusi sosial, yang kemudian memeroleh
konkretisasi dalam wujud pola perilaku dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Institusionalisasi itu didasarkan pada asumsi bahwa pada setiap satuan
masyarakat memiliki berbagai institusi sosial sebagai norma-norma yang
dijadikan rujukan dalam memenuhi kebutuhan hidup spesifik. Institusi itu
bersumber dari kebudayaan yang dianut oleh masyarakat (lokal), yang dipelihara
dan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, institusi merupakan produk
interaksi dengan kebudayaan asing yang lebih unggul dan dominan.
Tahapan institusionalisasi fiqh
dapat diuraikan sebagaimana berikut ini :
1.
Tahapan pemahaman substansi fiqh secara individual dan
kolektif.
2.
Tahapan penghargaan terhadap substansi fiqh sebagai
norma perilaku.
3.
Tahapan pematuhan terhadap fiqh sebagai norma pengatur.
Yakni suatu kehendak untuk menundukkan diri kepada fiqh sebagai norma perilaku.
Tingkat kepatuhan antar individu dan kelompok sosial juga sangat bervariasi.
4.
Tahapan pengamalan sebagai wujud nyata atas
pematuhan terhadap norma kehidupan tersebut, sesuai dengan kebutuhan hidup
secara individual dan kolektif.
5.
Tahapan pembiasaan sebagai wujud pengamalan yang
berulang-ulang. Pembiasaan itu diwariskan dari suatu generasi kepada generasi
berikutnya secara turun menurun. Dengan demikian fiqh menjadi bagian dari
entitas kehidupan secara kolektif, yang dapat menjadi ciri spesifik suatu
komunitas dalam satuan masyarakat yang lebih luas.
6.
Tahapan penyerapan atau difusi fiqh ke dalam pola
perilaku kolektif dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam tahapan ini terjadi
interaksi antara fiqh dengan institusi sosial melalui proses adaptasi dan
akomodasi. Selanjutnya terjadi penerimaan atau integrasi fiqh ke dalam
institusi sosial yang telah tumbuh dan berkembang sebelumnya. Integrasi itu
terjadi ketika persamaan substansi dan fungsi fiqh dan institusi sosial lebih
besar ketimbang perbedaannya.
7.
Tahapan pengalokasian fiqh ke dalam institusi sosial
secara optimal dan ajeg, yang kemudian terbentuk suatu institusi sosial
bercorak keislaman (“institusi Islam”). Fiqh diterima sebagai norma pengatur
yang diserap tanpa mengganggu keberadaan dan fungsi institusi sosial yang telah
mapan.
Institusionalisasi fiqh ke dalam
institusi peribadatan di luar yang disyari‘atkan: shalat, shaum, dan haji–
misalnya, merupakan suatu proses alokasi fiqh dalam tata cara dan upacara
keagamaan, baik yang berkenaan dengan peristiwa penting dalam kehidupan manusia
(kelahiran, perkawinan, dan kematian) maupun peristiwa alamiah dalam konteks
kebudayaan tertentu, seperti gerhana matahari, gerhana bulan, dan kemarau yang
berkepanjangan. Simbol dan substansi fiqh secara bertahap menjadi pengarah
utama dalam ritus tersebut. Boleh jadi dalam proses itu alokasi fiqh hanya bersifat
simbolis, atau sekaligus substantif. Dalam masyarakat yang cederung menganut
kebudayaan ekspresif terutama di beberapa negara Asia Selatan dan Asia
Tenggara, khususnya di Indonesia, proses tersebut akan mudah diidentifikasi,
dipahami, dan dijelaskan.
Institusionalisasi fiqh dalam setiap
komunitas tidak selalu berjalan secara simultan. Norma fiqh yang berkenaan
dengan institusi kekerabatan, terutama fiqh munakahah, telah menjadi norma
kehidupan dalam lingkungan masyarakat Islam pada umumnya; dan mendapat
legalisasi di beberapa negara yang ditetapkan melalui peraturan
perundang-undangan. Norma fiqh berkenaan dengan institusi ekonomi, yakni fiqh
muamalah, terutama dalam pengelolaan perbankan (bank syari‘ah) telah menjadi
salah satu alternatif dalam menggerakkan roda perekonomian di beberapa negara.
Institusionalisasi fiqh telah
melahirkan beberapa institusi sosial bercorak keislaman, yakni institusi
peribadatan, institusi kekerabatan, institusi pendidikan, institusi penyiaran,
institusi keilmuan, institusi ekonomi, institusi hukum, institusi politik,
institusi kesehatan, institusi perawatan sosial, dan institusi kesenian.
Kesebelas institusi itu merupakan bagian dari struktur masyarakat Islam, baik
di negara-negara Islam dan negeri-negeri Muslim maupun di negara-negara yang
mayoritas penduduknya non-Muslim. Proses pembentukan, besaran, dan perkembangan
masing-masing institusi tersebut tentu saja sangat beragam.
B.
Fokus
Penelitian
Berikut pemetaan tentang wilayah
penelitian institusionalisasi fiqh. Fiqh dipilah menjadi tujuh bidang,
yakni: fiqh ibadah, fiqh munakahah, fiqh waratsah, fiqh muamalah, fiqh jinayah,
fiqh siyasah, dan fiqh aqdhiyah. Sedangkan institusi sosial dipilah menjadi 11
bidang, yakni: institusi peribadatan. institusi kekerabatan, institusi
pendidikan, institusi penyiaran, institusi keilmuan, institusi ekonomi,
institusi hukum, institusi politik, institusi kesehatan, institusi perawatan
sosial, dan institusi kesenian.
Berdasarkan pemilahan wilayah
penelitian di atas, dapat dilakukan pemilihan model penelitian sesuai dengan
keahlian dan minat peneliti. Namun demikian, dalam tulisan ini hanya
disajikan tiga model penelitian, yang dapat digunakan untuk memahami dan
menjelaskan institusionalisasi fiqh secara keseluruhan maupun masing-masing
bidang fiqh. Ketiga model tersebut terdiri atas:
1.
Model Proses Institusionalisasi Fiqh (MPIF);
2.
Model Integrasi
Fiqh dalam Institusi Sosial (MIFI);
3.
Model Peranan Tokoh Masyarakat (MPTM).
Ketiga model tersebut menunjukkan
tentang aspek dinamis alokasi fiqh dalam institusi sosial. Model itu dapat
diterapkan dalam satuan komunitas yang amat dekat dengan kehidupan peneliti,
baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Dengan demikian, penelitian akan dapat
dilakukan dengan mudah dan memperoleh manfaat yang lebih nyata. Di samping
ketiga model tersebut dapat disusun dan dirumuskan model lain, dengan merujuk
pada cakupan wilayah penelitian.
1.
Model Proses Institusionalisasi Fiqh
Fokus penelitian MPIF lebih
ditekankan pada tahapan difusi dan alokasi fiqh ke dalam institusi soal,
sebagaimana telah dikemukakan, yakni pemahaman, penghargaan, pematuhan,
pengamalan, pembiasaan, penyerapan, dan pengalokasian fiqh. Namun demikian
dalam model ini hanya dicantumkan empat tahapan yang kemudian dijadikan unsur
fokus penelitian: pemahaman, pematuhan, pengamalan, dan penyerapan fiqh (PPPP).
Hal itu disusun untuk menyederhanakan unsur fokus penelitian. Bahkan, apabila
keempat unsur itu dipandang terlalu rumit, maka unsur fokus penelitian dapat
dikurangi.
2.
Model Integrasi Fiqh dalam Institusi Sosial
Fokus penelitian MIFI lebih
ditekankan pada wujud akomodasi atau penerimaan fiqh ke dalam institusi sosial
yang tersedia. Dalam model ini terdiri atas empat unsur, yakni substansi fiqh,
potensi integrasi, proses integrasi, dan bentuk integrasi (SPPB). Dalam fokus
ini institusionalisasi fiqh dipandang sebagai sesuatu “yang telah diketahui”.
Sedangkan keempat unsur fokus penelitian tersebut dipandang sebagai sesuatu
“yang belum diketahui”. Bila keempat unsur fokus itu dipandang sangat rumit, dapat
dilakukan pengurangan salah satu unsur.
3.
Model Peranan Tokoh Masyarakat
Fokus penelitian MPTM lebih
ditekankan aktualisasi diri tokoh masyarakat dalam proses alokasi fiqh ke dalam
institusi sosial. Dalam model ini terdiri atas empat unsur, yakni kedudukan
tokoh, kegiatan tokoh, partisipasi pengikut, dan perubahan institusi (KKPP).
Dalam fokus ini institusionalisasi fiqh dipandang sebagai sesuatu yang telah
diketahui. Sedangkan keempat unsur fokus tersebut dipandang sebagai sesuatu
yang belum diketahui.
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Penelitian institusionalisasi fiqh
dapat dikatakan masih amat langka, meskipun gejala itu dengan mudah dapat
ditemukan di mana pun dan kapan pun. Untuk memahami dan menjelaskan struktur,
fungsi, dan perkembangan institusi bercorak keislaman memerlukan beragam
pengetahuan dalam ilmu fiqh, ilmu-ilmu budaya, dan ilmu-ilmu sosial. Kelangkaan
penelitian “akar” itu boleh jadi karena dipandang tidak penting, atau
sebaliknya. Institusi itu dapat diketahui secara kasat mata dan tidak aneh.
Atau boleh jadi memadukan beragam ilmu untuk memahami dan menjelaskan “akar”
tersebut merupakan suatu kesulitan tersendiri. Padahal dengan menggunakan
beragam ilmu itu, “akar” kehidupan masyarakat Islam akan dengan mudah untuk
diidentifikasi, dipahami, dan dijelaskan.
Berkenaan dengan kedua hal di atas,
tujuan penelitian dapat dirumuskan mulai dari yang sederhana hingga yang rumit.
Secara umum, tujuan yang paling sederhana adalah untuk mengidentifikasi
institusionalisasi fiqh dalam suatu satuan masyarakat. Sedangkan tujuan
penelitian yang dipandang rumit adalah untuk memahami dan menjelaskan
institusionalisasi fiqh itu dalam suatu satuan masyarakat dengan memperhatikan
perubahan-perubahan yang terjadi. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa
institusionalisasi fiqh merupakan suatu rangkaian perubahan sebagaimana
tergambarkan dalam ketiga fokus di atas. Bila penelitian tentang ketiga fokus
itu dilakukan dalam beberapa satuan masyarakat secara terus menerus, maka akan
ditemukan pola institusionalisasi fiqh.
Tujuan penelitian proses
institusionalisasi fiqh untuk memahami atau menjelaskan tahapan pengalokasian
fiqh ke dalam institusi sosial secara linier. Boleh jadi tahapan tersebut
terjadi secara evolusioner. Di samping itu, mungkin juga terjadi secara
revolusioner. Pada tiap tahapan itu berkenaan faktor penunjang dan penghambat,
serta arah institusionalisasi fiqh. Bila penelitian itu dilakukan dalam
beberapa satuan masyarakat yang beragam, maka akan ditemukan pola tahapan
institusionalisasi fiqh.
Tujuan penelitian peranan tokoh
masyarakat dalam institusionalisasi fiqh adalah untuk memahami atau menjelaskan
tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh pemimpin masyarakat dalam
institusionalisasi fiqh. Hal itu didasarkan pada asumsi bahwa pemimpin
masyarakat memiliki kemampuan memengaruhi atau menggerakkan para pengikutnya
untuk berpartisipasi dalam institusionalisasi fiqh. Kemampuan tersebut akan
sangat bervariasi, tergantung pada tipe kepemimpinan yang dianut dan intensitas
hubungan antara pemimpin dengan para pengikut yang bersangkutan.
2.
Kegunaan Penelitian
Penelitian institusionalisasi fiqh
memiliki beberapa kegunaan. Pertama,
hasil penelitian berguna untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentang fiqh
dalam entitas kehidupan. Fiqh bermula sebagai jawaban atas masalah hukum yang
dihadapi dalam memenuhi kebutuhan hidup spesifik dari berbagai satuan
masyarakat Muslim yang tersebar di berbagai lingkaran kebudayaan. Atas perihal
tersebut, kegunaan penelitian institusionalisasi fiqh mencakup:
a.
Untuk menemukan anatomi dan dinamika institusionalisasi
fiqh dalam berbagai satuan masyarakat yang majemuk dan multikultural, sehingga
wacana fiqh semakin kaya;
b.
Untuk menata pengkajian institusionalisasi fiqh sebagai
salah satu subyek pengkajian fiqh sehingga pengkajian fiqh lebih bervariasi dan
dinamis;
c.
Untuk dialihkan ke dalam kegiatan pembelajaran sehingga
para pencari pengetahuan ilmiah akan memperoleh informasi mutakhir berkenaan
dengan institusionalisasi fiqh, yang pada ujungnya kompetensi ilmiah yang bersangkutan
akan lebih bermutu;
d.
Untuk dijadikan titik tolak bagi kegiatan penelitian
institusionalisasi fiqh lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan
maupun oleh peneliti lain, sehingga kegiatan penelitian akan dilakukan secara
berkesinambungan.
Kedua, hasil
penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup manusia, khususnya berkenaan
dengan aspek penataan kehidupan kolektif. Ia mencakup: Untuk mengembangkan
apresiasi terhadap institusionalisasi fiqh sebagai inti kebudayaan dalam
masyarakat Islam, Untuk meningkatkan apresiasi terhadap institusionalisasi fiqh
yang beragam, sehingga muncul toleransi yang tinggi atas keberagaman pemahaman
fiqh dan norma-norma kehidupan masyarakat pada umumnya, Untuk dijadikan salah
satu bahan rujukan dalam proses penataan kehidupan manusia yang semakin pelik
dan rumit, termasuk kehendak untuk melaksanakan syari‘at Islam dalam masyarakat
majemuk dan multikultural.
D.
Tinjauan
Pustaka dan Kerangka Berpikir
1.
Tinjauan Pustaka
Ketika terjadi interaksi antar
masyarakat (etnis atau bangsa), maka dengan sendirinya terjadi interaksi antar
kebudayaan. Interaksi itu terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat
yang memiliki tradisi mengembara (centrifugal) berinteraksi dengan
masyarakat yang memiliki tradisi menetap (centripetal). Dalam interaksi
itu akan terjadi difusi kebudayaan. Kebudayaan tinggi yang unggul memengaruhi
kebudayaan rendah yang marjinal. Bahkan, kebudayaan tinggi itu dapat
mendominasi kebudayaan rendah, baik melalui infrastruktur maupun suprastruktur
sosial. Hal itu terjadi melalui penyebaran agama (dunia), kesepakatan antar
anggota satuan masyarakat, dan penjajahan dengan pengerahan kekuatan militer.
Hal terakhir dilakukan melalui invasi dan agresi oleh bangsa yang kuat terhadap
bangsa yang lemah. Berkenaan dengan hal itu, dewasa ini, kebudayaan Barat
(Eropa Kontinental dan Anglo-Amerika) sangat dominan dalam kehidupan masyarakat
dunia. Hal itu amat tampak dalam sistem hukum nasional di berbagai negara bekas
jajahan, yang diadopsi dari civil law system dan common lawsystem karena
telah terjadi penetrasi kebudayaan melalui penjajahan.
Ketika terjadi difusi kebudayaan,
dalam hal institusionalisasi fiqh, maka muncul hubungan yang saling
menguntungkan (mutual symbiotic) atau terjadi integrasi. Dari beberapa
hasil penelitian dalam lingkungan masyarakat etnis di Indonesia, misalnya,
menunjukkan tentang hal itu.
Teori difusi atau asimilasi
kebudayaan merupakan salah satu unsur informasi yang dapat digunakan untuk
memahami institusionalisasi fiqh terutama berkenaan dengan fokus penelitian
yang dipilih. Oleh karena itu, pengkajian pustaka tentang teori tersebut dan
aplikasinya dalam kegiatan penelitian merupakan kegiatan lanjutan setelah fokus
penelitian dirumuskan. Selanjutnya, hasil kajian pustaka itu dikemukakan
sebagai tinjauan pustaka sesuai dengan cakupan fokus penelitian.
2.
Kerangka Berpikir
Secara sepintas institusionalisasi
fiqh amat sederhana, hanya mencari unsur-unsur kesamaan antara fiqh dengan
norma lokal yang dianut. Akan tetapi, di balik kesederhanaan tersebut terdapat
jaringan hubungan antar unsur yang sangat rumit. Dalam jaringan itu, terjadi
perubahan secara terus menerus pada setiap tahapan institusionalisasi fiqh.
Selanjutnya, untuk menyederhanakan instutisionalisasi fiqh dalam suatu satuan
masyarakat, dapat disusun suatu kerangka yang dapat menggambarkan hubungan
antar unsur dalam suatu kesatuan fokus penelitian sebagaimana telah dikemukakan
di atas.
Berkenaan dengan hal itu, dapat
disusun dan dirumuskan kerangka berpikir institusionalisasi fiqh secara umum,
sebagai rujukan dalam merumuskan kerangka berpikir pada masing-masing fokus
penelitian. Fokus tersebut terdiri atas lima unsur, yaitu: (1) Fiqh sebagai
norma kehidupan yang dipahami dan diamalkan; (2) Norma lokal yang diwariskan
secara turun temurun; (3) Peranan tokoh masyarakat; (4) Partisipasi pengikut
dan masyarakat pada umumnya; (5) Institusionalisasi fiqh sebagai titik temu
keempat unsur lainnya.
E.
Langkah-langkah
Penelitian
1.
Metode Penelitian
Pemilihan metode penelitian
didasarkan kepada pendekatan yang digunakan yang bertitiktolak dari fokus
penelitian yang dipilih. Untuk penelitian institusionalisasi fiqh, sebagaimana
dipilah menjadi tiga fokus penelitian, lebih tepat digunakan pendekatan
antropologis atau sosiologis (mikro). Pilihan metode penelitian yang dipandang
tepat ialah grounded (grounded research) atau studi kasus. Dengan
perkataan lain, dalam penelitian ini digunakan paradigma kualitatif.
2. Sumber
Data
Secara umum sumber data dalam
penelitian ini adalah para pelaku yang terlibat dalam institusionalisasi fiqh,
yakni tokoh masyarakat dan para pengikutnya dalam suatu komunitas. Apa yang
dipahami, dilakukan, serta dialami oleh mereka merupakan data primer dalam
penelitian ini. Sumber lain yang dapat digunakan ialah dokumen yang relevan
dengan fokus dan tujuan penelitian.
Penentuan sumber data, terutama
tokoh masyarakat (elite Islam dan elite tradisional), dapat dilakukan dengan
beberapa cara:
a.
Pengguliran bola salju (snow balling), yaitu
cara memilih salah seorang tokoh masyarakat sebagai responden atau informan
pertama. Berdasarkan informasi dari yang bersangkutan dipilih tokoh lain dan
seterusnya, sehingga jumlah tokoh tersebut menjadi lebih banyak (bola membesar).
Dengan cara demikian, akan diperoleh beberapa orang tokoh sehingga mencapai
jumlah tertentu sesuai dengan keperluan penelitian.
b.
Pemilihan informan secara berjenjang, yaitu cara
memilih tokoh masyarakat dengan menentukan informan kunci yang dipandang paling
memahami sistem sosial dalam suatu komunitas. Berdasarkan informasi dari yang
bersangkutan, dapat dicari informan lain pada jenjang yang lebih rendah. Pemilihan
tokoh masyarakat dengan cara ini dilakukan bertahap, mulai dari kawasan yang
lebih luas menuju ke kawasan yang lebih sempit. Dengan cara demikian, akan
ditemukan sejumlah tokoh masyarakat untuk dipilih menjadi responden dan
informan.
c.
Pemilihan anggota kelompok tokoh masyarakat (sociometric),
yaitu cara memilih tokoh masyarakat dengan menyusun peringkat mereka berdasakan
pilihan kelompok yang bersangkutan. Hal itu dilakukan dengan mengajukan daftar
nama untuk dipilih oleh seluruh anggota kelompok yang tercantum dalam daftar
itu. Dengan cara demikian, akan diperoleh peringkat tokoh masyarakat menurut
pilihan masing-masing anggota kelompok. Berdasarkan peringkat itu dapat dipilih
beberapa tokoh masyarakat mulai peringkat pertama dan seterusnya, sesuai dengan
keperluan penelitian.
3.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data tergantung kepada
jenis data yang diperlukan dan sumber data yang terpercaya. Pada masing-masing
fokus penelitian terdapat sejumlah jenis data yang spesifik. Rincian jenis data
itu disusun berdasarkan unsur fokus pada ketiga model penelitian
institusionalisasi fiqh. Selanjutnya, untuk keperluan pengumpulan data,
masing-masing jenis data itu dapat dirinci lebih lanjut, yang tersusun dalam
panduan wawancara atau butir-butir pengamatan.
4.
Analisis Data
Analisis data dilakukan sejak
pengumpulan data, dengan beberapa tahapan sebagaimana berikut ini
a.
Menyeleksi dan menyunting data yang telah terkumpul
(Data 1) berdasarkan cara pengumpulan data (wawancara dan pengamatan terlibat)
dan sumber data (informan, responden, dan subyek pengamatan). Oleh karena itu,
pada tahapan ini terjadi reduksi data sehingga diperoleh data halus (Data 2).
Dalam tahapan ini dilakukan konfirmasi dengan sumber data (Konfirmasi 1:
informan atau responden; Konfirmasi 2: subyek pengamatan). Misalnya, dalam
MPIF, data tentang pelaksanaan suatu ketentuan fiqh oleh seorang tokoh
dikonfirmasi melalui wawancara mendalam dengan tokoh sehingga data itu
terseleksi, terkonfirmasi (dapat dipastikan), dan terpercaya. Hal yang sama dapat
dilakukan kepada pengikut tokoh tersebut.
b.
Mengklasifikasi data menjadi kelas data dan subkelas
data atau kategori-kategori (dalam grounded research). Misalnya, dari
hasil seleksi tersebut jenis data pengamalan, sebagai gabungan dari pengamalan
dan pembiasaan, dapat dipilah lebih lanjut menjadi: (1) subkelas data alasan
pengamalan; (2) subkelas data cara atau kaifiah pengamalan; (3) subkelas data
frekuensi pengamalam; dan (4) subkelas data durasi durasi pengamalan. Boleh
jadi subkelas data itu dapat dikembangkan, misalnya subkelas data rujukan
pengamalan (pandangan fuqaha) dan subkelas data sumber rujukan pengamalan
(kitab fiqh tertentu).
c.
Menyusun kode kelas dan subkelas data. Misalnya, kelas
data pengamalan diberi kode C. Sedangkan subkelas data alasan pengamalan diberi
kode C1; subkelas data kaifiah pengamalan diberi kode C2; subkelas data
frekuensi pengamalam diberi kode C3; dan subkelas data durasi pengamalan diberi
kode C4. Pengkodean tersebut juga dilakukan terhadap kelas dan subkelas data
lainnya. Dengan cara demikian, dalam MPIF tersusun kode subkelas data: A1, A2,
A3, dan A4 (pemahaman fiqh); B1, B2, B3, dan B4 (pematuhan fiqh); C1, C2, C3,
dan C4 (pengamalan fiqh); serta D1, D2, D3, dan D4 (penyerapan fiqh dalam
institusi sosial).
d.
Memvisualisasikan (display data) tentang hubungan antar
kelas dan subkelas data dalam bentuk tabel silang atau diagram. Misalnya,
hubungan antara kegiatan tokoh masyarakat dengan partisipasi pengikut dalam
MPTM. Kelas data kegiatan tokoh terdiri atas: subkelas data pengajaran (kode
J1); subkelas data pengajakan (kode J2); dan subkelas data peneladanan (kode
J3); dan subkelas data pemecahan masalah (kode J4). Sedangkan kelas data
partisipasi pengikut terdiri atas: subkelas data kesediaan partisipasi (kode
K1); subkelas data bentuk partisipasi (K2); dan subkelas data tanggung jawab
partisipasi (kode K3). Display data dilakukan dapat disusun dalam bentuk tabel
silang yang menggambarkan tentang hubungan antar subkelas data tersebut.
Subkelas data kegiatan tokoh masyarakat diletakkan dalam kolom. Sedangkan
subkelas data partisipasi pengikut diletakkan dalam lajur. Dengan cara
demikian, akan tergambar hubungan menyilang: J1K1, J1K2, J1K3; J2K1, J2K2,
J2K3; J3K1, J3K2, J3K3; dan J4K1, J4K2, J4K3. Selanjutnya hubungan yang
menyilang itu dideskripsikan secara verbal dengan dukungan data yang diperoleh
melalui wawancara dan pengamatan terlibat. Atas perihal yang sama, sebagian
tentang MPTM akan dapat dideskripsikan secara utuh dalam suatu kesatuan fokus
penelitian yang telah dikonstruksi dan dipilih.
e.
Menafsirkan data berdasarkan pendekatan yang digunakan
sebagaimana dirumuskan dalam kerangka berpikir yang disusun oleh peneliti.
Sekedar bahan masukan dalam menafsirkan data tersebut, berikut ini dikutip dua
proposisi sebagaimana dirumuskan dalam kerangka berpikir secara umum.
f.
Menarik simpulan internal, yang di dalamnya, diharapkan
mengandung temuan penelitian (Data 3). Dalam tahapan ini dilakukan konfirmasi
terakhir dengan responden, informan, dan subyek pengamatan. Boleh jadi dalam
konfirmasi ini masih ditemukan data penting yang akan memperkaya temuan dalam
penelitian ini.
Penelitian Masalah Fiqih
Masail Fiqhiyah terurai dari kata
mas’alah dalam bentuk mufrad yang dijamakkan dan dirangkaikan dengan kata fiqh.
Fiqh secara bahasa adalah pemahaman/ faham sedangkan menurut istilah ilmu
pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at dalam bentuk amaliah (perbuatan
mukallaf) yang diambil dari dalilnya secara terperinci.
Masail fiqhiyah adalah
persoalan-persoalan yang muncul pada konteks kekinian sebagai refleksi
komplekitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan
tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan
situasi yang melingkupinya. Masail merupakan bentuk jamak taksir dari kata
mas’alah yang artinya perkara/ masalah (persoalan). Fiqhiyyah dari kata fiqh
yang artinya pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum Islam.[11]
Jadi masail fiqhiyah berarti
persoalan hukum islam yang selalu dihadapi oleh umat Islam sehingga mereka
beraktifitas dalam sehari-hari selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan
tuntunan Islam. Masail fiqhiyah disebut
juga masail fiqhiyah al haditsah (persoalan hukum Islam yang baru). Focus
kajiannya tidak hanya membahas persoalan fiqih, tapi juga aqidah (kepercayaan)
dan persoalan akhlak (moral).
A.
Sebab-Sebab Terjadinya Masalah Fiqih
1.
Factor ikhtilaf seputar fiqh
a.
Perbedaan qira’at;
b.
Adam al ittila ala hadits yaitu adanya hadits yang
belum ditelaah oleh sebagian sahabat karena secara real pengetahuan mereka
dalam hal ini tidak sama;
c.
Adanya syak atau keraguan dalam menetapkan hadits;
d.
Perbedaan dalam memahami nas dan perbedaan
penafsirannya;
e.
Adanya lafad musytarak yaitu lafadz yang memiliki dua
makna atau lebih;
f.
Ta’arud al-Adillah, yaitu dalil-dalil yang lahir
secara kontradiktif.
2.
Dua factor dominan perpecahan umat
a.
Fanatic Arabisme;
b.
Factor pertikaian dalam memperebutkan kekuasaan dan
pengendali tampuk pemerintahan.
3.
Metode- Metode Fuqaha dalam menyelesaikan Persoalan
a.
Al-Qur’an;
b.
As-Sunnah;
c.
Al-Ijma;
d.
Al-Qiyas;
e.
Al- Istihsan;
f.
Al-Maslahah Mursalah
g.
Al-Urf;
h.
Al-Istihshab;
i.
Al-Zara’i;
j.
Syar’un man Qoblana;
k.
Mazdhab sahabat.
B.
Langkah-Langkah Penelitian
1.
Kaedah pertama : menghindari sikap taklid dan atau
fanatisme;
2.
Kaedah kedua : prinsip mempermudah dan menghindarkan
kesulitan;
3.
Kaedah Ketiga : berdialog dengan masyarakat melalui
bahasa kodisi masanya dan melalui pendekatan persuasive aktif serta
komunikatif;
4.
Kaedah keempat : bersikap moderat terhadap kelompok
tekstualis (literalis) dan kelompok kontekstualis;
5.
Kaedah kelima : ketentuan hukum bersifat jelas tidak
mengandung interpretasi.
Penelitian Transformasi Fiqih
A.
Fiqh dan Sistem
Hukum Nasional
Suatu gejala yang bersifat umum
bahwa pembentukan dan pengembangan hukum nasional dilakukan dari hukum tidak
tertulis ke arah hukum tertulis, baik dalam masyarakat bangsa yang masih
berkembang maupun yang telah maju. Meskipun demikian, hukum tidak tertulis
merupakan bagian dalam sistem hukum nasional. Hukum tertulis dan tidak tertulis
itu berlaku dalam penyelenggaraan segenap bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang bersifat mengikat bagi semua penduduk. Bentuk
hukum tertulis di bidang tertentu, terutama dalam bidang hukum yang relatif
netral, dikodifikasikan dan diunifikasikan.
Berkenaan dengan keterikatan satuan
masyarakat bangsa, dewasa ini, umat Islam merupakan bagian dari empat tipe
satuan masyarakat bangsa dalam ikatan organisasi negara modern, yaitu :[12]
1.
Dalam masyarakat bangsa yang secara resmi menyatakan
diri sebagai negara Islam (Islamic states), seperti Brunei Darussalam,
Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan Maroko (Muslim Sovereign State).
2.
Dalam masyarakat bangsa yang mayoritas penduduknya
beragama Islam tetapi tidak menyatakan dirinya sebagai negara Islam, dengan
madzhab fiqh yang beragam, misalnya, Indonesia (sunni), Irak (32% sunni dan 65%
syi‘i), dan Mesir (sunni). Dalam tipe masyarakat ini, umat Islam pernah menjadi
kekuatan politik yang dominan. Oleh karena itu, transformasi hukum Islam dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilakukan melalui berbagai saluran,
infrastruktur maupun suprastruktur politik.
3.
Dalam masyarakat bangsa yang mayoritas penduduknya
beragama lain, tetapi berupaya untuk menerapkan hukum Islam sebagai norma
sosial dalam kehidupan internal umat Islam, seperti masyarakat Islam Patani di
Muangthai (Selatan) dan Moro di Philipina (Selatan).
4.
Dalam masyarakat bangsa di negara sekuler, yang
mayoritas penduduknya menganut agama lain.
Uraian di atas menunjukkan tentang tipe masyarakat
Muslim dalam berbagai satuan masyarakat bangsa yang sangat majemuk. Ia berada
dalam masyarakat bangsa yang meliputi berbagai umat pemeluk agama dan corak
aliran pemikiran Islam dan madzhab fiqh. Ia berada dalam masyarakat bangsa yang
meliputi berbagai ras, etnis, dan asal-usul keturunan. Berkenaan dengan hal
itu, terdapat variasi transformasi fiqh ke dalam produk badan penyelenggara
negara, terutama badan legislatif dan eksekutif. Hal itu tergantung kepada
politik hukum yang ditetapkan, yang kemudian ditindaklanjuti melalui program
legislasi nasional.
Transformasi fiqh tersebut merupakan
suatu perubahan bentuk, dari produk penalaran fuqaha yang “beragam” (mukhtalaf
fih) menjadi produk badan penyelenggara negara yang bersifat “seragam” (muttafaq
‘alayh), yakni peraturan perundang-undangan (al-qānun). Transformasi
itu bermakna suatu proses kontekstualisasi norma fiqh (sebagai majmū‘at al-ahkām)
ke dalam struktur masyarakat bangsa. Dalam proses itu terjadi reduksi,
adaptasi, dan modifikasi norma fiqh yang “anti struktur” menjadi qanun yang
“terstruktur”, yang memiliki daya ikat serta daya atur. Bahkan, dalam hal
tertentu, qanun memiliki daya paksa. Dengan demikian, ketika fiqh
ditransformasi ke dalam qanun ia telah mengalami perubahan wujud dan fungsi
dalam konteks sistem hukum nasional. Fiqh telah terintegrasi dengan norma lain,
yang telah berubah bentuk menjadi qanun. Bahkan dalam hal tertentu mengalami
perubahan makna, baik dalam arti perluasan makna maupun penyempitan makna.
Atas perihal tersebut, dalam bidang
tertentu di Indonesia, misalnya, makna subyek hukum mengalami perluasan, dari
orang (naturlijk persoon) menjadi orang dan atau badan hukum (rechtspersoon)
sebagaimana tampak dalam hukum perwakafan (wakif dan nadzir) dan
hukum pengelolaan zakat (muzakki dan mustahiq). Hal itu
tampak dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakif
terdiri atas perseorangan, organisasi, dan badan hukum yang mewakafkan benda
miliknya. Sedangkan nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan penguasaan benda wakaf.
Secara sosiologis transformasi fiqh
tersebut merupakan produk interaksi antara kelompok elite Islam (ulama bebas,
pemimpin organisasi kemasyarakatan, pejabat agama, dan cendekiawan Muslim)
dengan elite penguasa, yaitu pemerintah dan unsur kekuasaan lainnya. Dalam
proses penyusunan dan pembahasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, misalnya, peranan elite Islam sangat menonjol. Hal itu dilakukan
melalui pertemuan dan pendekatan dengan fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan
Rakyat, Pemerintah, dan pembahasan intensif di kalangan mereka. Setiap butir
rancangan undang-undang itu dikaji dan diukur berdasarkan ketentuan fiqh.
Usaha-usaha yang demikian,
menjadikan fiqh sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun. Hal ini
menunjukkan bahwa fiqh memiliki potensi dan posisi dalam sistem hukum nasional
yang bersumber pada qanun. Kini, di samping civil law system, dan common
law system, juga berkembang Islamic law system yang intinya adalah
fiqh. Di beberapa negara Islam, fiqh menjadi sumber utama program legislasi
nasional
Sementara itu, di negara-negara
sekuler program legislasi nasional didasarkan pada keputusan parlemen yang
tidak bersangkut paut dengan hukum agama (pada umumnya). Khusus di Indonesia,
hukum agama (Islam) dan hukum agama pada umumnya, diakui dan dihormati sebagai
hukum yang hidup dalam masyarakat, yang menjadi salah satu “bahan baku” dalam
pengembangan hukum nasional.
Berkenaan dengan uraian di atas, ada
tiga gagasan utama yang digunakan dalam penelitian transformasi fiqh. Ketiga
gagasan itu, merupakan bagian dari
gejala kehidupan di berbagai negara dan kawasan, khususnya di dunia Islam. Ia
berada dalam tataran perubahan hukum di berbagai satuan masyarakat bangsa, dari
hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis, dari hukum yang bersifat khusus
(internal Muslim) menjadi bersifat umum.
1.
fiqh
(dalam arti majmū‘at al-ahkām)
Yakni produk penalaran fuqaha bagi
penataan kehidupan umat manusia. Ia bersifat semesta, tanpa terikat oleh
struktur sosial meskipun mempertimbangkan dan berkembang dalam sistem sosial
yang berlaku, sebagaimana tampak dalam proses perumusan fiqh yang juga
menggunakan dalil empiris (selain dalil normatif dan dalil metodologis),
seperti al-‘urf, syar‘un man qablanā, dan al-maslahah
al-mursalah. Atas perihal tersebut, dikenal fiqh yang bercorak lokal di
antaranya fiqh Hijazi, fiqh Kufi, fiqh Mishri, fiqh Hindi, dan fiqh Indunisi.
Demikian pula ketika fiqh itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat, ia
mengalami penyesuaian dengan tradisi dan derajat kemampuan subyek hukum
(mukallaf) berdasarkan prinsip istitha‘a.
2.
transformasi fiqh ke dalam qanun dalam sistem hukum
nasional.
Ia merupakan pengalihan substansi fiqh ke dalam substansi qanun, yang meliputi
empat tataran hukum, yakni :
a.
tataran asas atau prinsip hukum;
b.
tataran hukum material (hukum substantif);
c.
tataran hukum formal (hukum acara);
d.
tataran
pelaksanaan hukum atau penegakan hukum.
Transformasi itu dilaksanakan
berdasarkan politik hukum dari badan penyelenggara negara yang ditindaklanjuti
oleh program legislasi. Hal itu terjadi di berbagai negara Islam dan negeri
Muslim.
3.
sistem hukum
nasional sebagai bagian dari sistem masyarakat dalam ikatan negara
kebangsaan.
Dalam sistem hukum itu mencakup
beberapa hal. Pertama, nilai-nilai fundamental yang telah disepakati sebagai
rujukan utama sebagaimana tersurat dalam konstitusi. Kedua, bahan baku dalam
pembentukan dan pengembangan hukum. Ketiga, arah pengembangan hukum yang hendak
dicapai. Keempat, berbagai bidang kehidupan yang memerlukan pengaturan. Kelima,
proses politik melalui suprastruktur dan infrastruktur politik. Keenam,
perangkat hukum dalam jenjang hukum tertulis yang ditetapkan oleh badan
penyelenggara negara. Ketujuh, penegakan hukum melalui badan dan aparat
penegakan hukum. Kedelapan, pluralitas dan perkembangan masyarakat bangsa
secara internal. Kesembilan, perkembangan masyarakat dunia yang ditunjang oleh
produk teknologi (eksternal). Berbagai hal itu merupakan unsur (subsistem)
dalam sistem hukum nasional sebagai suatu kesatuan terintegrasi yang saling
berhubungan, saling menunjang, dan saling tergantung.
Khusus di Indonesia, transformasi
fiqh ke dalam qanun tersebar dalam berbagai undang-undang, baik dalam hukum
keluarga maupun hukum keperdataan lain.
B.
Fokus Penelitian
Secara garis besar wilayah
penelitian transformasi fiqh adalah teks peraturan perundang-undangan, yang
terdiri atas mukadimah (preamble) atau konsideran, batang tubuh, dan
penjelasan (umum dan khusus). Mukadimah dalam konstitusi berisi tentang kesepakatan
pembentukan negara dan nilai-nilai dasar yang dijadikan rujukan bagi hukum
dasar yang dirinci dalam batang tubuh. Transformasi fiqh ke dalam sistem hukum
nasional dapat dipahami dan dijelaskan melalui beberapa model penelitian
sebagaimana model penelitian fiqh lainnya.
Ketika merumuskan fokus penelitian,
ada tiga cara yang dapat dilakukan.
a.
fokus dirumuskan dengan cara menelaah kemiripan substansi fiqh dengan
substansi qanun. Boleh jadi kemiripan itu hanya bersifat kebetulan; atau
merujuk pada sumber yang sama; atau memang sesungguhnya terjadi transformasi.
b.
fokus dirumuskan dengan cara menelaah substansi fiqh
yang dialihkan ke dalam qanun.
Dengan cara ini substansi fiqh dipandang sebagai sesuatu yang telah diketahui,
sedangkan substansi qanun dipandang sebagai sesuatu yang belum diketahui.
c.
fokus dirumuskan dengan cara menelaah substansi qanun
yang mengandung substansi fiqh.
Dengan cara ini substansi fiqh dipandang sebagai sesuatu yang belum diketahui,
sedangkan substansi qanun dipandang sebagai sesuatu yang telah diketahui.
Berdasarkan pilihan tersebut fokus
penelitian transformasi fiqh terdiri atas empat unsur, yakni substansi fiqh,
proses transformasi, rujukan konstitusi, dan perubahan sosial (SPRP). Dalam
model ini, dapat dilakukan penyempitan fokus, dengan cara mengurangi salah satu
unsur SPRP. Atau dapat dilakukan modifikasi fokus, dengan menempatkan substansi
fiqh sebagai sesuatu yang telah diketahui.
Keempat unsur tersebut memiliki
posisi yang berlapis. Unsur proses transformasi menempati posisi sentral.
Sedangkan unsur substansi fiqh menempati posisi kedua. Sementara itu, unsur
rujukan konstitusi dan perubahan sosial menempati posisi berikutnya, sebagai
unsur eksternal dalam transformasi fiqh tersebut. Berkenaan dengan hal itu,
inti fokus penelitian ini adalah unsur proses transformasi, terutama pada
tahapan persiapan, tahapan perancangan, dan tahapan pembahasan. Pada tahapan
ini terjadi proses pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun ketika terdapat
titik persamaan antara substansi fiqh dengan bahan baku lain dalam perumusan
qanun lebih besar ketimbang perbedaannya.
C.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Secara umum penelitian transformasi
fiqh diarahkan untuk memahami, mendeskripsikan, dan menjelaskan pengalihan
substansi fiqh ke dalam qanun. Berdasarkan hasil yang diperoleh akan tampak
pola-pola transformasi fiqh sesuai dengan hierarki qanun yang berlaku dalam
suatu atau di berbagai negara.
Patut dimaklumi bahwa penelitian ini
pada mulanya dilakukan untuk memperdalam pengetahuan ilmiah, atau untuk
menyingkap sesuatu di balik pengetahuan yang telah dirumuskan dan
disosialisasikan. Penelitian tersebut bertitiktolak dari masalah akademis yang
biasanya dilakukan dalam lingkungan perguruan tinggi. Akan tetapi penelitian
transformasi fiqh dapat dilakukan dengan bertitiktolak dari masalah sosial,
yang diarahkan untuk merumuskan bahan dalam proses pemecahan masalah.
2.
Kegunaan
Penelitian
Pada dasarnya penelitian
transformasi fiqh memiliki dua kegunaan.
a.
Hasil penelitian berguna untuk mengembangkan
pengetahuan ilmiah di bidang fiqh dan ilmu perundang-undangan. Hal itu
mencakup:
a)
Untuk merumuskan konsep sampai kawasan baru, sehingga
wacana fiqh semakin kaya, terutama dalam konteks kehidupan bernegara;
b)
Untuk menata pengkajian proses transformasi fiqh dalam
berbagai negara yang memiliki keunikan masing-masing sehingga kajian fiqh akan
memiliki kawasan baru yang selama ini kurang mendapat perhatian;
c)
Untuk dialihkan ke dalam kegiatan pembelajaran sehingga
para mahasiswa akan memperoleh informasi mutakhir berkenaan dengan transformasi
fiqh, yang pada ujungnya kompetensi ilmiah yang bersangkutan akan lebih
bermutu;
d)
Untuk dijadikan titik tolak bagi kegiatan penelitian
lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun oleh peneliti lain,
sehingga kegiatan penelitian mengalami kesinambungan.
b.
hasil penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup
manusia, khususnya berkenaan dengan pola dan cara pengalihan fiqh sebagai bahan
baku dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Hal itu mencakup:
a)
Untuk mengembangkan apresiasi terhadap fiqh sebagai
salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun;
b)
Untuk meningkatkan apresiasi terhadap transformasi fiqh
yang beragam di berbagai negara yang memiliki karakteristik dan keunikan
masing-masing;
c)
Untuk dijadikan salah satu bahan rujukan dalam proses
penataan kehidupan manusia yang semakin pelik dan majemuk.
D.
Tinjauan
Pustaka dan Kerangka Berpikir
1.
Tinjauan
Pustaka
Transformasi fiqh dalam sistem hukum
nasional dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori, di antaranya teori
negara hukum, teori trias politica, teori akulturasi kebudayaan, dan
teori perubahan hukum (Pemilihan teori tersebut tergantung pada sudut pandang
peneliti dan ketersediaan perangkat teori yang dapat digunakan).
2.
Kerangka
Berpikir
Berdasarkan hasil kajian pustaka
dapat disusun kerangka berpikir, yang untuk selanjutnya dijadikan kerangka
analitis terhadap data yang ditemukan. Kerangka berpikir makro dalam penelitian
ini terdiri atas enam komponen, yakni:
a.
konstitusi yang dijadikan rujukan;
b.
politik hukum nasional;
c.
program legislasi nasional;
d.
bahan baku, yakni substansi fiqh dan bahan baku dari
tatanan hukum lain dalam proses penyusunan qanun;
e.
tuntutan perubahan dalam skala nasional;
f.
produk legislasi, berupa qanun.
E.
Langkah-langkah
Penelitian
1.
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang dipandang
tepat bagi penelitian transformasi fiqh ialah analisis isi teks, baik fiqh
maupun qanun. Berkenaan dengan hal itu, dapat dilakukan modifikasi metode
penelitian analisis isi bagi penelitian kualititif atau metode penelitian
hermeneutik. Metode penelitian ini diarahkan untuk memahami teks dengan
menggunakan beberapa metode penafsiran teks hukum, dalam hal ini teks qanun.
Metode penafsiran autentik dapat digunakan untuk memahami kehendak penyusun
qanun sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan qanun, yang secara rinci dapat
diketahui dalam notula pada setiap tahap pembahasan draft qanun. Sementara itu,
metode penafsiran sosiologis dapat digunakan untuk memahami dan mendeskripsikan
aspek-aspek sosiologis berkenaan dengan pembahasan, pengesahan, dan
pengundangan suatu qanun dalam konteks sistem sosial yang mengalami dinamika.
2.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a.
Qanun sebagai suatu dokumen hukum yang terdiri atas
konsideran, batang tubuh, dan penjelasan.
b.
Dokumen pada tiap tingkat pembicaraan draft qanun,
mulai dari nota pengantar, tanggapan umum, pembahasan dalam komisi, panitia
khusus, tim kecil, sampai persetujuan dan pengesahan. Risalah (notula) pada
setiap pembahasan merupakan sumber data yang penting.
c.
Kitab fiqh dan sumber lainnya yang dijadikan rujukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
d.
Para pihak,
sebagai responden, yang terlibat langsung dalam proses pengalihan substansi
fiqh ke dalam qanun.
3.
Pengumpulan
Data
Secara rinci pengumpulan data dapat
dilakukan dengan cara kajian dokumen dan wawancara, melalui beberapa tahapan
sebagai berikut:
a.
Peneliti menentukan jenis data yang hendak dikumpulkan,
yang merujuk kepada unsur-unsur fokus penelitian sebagaimana dirinci dalam
pertanyaan penelitian.
b.
Peneliti menyusun jenis data lebih rinci.
c.
Peneliti menginventarisasi isi teks qanun serta
kelengkapan dokumen lainnya (terutama risalah pada tahapan pembahasan draf
qanun) sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan. Di samping itu, menyusun
beberapa butir pertanyaan yang tersusun dalam sebuah panduan wawancara sebagai
pegangan peneliti untuk dikembangkan dalam pelaksanaan wawancara dengan
responden yang terlibat dalam proses transformasi.
d.
Peneliti melakukan pengecekan terhadap dokumen yang
akan diteliti, baik berkenaan dengan otentisitas dokumen itu maupun
kelengkapannya agar penelitian dapat dilakukan dengan lancar dan datanya
memadai.
e.
Peneliti mengumpulkan data dengan cara memahami dan
mencatat isi teks qanun dan wawancara. Dalam mencatat isi teks qanun ada yang
patut mendapat perhatian peneliti. Teks itu menggunakan ragam bahasa hukum,
yang memiliki karakteristik tersendiri.
f.
Peneliti mencatat isi naskah yang dibaca dan hasil
wawancara yang diperoleh. Pencatatan isi teks dan hasil wawancara cukup
dibatasi pada hal-hal yang dipandang penting. Sedangkan isi wawancara secara
lengkap direkam dalam alat perekam.
g.
Peneliti
melakukan pengecekan terhadap hasil bacaan teks dan hasil wawancara, yang dapat
ditempuh melalui dua cara. Pertama, dilakukan pembacaan ulang dan wawancara
ulang apabila hasil bacaan dan wawancara belum memadai dan ditemukan hal-hal
yang belum jelas. Kedua, khusus bagi wawancara dilakukan kepada responden
berikutnya apabila kesamaan pandangan antar responden tampak dengan nyata. Di
samping itu, pengecekan dapat dilakukan terhadap bahan tertulis yang dirujuk
oleh responden.
h.
Peneliti menyalin hasil bacaan teks qanun dan hasil wawancara
menjadi bahasa tulisan, sesuai dengan apa yang tertera dalam teks dan ungkapan
responden. Salinan itu dicatat secara lengkap, kemudian dialihkan ke dalam
lembaran khusus yang diberi kode.
i.
Peneliti menyarikan isi catatan yang telah disalin ke
dalam bahasa tulisan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh
peneliti.
j.
Peneliti melakukan konfirmasi kepada responden terutama
tentang sari hasil wawancara. Konfirmasi ini dilakukan untuk memperoleh
persetujuan responden; dan menghidarkan kemencengan berdasarkan persepsi atau
subjektivitas peneliti.
k.
Peneliti mengklasifikasikan data sesuai dengan unsur
fokus dan pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal itu dilakukan melalui
seleksi terhadap sari hasil kajian teks dan wawancara, mana yang layak digunakan
dan mana yang tidak layak digunakan. Kemudian, mana yang dipandang pokok, dan
mana yang dipandang penting, dan mana pula yang dipandang sebagai penunjang.
l.
Berdasarkan hasil klasifikasi data itu, dilakukan
klasifikasi yang lebih spesifik, yakni subkelas data sebagaimana hasil
pengumpulan data.
4.
Analisis Data
Tahapan pengumpulan data sebagaimana
diuraikan di atas, terutama dengan cara kajian teks dan wawancara, sebagian
telah memasuki bagian awal dari analisis data, yakni ketika dilakukan
klasifikasi data. Berkenaan dengan hal itu, pada tahap analisis data dilakukan
dengan melibatkan tahapan penelitian yang telah dilaksanakan. Secara umum
analisis data dilakukan dengan cara menghubungkan apa yang diperoleh dari suatu
proses kerja sejak awal. Ia ditujukan untuk memahami data yang terkumpul dari
sumber, untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan menggunakan kerangka
berpikir di atas. Atas perihal tersebut, disusun tahapan analisis data secara
terus menerus.
Analisis data dilakukan sejak
pengumpulan data, dengan tahapan sebagaimana berikut ini.
a.
Data yang telah terkumpul (Data 1) diedit dan diseleksi
sesuai dengan ragam pengumpulan data (kajian teks qanun dan wawancara), ragam
sumber (qanun, kitab fiqh, dan responden), dan pendekatan yang digunakan
(kerangka berpikir), untuk menjawab pertanyaan penelitian yang terkandung dalam
fokus penelitian. Oleh karena itu, terjadi reduksi data sehingga diperoleh data
halus (Data 2). Dalam proses itu, dilakukan konfirmasi dengan sumber data
(Konfirmasi 1: teks; Konfirmasi 2: responden).
b.
Berdasarkah hasil kerja pada tahapan pertama, dilakukan
klasifikasi data: kelas data dan subkelas data. Hal itu dilakukan dengan
merujuk kepada pertanyaan penelitian dan unsur-unsur yang terkandung dalam
fokus penelitian.
c.
Data yang telah diklasifikasikan diberi kode. Kemudian
antar kelas data itu disusun dan dihubungkan dalam konteks SPRP. Hubungan antar
kelas data tersebut divisualisasikan dalam tabel silang (matriks), atau
diagram. Dengan cara demikian berbagai hubungan antar data dapat dideskripsikan
secara verbal, sehingga diperoleh kesatuan data yang menggambarkan tentang
transformasi fiqh.
d.
Selanjutnya dilakukan penafsiran data berdasarkan salah
satu, atau lebih, pendekatan yang digunakan, yakni: pendekatan yuridis
(koherensi substansi qanun), pendekatan antropologis (pemaknaan transformasi
menurut responden), atau pendekatan sosiologis (pola interaksi antar elite).
Ketepatan pendekatan yang digunakan merujuk kepada kerangka berpikir yang
dijadikan kerangka analitis.
e.
Berdasarkan hasil kerja pada tahapan keempat dapat
diperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. Berdasarkan hal itu, dapat
ditarik simpulan internal, yang di dalamnya terkandung data baru atau temuan
penelitian (Data 3). Dalam proses itu dilakukan konfirmasi dengan sumber data
dan sumber lainnya (Konfirmasi 3: teks qanun dan fiqh; dan Konfirmasi 4:
responden).
f.
Menghubungkan apa yang ditemukan dalam penelitian ini
dengan hasil penelitian tentang fokus serupa, yang pernah dilakukan dalam
konteks yang sama atau berbeda sebagaimana dapat ditemukan dalam tinjauan
pustaka Berdasarkan hal itu, dapat ditarik kesimpulan makro dari penelitian
tersebut. Dengan cara demikian, akan tampak makna dan posisi penelitian dalam
gugus penelitian yang tercakup dalam model penelitian transformasi fiqh.
Rangkaian penelitian tentang
transformasi fiqh merupakan unsur penggerak dalam pengembangan ilmu. Oleh
karena itu, diharapkan, setiap kegiatan penelitian, terutama yang dilakukan
oleh para peneliti senior, menghasilkan gagasan baru atau teori baru, sebagai
peta pemikiran yang menjadi milik peneliti. Di samping itu, penelitian yang
dilakukan dapat dijadikan media untuk menguji model penelitian yang telah
disusun dan dirumuskan.
Penelitian KHI
Bahwasannya terdapat dua buah buku hukum Islam yang dijadikan
pedoman dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kedua buku tersebut
ialah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‘ah (KHES)
KHI disusun berkenaan dengan kekosongan hukum di bidang perkawinan, kewarisan,
dan perwakafan.[13]
Kompilasi merupakan fiqh dalam bahasa undang-undang.
Di samping itu, KHI memiliki keunikan yang lebih menonjol ketimbang KHES. Oleh
karena itu, KHI memiliki daya tarik tersendiri untuk menjadi sasaran
penelitian, baik untuk penelitian akademik maupun untuk penelitian pengembangan
dan kebijakan.
Dalam KHI juga menunjukkan mengenai adanya variasi hukum
Islam, yang bersumber dari Qur’an dan Hadis yang kemudian diformulasikan di dalam
berbagai kitab fiqh. Kitab fiqh yang dijadikan rujukan KHI terdiri atas 38
kitab, mencakup 160 masalah hukum keluarga. Atas perihal tersebut terjadi
pengalihan substansi fiqh dari berbagai sumber itu menjadi “qanun” dalam sistem
hukum nasional.
KHI disusun sebagai upaya untuk
mewujudkan kesatuan hukum di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang
berlaku di Indonesia. KHI disusun dan disebarluaskan “untuk digunakan oleh
Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya”, sebagaimana yang diinstruksikan
oleh Presiden kepada Menteri Agama pada tahun 1991. Dalam perjalanan lebih
lanjut KHI mengalami sosialisasi di dalam masyarakat, terutama melalui bahan
tertulis. Namun demikian wacana tentang hukum keluarga Islam masih tetap
bervariasi, baik dalam lingkungan pendidikan (pesantren) dan media massa maupun
dalam lingkungan masyarakat luas.
A.
Fokus
Penelitian
Secara garis besar fokus penelitian KHI dapat dibagi menjadi
dua pilahan. Pilahan pertama, fokus penelitian internal berkenaan dengan proses
perumusan hingga penerapan KHI. Dalam pilahan ini dapat dirumuskan tiga fokus
penelitian, yakni proses perumusan, hasil perumusan, dan penerapan hasil
perumusan. Pilahan kedua, fokus penelitian eksternal berkenaan dengan kedudukan
KHI dalam sistem hukum nasional. Dalam pilahan ini dapat dirumuskan beberapa
fokus penelitian, di antaranya tentang KHI dalam politik hukum nasional,
penyebarluasan KHI dalam masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk, dan
efektivitas KHI sebagai rujukan normatif bagi pemecahan masalah hukum dalam
kehidupan bermasyarakat.
Berkenaan dengan pilahan pertama,
dapat disusun tiga model penelitian KHI :
1.
Penelitian proses perumusan KHI yang dapat disebut
sebagai Model Proses Perumusan KHI (MPPK).
Model ini
berkenaan dengan tahapan pengintegrasian bahan yang diperoleh melalui jalur
kajian kitab fiqh, kajian yurisprudensi, kajian banding, dan wawancara mulai
dari penyusunan draft awal sampai naskah final yang disepakati dan siap untuk
disebarluaskan (tahapan ketiga sampai kelima).
Fokus penelitian MPPK terdiri atas empat unsur, yakni:
pengumpulan bahan, perancangan naskah, kesepakatan ulama, dan legalisasi
pemerintah. Unsur pengumpulan bahan berkenaan dengan tahapan kajian kitab fiqh,
kajian yurisprudensi, kajian banding, dan wawancara dengan ulama. Unsur
perancangan naskah berkenaan dengan tahapan pengintegrasian bahan dari hasil
kajian, wawancara, serta bahan lain ke dalam rancangan KHI, yang mencakup
pilahan buku, bab, pasal, dan ayat. Sedangkan unsur kesepakatan ulama,
berkenaan dengan tahapan sosialisasi, pembahasan, dan perumusan final KHI
melalui forum lokakarya yang menghasilkan “ijma ulama” Indonesia. Sementara
itu, unsur legalisasi oleh pemerintah berkenaan dengan tahapan legalisasi
terhadap “ijma ulama” melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan
Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. Titik berat keempat unsur fokus
tersebut ialah kegiatan berbagai pihak yang terlibat dalam proses perumusan
KHI, yang menghasilkan rumusan KHI.
Fokus penelitian MPPK merupakan hubungan keempat unsur itu
sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi. Keempat unsur tersebut ditempatkan
sebagai sesuatu “yang belum diketahui”, untuk dipahami dan dideskripsikan.
Fokus penelitian ini dapat dipersempit dengan cara mengurangi salah satu unsur.
Atau dapat dilakukan modifikasi, dengan cara melakukan rekonstruksi unsur fokus
penelitian sesuai dengan keperluan penelitian yang mengandalkan akal sehat dan
kreativitas peneliti.
2.
Penelitian hasil perumusan KHI, yang dapat disebut
sebagai Model Hasil Perumusan KHI (MHPK).
Model ini
berkenaan dengan substansi KHI sebagaimana tertulis dalam ketiga buku KHI. Di
dalamnya terjadi kohesi antara fiqh dengan substansi hukum lain (nasional, barat,
dan adat). Fokus
penelitian MHPK terdiri atas empat unsur, yakni: substansi fiqh, hukum
nasional, hukum barat. Unsur substansi fiqh berkenaan dengan asas serta materi
fiqh (hukum Islam pada umumnya) yang dialihkan menjadi bagian substansi KHI.
Unsur substansi hukum nasional berkenaan dengan materi peraturan
perundang-undangan (perkawinan dan perwakafan) yang dialihkan menjadi bagian
substansi KHI. Sedangkan unsur substansi hukum barat berkenaan dengan materi Burgerlijk
Wetboek dan hukum tertulis lain produk pemerintahan Belanda yang dialihkan
menjadi bagian substansi KHI. Sementara itu, unsur substansi hukum adat
berkenaan dengan asas dan materi hukum adat, terutama hukum perkawinan dan
hukum kewarisan yang dialihkan menjadi bagian dari substansi KHI.
3.
Penelitian penerapan KHI terutama dalam produk
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang dapat disebut sebagai Model
Penerapan Hukum KHI (MPHK).
Model ini
berkenaan dengan penerapan KHI, sebagai hukum tertulis, dalam pelaksanaan
penegakan hukum. Fokus
penelitian MPHK terdiri atas empat unsur, yakni: jenis perkara, substansi
hukum, proses penerapan hukum. Unsur jenis perkara berkenaan dengan perkara
yang diajukan oleh pihak berperkara kepada pengadilan. Unsur substansi hukum
berkenaan dengan isi pasal atau ayat dalam KHI yang dijadikan dasar untuk
mengadili perkara. Sedangkan unsur proses penerapan hukum berkenaan dengan
tahapan pengalihan substansi KHI ke dalam putusan pengadilan melalui
persidangan dan musyawarah hakim. Sementara itu, unsur temuan hukum berkenaan
dengan hasil ijtihad hakim yang digali dan dipahami dari nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Fokus penelitian MPHK juga dapat dipersempit, dengan cara
mengurangi salah satu unsur terutama unsur temuan hukum. Atau dapat dilakukan modifikasi
fokus tersebut. Dengan modifikasi itu dapat dilakukan rekonstruksi unsur fokus
penelitian itu dengan menggunakan akal sehat dan kreativitas peneliti.
4.
Model
Hasil Perumusan KHI
B.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian KHI
diarahkan untuk memahami dan menjelaskan berbagai aspek KHI baik secara
internal maupun eksternal. Namun demikian, pada dasarnya, yang dibahas dalam
tulisan ini, diarahkan untuk memahami dan menjelaskan hubungan antara fiqh
dengan KHI. Substansi fiqh yang berasal dari beberapa kitab fiqh sangat beragam
sedangkan substansi KHI bersifat seragam. Sementara itu, model penelitian yang
dikemukakan di atas juga bervariasi. Atas perihal tersebut, tujuan penelitian
dapat dirumuskan secara spesifik sesuai dengan pertanyaan penelitian yang
diajukan terhadap fokus penelitian. Oleh karena itu, tujuan penelitian dari
masing-masing ketiga model penelitian tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut:
- Untuk memahami dan menjelaskan tahapan pengalihan substansi hukum (tertulis dan tidak tertulis, khususnya fiqh) yang berasal dari beberapa sistem dan sumber menjadi rumusan KHI;
- Untuk memahmi dan menjelaskan kohesi dan integrasi substansi hukum yang berasal dari beberapa sistem dan sumber sebagaimana dirumuskan dalam substansi KHI.
- Untuk memahami dan menjelaskan substansi fiqh (dengan ragam sumber dan madzhab) dalam substansi KHI;
- Untuk memahami dan menjelaskan penerapan KHI dalam produk pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Selanjutnya dapat dirumuskan tujuan penelitian berkenaan
dengan fokus penelitian eksternal, yang lebih rumit dan komprehensif. Misalnya,
untuk melakukan evaluasi terhadap faktor penunjang dan penghambat
penyebarluasan KHI dalam kehidupan masyarakat. Juga dapat dirumuskan untuk
mengukur koherensi KHI dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Kegunaan
Penelitian
Pada dasarnya penelitian KHI
memiliki kegunaan ganda. Pertama, hasil penelitian berguna untuk mengembangkan
pengetahuan ilmiah dalam kajian fiqh dalam sistem masyarakat Muslim Indonesia.
Hal itu mencakup:
a.
Untuk merumuskan gagasan baru, sehingga wacana fiqh dan
KHI semakin kaya terutama berkernaan dengan anatomi dan dinamika masyarakat
Muslim;
b.
Untuk menata pengkajian fiqh dalam konteks masyarakat
Muslim Indonesia sebagai bagian dari kajian kebudayaan Islam dengan pendekatan
yang holistik;
c.
Untuk dialihkan ke dalam kegiatan pembelajaran,
sehingga para mahasiswa akan memperoleh informasi mutakhir berkenaan dengan
aspek normatif dalam kehidupan suatu masyarakat Muslim;
d.
Untuk dijadikan titik tolak bagi kegiatan penelitian
lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun oleh peneliti lain.
Kedua, hasil penelitian berguna bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat,
khususnya berkenaan dengan aspek penataan kehidupan kolektif. Hal itu mencakup:
(1) Untuk mengembangkan apresiasi terhadap KHI sebagai fondasi dari salah satu
inti kebudayaan dalam masyarakat Muslim; (2) Untuk dijadikan salah satu bahan
rujukan dalam proses penyempurnaan KHI, baik berkenaan dengan perumusannya maupun
penerapannya.
C. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir
D. Langkah-langkah Penelitian
1.
Metode
Penelitian
Terdapat beberapa metode penelitian yang dapat digunakan
bagi penelitian KHI. Penelitian MPPK lebih tepat menggunakan metode penelitian
historis, meskipun peristiwa penyusunan dan perumusan KHI baru berlangsung
lebih kurang duapuluhan tahun yang lampau. Titikberat penelitian ini difokuskan
pada rangkaian peristiwa masa lalu dengan beberapa aktor yang memiliki peranan
dan kontribusi penting dalam proses perumusan KHI.
2.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
KHI sebagai suatu dokumen hukum yang terdiri atas
konsideran, batang tubuh, dan penjelasan, yang tersusun dalam ragam bahasa
hukum.
- Peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang perkawinan dan perwakafan, yang dijadikan rujukan utama KHI.
- Kitab fiqh dan sumber lainnya yang dijadikan rujukan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya di bidang perkawinan.
- Literatur hukum adat yang diadaptasi dan dirujuk oleh KHI.
- Para pihak, sebagai responden, yang terlibat langsung dalam proses perumusan KHI (tim penyusun) dan penerapan KHI (hakim).
3. Pengumpulan Data
Ragam penelitian KHI sebagaimana tercermin dalam model dan
fokus penelitian, serta ragam sumber data, berkonsekuensi terhadap ragam cara
pengumpulan data. Atas perihal tersebut, secara garis besar cara pengmpulan
data dari ketiga model penelitian tersebut terdiri atas wawancara mendalam dan
kajian dokumentasi. Adapun tahapan pengumpulan data tersebut ialah sebagai
berikut:
a.
Peneliti menentukan jenis data yang hendak dikumpulkan,
yang merujuk kepada unsur-unsur fokus penelitian.
- Peneliti menyusun jenis data lebih rinci.
- Peneliti melakukan pengecekan terhadap dokumen yang akan diteliti, baik berkenaan dengan otentisitas dokumen itu maupun kelengkapannya agar penelitian dapat dilakukan dengan lancar dan datanya memadai (MHPK dan MPHK). Atau, peneliti menghubungi responden untuk meminta kesediaan wawancara berkenaan dengan isi, tempat dan waktu wawancara (MPPH). Hal itu menjadi penting karena keberhasilan wawancara sangat tergantung kepada kesediaan pelaku untuk menyampaikan pendapat atau informasi yang akan dikumpulkan.
- Peneliti mengumpulkan data dengan cara memahami dan mencatat isi dokumen dan atau wawancara. Dalam mencatat isi dokumen ada yang patut mendapat perhatian peneliti. Dokumen itu menggunakan ragam bahasa hukum, yang memiliki karakteristik tersendiri.
- Peneliti mencatat isi dokumen yang bibaca dan hasil wawancara yang diperoleh. Pencatatan isi dokumen dan hasil wawancara cukup dibatasi pada hal-hal yang dipandang penting. Sedangkan isi wawancara secara lengkap direkam dalam alat perekam.
- Peneliti melakukan pengecekan terhadap hasil bacaan dokumen dan hasil wawancara, yang dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, dilakukan pembacaan ulang dan wawancara ulang apabila hasil bacaan dan wawancara belum memadai dan ditemukan hal-hal yang belum jelas. Kedua, khusus bagi wawancara dilakukan kepada responden berikutnya apabila kesamaan pandangan antar responden tampak dengan nyata. Dengan kata lain, penggalian data dari pelaku dikonfirmasikan dengan hasil penggalian data dari sumber dokumen yang relevan.
- Peneliti menyalin hasil bacaan dokumen dan atau hasil wawancara menjadi bahasa tulisan, sesuai dengan apa yang tertera dalam dokumen dan ungkapan responden. Salinan itu dicatat secara lengkap, kemudian dialihkan ke dalam lembaran khusus yang diberi kode tertentu.
- Peneliti menyarikan isi catatan yang telah disalin ke dalam bahasa tulisan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh peneliti. Dalam proses ini diperlukan kehati-hatian, terutama hasil wawancara yang dapat disarikan.
- Peneliti melakukan konfirmasi kepada responden terutama tentang sari hasil wawancara. Konfirmasi ini dilakukan untuk memperoleh persetujuan responden; dan menghidarkan kemencengan berdasarkan persepsi atau subyektivitas peneliti.
- Peneliti mengklasifikasikan data sesuai dengan unsur fokus dan pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal itu dilakukan melalui seleksi terhadap sari hasil kajian dokumen dan wawancara, mana yang layak digunakan dan mana yang tidak layak digunakan. Kemudian, mana yang dipandang pokok, dan mana yang dipandang penting, dan mana pula yang dipandang sebagai penunjang.
- Berdasarkan hasil klasifikasi data itu, dilakukan klasifikasi yang lebih spesifik, yakni subkelas data sebagaimana hasil pengumpulan data (kajian dokumen atau wawancara).
Penelitian Perkembangan Fiqih
Secara umum
dapat dimengerti bahwa penelitian historis merupakan penelaahan serta
sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan
secara sistematis. Atau dapat dengan kata lain yaitu penelitian yang bertugas
mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi pada waktu penelitian
dilakukan. Penelitian historis di dalam pendidikan hukum merupakan penelitian
yang sangat penting atas dasar beberapa alasan. Penelitian historis bermaksud
membuat rekontruksi masa latihan secara sistematis dan objektif, dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, mengverifikasikan serta mensintesiskan bukti-bukti
untuk mendukung bukti-bukti untuk mendukung fakta memperoleh kesimpulan yang
kuat. Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa,
waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong
objek-objek yang diobservasi.[14]
Menurut
Jack. R. Fraenkel & Norman E. Wallen, 1990 : 411 dalam Yatim Riyanto, 1996:
22 dalam Nurul Zuriah, 2005: 51 penelitian sejarah adalah penelitian yang
secara eksklusif memfokuskan kepada masa lalu. Penelitian ini mencoba
merenkonstruksi apa yang terjadi pada masa yang lalu selengkap dan seakurat
mungkin, dan biasanya menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dalam mencari data
dilakukan secara sistematis agar mampu menggambarkan, menjelaskan, dan memahami
kegiatan atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Sementara menurut
Donald Ary dkk (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 22) dalam Nurul Zuriah , 2005:
51 juga menyatakan bahwa penelitian historis adalah untuk menetapkan fakta dan
mencapai simpulan mengenai hal-hal yang telah lalu, yang dilakukan secara
sistematis dan objektif oleh ahli sejarah dalam mencari, mengvaluasi dan
menafsirkan bukti-bukti untuk mempelajari masalah baru tersebut.
Berdasarkan
pendangan yang disampaikan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian penelitian sejarah mengandung beberapa unsur pokok, yaitu
a. Adanya
proses pengkajian peristiwa atau kejadian masa lalu (berorientasi pada masa
lalu);
- Usaha dilakukan secara sistematis dan objektif;
- Merupakan serentetan gambaran masa lalu yang integrative antar manusia, peristiwa, ruang dan waktu;
- Dilakukan secara interktif dengan gagasan, gerakan dan intuiasi yang hidup pada zamannya (tidak dapat dilakukan secara parsial).
Adapun yang
menjadi tujuan penelitian sejarah atau historis adalah untuk memahami masa
lalu, dan mencoba memahami masa kini atas dasar persitiwa atau perkembangan di
masa lampau (Jhon W. Best, 1977 dalam Yatim Riyanto, 1996: 23 dalam Nurul
Zuriah 2005: 52). Sedangkan Donal Ary (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 23)
dalam Nurul Zuriah (2005: 52) menyatakan bahwa penelitian historis untuk
memperkaya pengetahuan peneliti tentang bagaimana dan mengapa suatu kejadian
masa lalu dapat terjadi serta proses bagaimana masa lalu itu menjadi masa kini,
pada akhirnya, diharapkan meningkatnya pemahaman tentang kejadian masa kini
serta memperolehnya dasar yang lebih rasional untuk melakukan pilihan-pilihan
di masa kini.
Berikutnya
Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wellen (1990) dalam Yatim Riyanto (1996: 23)
dalam Nurul Zuriah (2005: 52) menyertakan bahwa para peneliti sejarah hukum
melakukan penelitian sejarah dengan tujuan untuk :
a. Membuat
orang menyadari apa yang terjadi peristiwa hukum pada masa lalu sehingga mereka
mungkin mempelajari dari kegagalan dan keberhasilan konsep hukum masa lampau;
- Mempelajari bagaimana sesuatu telah dilakukan system hukum pada masa lalu, untuk melihat jika mereka dapat mengaplikasikan masalahnya pada sistem hukum masa sekarang;
- Membantu memprediksi sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang; ius contituedum;
- Membantu menguji hipotesis yang berkenaan dengan hubungan atau kecendrungan. Misalnya masih dominankah paham positivisme abad 19 dalam penegakan hukum saat ini;
- Memahami praktik dan arah politik hukum sekarang secara lebih lengkap.
Dengan
demikian, tujuan penelitian sejarah tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan
masa kini dan masa mendatang.
A.
Sumber-Sumber
Data
Objek
penelitian sejarah adalah peristiwa atau kehidupan masyarakat pada masa lampau
maka yang menjadi sumber informasi harus mempunyai karakteristik yang berbeda
dengan metode penelitian lainnya. Beberapa sumber tersebut di antaranya adalah
sebagai berikut.
Sumber-sumber
primer, yaitu data yang diperoleh dari cerita para pelaku perisriwa itu
sendiri, dan atau saksi mata yang mengalami atau mengetahui peristiwa tersebut.
Contoh sumber-sumber primer lainnya yang sering menjadi perhatian perhatian
para peneliti di lapangan atau situs di anataranya seperti, dokumen asli,
relief dan benda-benda peninggalan masyarakat zaman lampu.
Sumber
informasi sekunder, yaitu informasi yang diperoleh dari sumber lain yang
mungkin tidak berhubungan langsung dengan peristiwa tersebut. Sumber sekunder
ini dapat berupa para ahli yang mendalami atau mengetahui peristiwa yang
dibahas dan dari buku atau catatan yang berkaitan dengan peristiwa, buku
sejarah, artikel dalam ensiklopedia, dan review penelitian.Dari adanya sumber
primer dan sekunder ini, sebaiknya peneliti apabila mungkin lebih memberikan
bobot sumber-sumber data primer lebih dahulu, baru kemudian data sekunder, data
tersier, dan seterusnya.
B.
Tahapan
Penelitian Sejarah Hukum
Pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan topik penelitian dengan tujuan agar dalam melakaukan pencarian
sumber-sumber sejarah dpat terarah dan tepat sasaran.Pemilihan topik penelitian
dapat didasarakan pada unsur-unsur berikut ini :
a.
Bernilai
Peristiwa sejarah hukum yang diungkap tersebut harus bersifat unik, kekal,
abadi;
b.
Keaslian
(Orisinalitas).Peristiwa sejarah hukum yang diungkap hendaknya berupa
upaya pembuktian baru atau ada pandanganbaru akibat munculnya teori dan metode
baru;
c.
Praktis dan
Efesien. Peristiwa sejarah hukum yang diungkap terjangkau dalam mencari
sumbernya dan mempunyai hubungan yang erat dengan peristiwa itu.
d.
Kesatuan.
Unsur-unsur yang dijadikan bahan penelitian itu mempunyai satu kesatuan ide.
C.
Langkah
–Langkah Penelitian
Setelah menentukan topik penelitian
selanjutnya meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Heuristik
(Pengumpulan Data)
Heuristik merupakan langkah awal
dalam penelitian sejarah untuk berburu dan mengumpulkan berbagi sumber data
yang terkait dengan masalah yang sedeang diteliti.misalnya dengan melacak
sumber sejarah tersebut dengan meneliti berbagai dokumen, mengunjungi situs
sejarah, mewawancarai para saksi sejarah.
2.
Kritik (Verifikasi)
Kritik merupakan kemampuan menilai
sumber-sumber sejarah yang telah dicari (ditemukan). Kritik sumber sejarah
meliputi :
a.
Kritik Ekstern
Kritik ekstern di dalam penelitian
ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslan atau keautentikan bahan yang digunakan
dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, dan naskah.Bentuk
penelitian yang dapat dilakukan sejarawan, misalnyatentang waktu pembuatan
dokumen itu (hari dan tanggal) atau penelitian tentang bahan (materi) pembuatan
dokumen itu sndiri.Sejarawan dapat juga melakukan kritik ekstern dengan
menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia dokumen.
Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan mengidentifikasikan
tulisan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis hurufnya
b.
Kritik Intern
Kritik Intern merupakan penilaian
keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu sendiri. Di
dalam proses analisis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus selalu memikirkan
unsur-unsur yang relevan di dalam dokumen itu sendiri secara menyeluruh. Unsur
dalam dokumen dianggap relevan apabila unsur tersebut paling dekat dengan apa
yang telah terjadi, sejauh dapat diketahui berdasarkan suatu penyelidikan
kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.
3.
Interpretasi
(Penafsiran)
Interpretasi adalah menafsirkan
fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut hingga menjadi satu kesatuan yang
harmonis dan masuk akal. Dari berbagi fakta yang ada kemudian perlu disusun
agar mempunyai bentuk dan struktur. Fakta yang ada ditafsirkan sehingga
ditemukan struktur logisnya berdasarkan fakta yang ada, untuk menghindari suatu
penafsiran yang semena-mena akibat pemikiran yang sempit. Bagi sejarawan
akademis, interfretasi yang bersifat deskriptif sajabelum cukup. Dalam
perkembangan terakhir, sejarawan masih dituntut untuk mencari landasan
penafsiran yang digunakan.
4.
Historiografi
(Penulisan Sejarah)
Historiogray adalah oses penyusunan
fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah
bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang
ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk
kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibavca orang lain. Oleh karena itu
perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisan nya. Sejarawan harus
menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran
yang diajukan.
D.
Teknik
pengumpulan data
Dengan
wawancara terbagi menjadi tiga macam:
1.
Poll Type
Interview
Wawancara dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan dengan jawabannyang telah ditentukan, narasumber tinggal
memilih jawaban yang ada.
2.
Open Type
Interview
Wawancara dilakukan dengan cara
pertanyaan ditentukan terlebih dahulu, sedangkan narasumber dapat menjawab
bebas.
3.
Nonstructured
Interview
Wawancara dilakukan dengan cara
pertanyaan ataupun jawaban tidak ditentukan sebelumnya. Teknik wawancara
merupakan teknik yang bersifat pelengkap artinya wawancara digunakan untuk
melengkapi data atau informasi yang berasal dari sumber dokumen. amun apabila
dumber dokumen tidak ada barulah informasi hasil wawancara dapat dianggap
sebagai bahan pokok penelitian.
Beberapa
persiapan sebelum melakukan wawancara antara lain:
1.
Seleksi individu untuk diwawancarai, yang benar -benar
nara sumber;
2.
Pendekatan terhadap orang yang akan diwawancarai,
empati;
3.
Mengembangkan suasana lancar dalam wawancara misalnya
terekam;
4.
Mempersiapkan pokok masalah yang akan dikemukakan
(ditanyakan), berupa dafatra pertanyaan yang bersifat terbuka memenuhi lima
prinsip 5 + 1 H (What, When, Why, Who, Where, How).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Desain
penelitian disebut juga rencana penelitian. Rencana merupakan suatu kehendak
atau keputusan yang dilakukan oleh seseorang. Rencana bisa juga berarti sebuah
usulan (proposal) yang rinci untuk melakukan atau mencapai sesuatu. Adapun
penelitian adalah pengamatan secara sistematis dan kajian atas bahan dan sumber
sesuatu untuk membangun fakta dan kesimpulan. Jadi yang dimaksud dengan rencana
penelitian adalah sebuah keputusan untuk mengamati atau mengkaji suatu bahan
atau sumber secara sistematis.
Beberapa
pendekatan pada penelitian hukum islam diantaranya adalah :
1. Pendekatan
historis (Historical approach);
2. Pendekatan
kasus (Case Approach);
3. Pendekatan
analisis ( Analitical Aproach;)
4. Pendekatan
Filsafat ( Phylosophycal Approach);
5. Pendekatan
perbandingan (Comparative Approach);
6. Pendekatan
Perundang-undangan( Statute Approach);
Berdasarkan
cir-ciri penelitian hukum Islam dapat disusun wilayah penelitian fiqh sebagai
berikut :
1. Model
penelitian dalil fiqih;
2. Model
penelitian kaidah fiqih;
3. Model
penelitian ulama fiqih;
4. Model
penelitian ulama fuqaha;
5. Model
penelitian mazhab fiqih;
6. Model
penelitian kitab fiqih;
7. Model
penelitian substansi Fiqih;
8. Model
penelitian pengajaran fiqih;
9. Model
penelitian institusional fiqih;
10. Model penelitian fiqih dan pola prilaku;
11. Model
penelitian masalah fiqih;
12. Model
penelitian transformasi fiqih;
13. Model penelitian KHI;
14. Model
penelitian perkembangan fiqih;
15. Model
penelitian rujukan prilaku;
B.
Saran
Tugas
pertama seorang mahasiswa apabila akan melakukan penelitian ialah menyusun
rancangan penelitian. Penyusunan rancangan penelitian ada kaitannya dengan
paradigma yang dianut oleh peneliti. Ternyata ada banyak variasi model proposal
dan skripsi terutama perguruan tinggi, sehingga tak jarang terdapat perbedaan
format didalamnya. Oleh karena itu, hendaknya peneliti ketika menyusun
rancangan penelitian ataupun skripsi mengikuti format sesuai dengan bidang
masing-masing dan format yang diberlakukan oleh masing-masing perguruan tinggi.
Kritik dan Saran membangun dari pembaca
juga diperlukan untuk terwujudnya kelengkapan ilmu dan pengetahuan di
dalam penelitian hukum makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://konsep-dan-teori-teori-muqaranah-mazhab.html
http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/05/01/model-penelitian-fuqaha-bagian-keempat-tinjauan-pustaka-dan-kerangka-berpikir/
bagus jugak kekompaan kelompoknya
BalasHapus