kotak diskusi

kotak diskusi

Selasa, 05 Mei 2015

POLITIK HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



BAB I
PENDAHULUAN

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).



BAB II
PEMBAHASAN

            Untuk memenuhi perubahan kehidupan masyarakat dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan, dan untuk memahami apakah peraturan perundang-undangan, Undang-Undang, dan hukum itu maka perlu ditelaah terlebih dahulu mengenai pengertian hukum, pengertian UU dan peraturan perundang-undangan. Di dalam arti formil, peraturan perundangan-undangan terdiri atas Undang-Undang dan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan lainnya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah dan sebagainya (Pasal 1 angka 3-8 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), sedangkan dalam arti materil Undang-Undang itu adalah hukum. Namun, keliru jika dikatakan bahwa hukum sama dengan undang-undang. Sebab diluar undang-undang masih terdapat kaidah hukum lain seperti hukum adat, hukum kebiasaan, dan hukum yurisprudensi.
Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan. Abdul Wahid Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya (implementasinya). Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.[1]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara  atau Pemerintah. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya.
Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-undangan.
Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatif antara lain:
  1. Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir.
  2. Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang dominan.
  3. Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara.
  4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.
  5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang harus dihukum.
Menurut kepustakaan ilmu hukum, telah dikenal ajaran legisme atau positivisme seperti diajarkan John Austin dan Hans Kelsen, bahwa hukum itu semata-mata kehendak dari penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Tidak ada hukum diluar undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Pengertian semacam ini tidak hanya berlaku dikalangan ilmu pengetahuan, tetapi juga dilingkungan peradilan. Sebenarnya John Austin sendiri tidak memberi arti command of the sovereign begitu sempit hanya terbatas pada undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Menurut John Austin command of the sovereign yang melahirkan hukum positif selain dari pembentuk undang-undang (formal), juga badan-badan pemerintah (pejabat administrasi negara) yang memperoleh delegasi dari sovereign untuk membentuk peraturan perundang-undangan dan badan peradilan yang putusan-putusannya merupakan ketentuan yang mengikat berdasarkan wewenang yang diberikan negara kepadanya.
            Hans Kelsen juga tidak mengartikan bahwa command yang menciptakan hukum itu semata-mata adalah pembuat undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Hukum menurut Hans Kelsen dapat berupa general norms  yang berlaku secara umum dan individual norms yang berlaku untuk orang tertentu. Norma individual ini antara lain lahir dari putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan hukum karena merupakan command yang mempunyai kekuatan mengikat.
            Dalam arti materil undang-undang adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan. Dalam arti formil, undang-undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secaraa umum. Di lihat dari bentuknya yang tertulis dan sifat mengikatnya yang mengikat secara umum maka undang-undang adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Perbedaannya dengan peraturan perundang-undangan lain terletak pada cara pembentukannya yaitu kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
A.    Perubahan Politik Hukum dalam Konstitusi
Perubahan konstitusi (UUD 1945) ditentukan oleh kelompok elite politik yang memegang suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi. Lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan harus berhasil membaca arah perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat yang diatur secara kenegaraan. Dalam setiap perubahan konstitusi terdapat paradigma perubahan yang harus dipatuhi oleh pembuat perubahan. Paradigma perubahan itu menjadi “politik hukum” perubahan konstitusi. Politik hukum konstitusi itu, kurang responsif disebabkan 2 hal yaitu :
1.      Panitia ad hoc telah melakukan berberapa kegiatan untuk menampung aspirasi masyarakat berbagai lapisan dan pendapat pakar melalui tim ahli BP MPR yang mempunyai otoritas keilmuan dibidang perubahan konstitusi.
2.      Masyarakat tidak memperoleh kesempatan dialog lebih luas untuk menanggapi kembali rancangan perubahan yang telah dihasilkan, selain itu hasil kesepakatan panitia ad hoc menggambarkan adanya pertarungan kepentingan, sehingga tidak tercapai rumusan tunggal.
Perbedaan yang dapat dilihat dari alternatif perubahan yang diusulkan betapa menggambarkan kurangnya berpegang pada paradigma perubahan konstitusi yang diinginkan oleh bangsa atau rakyat Indonesia. Maksud perubahan konstitusi adalah dimaksudkan untuk meata kembali pengaturan demokrasi, sehingga terbangun sistem ketatanegaraan yang demokratis. Adapun paradigma perubahan yang syogyanya digunakan sebagai pedoman perubahan konstitusi meliputi materi sebagai berikut :
1.      Mengembalikan hak atas kedaulatan kepada rakyat dengan cara melaksanakan pemilihan umum dengan sistem distrik dan pemilihan Presidan dan Wakil Presiden langsung oleh rakyat. Rumusan kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 harus dan telah diamandemen, agar sistem kedaulatan rakyat dapat digunakan, membenarkan kedaulatan politik di DPR dan DPD kedaulatan hukum di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
2.      Menggunakan sistem bikemeral dalam pembuatan Undang-Undang dengan memberikan kewenangan yang sama antara DPR dan DPD implikasi dari penggunaan sistem bikameral adalah mengubah struktur keanggotaan MPR.
3.      Mempercepat perubahan instrumen hukum yang mengatur lebih lanjut dari kewenangan DPR dibidang perundang-undangan meningkatkan peran DPR melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif, tanpa mengabaikan fungsi legislasi.
4.      Mengubah kekuasaan yang sentralistik dan mengganti ke arah desentralistik, dengan mengevaluasi UU No. 22 tahun 1999 tantang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah.
5.      Mengurangi kekuasaan Presiden dengan cara mendistribusikan kekuasaan secara seimbang dan menerapkan sistem kontrol melalui mekanisme check and balance system.
6.      Menata kembali sistem peradilan melalui  pemisahan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudikatif, dan menciptakan mekanisme kontrol terhadap produk kekuasaan yudikatif dalam kerangka peningkatan kinerja dan kualitas putusan lembaga peradilan.
7.      Memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi melalui konstitusi dan instrumen hukum yang mengatur pelaksanaan HAM.
Berdasarkan paradigma pembaharuan dia atas maka dapat diuraikan mengenai perubahan politik hukum Pemilihan Umum, perubahan sistem kelembagaan DPR, perubahan sistem pemerintahan daerah, perubahan kekuasaan presiden, perubahan sistem peradilan, perubahan jaminan HAM melalui elaborasi paradigma perubahan konstitusi dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1.      Perubahan Sistem Pemilihan Umum
Politik hukum pembaharuan sitem Pemilihan Umum dengan sitem proporsional telah terbukti banyak membawa petaka. Rakyat dikecewakan dengan perilaku wakil rakyat yang tidak aspiratif dan responsif, dalam beberapa hal untuk kepentingan sendiri. Partai politik mempunyai peran yang sangat menentukan, tetapi tidak bertanggungajawab, apalagi mampu menyelesaikan perilaku menyimpang angggota DPR. Oleh karena itu, perlu pengembalian hak atas kedaulatan dalam hal menentukan wakil rakyat, dengan menggunakan sistem distrik. Di dalam sistem distrik ini mengakibatkan terlibat langsung kepentingan kelompok kecil atau minoritas, oleh karena itu kelompok minoritas diberikan kursi di DPR dengan sistem proporsional. Hambatan atas pelakssanaan sistem ini adalah kepentingan partai besar yang penyebaran anggotanya hanya pada satu atau dua provinsi. Dengan demikian, perubahan politik hukum pemilihan umum lebih diarahkan kepada pengembalian kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum secara langsung daripada pemilihan umum secara langsung daripada pemilihan umum dengan sistem perwakilan sebagaimana telah dipraktikan sebelum perubahan konstitusi atau UUD 1945.
2.      Perubahan Sistem Kelembagaan DPR
Politik hukum penggunaan sistem bikameral sebenarnya hanya karena keinginan menghapuskan unsur golongan di MPR. Oleh karena itu, sistem bikameral bukan merupakan solusi terhadap upaya untuk menghapus unsur golongan. Penggunaan sebagian dari unsur sistem parlementer terutama pada cara pengawasan DPR terhadap pemerintah secara efektif dapat meningkatkan peran DPR. Hak meminta keterangan atas “kebijakan pemerintah” yang ditindaklanjuti dengan evaluasi DPR, kemudian penyampaian memorandum dan bermuara pada permintaan DPR kepada MPR untuk menyelenggarakan sidang istimewa MPR, merupakan karakteristik sistem parlementer yang perlu dihapus jika menggunakan sistem presidensil, tetapi pemilihan presiden secara langsung menjadi putusan politik di MPR, perlu diadopsi pula cara pemberhentian presiden atas dakwaan perbuatan kejahatan. Mekanisme pemberhentian tidak perlu menunggu keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kendala pelaksanaan ini pada umumnya adalah bertentangan dengan “asas legalitas”.
3.      Perubahan Kekuasaan Pemerintahan Daerah
Konstitusi atau UUD 1945 perubahan telah memberikan kepada daerah untuk mendistribusikan sebagian kekuasaan pemerintah pusat, bentuk negara kesatuan boleh tetap dipertahankan tetapi jangan digunakan sebagai dalih untuk menghambat ataupun mengurangi pelimpahan pusat kepada daerah. Politik hukum pemerintahan daerah dari sentralistik ke desentralistik melalui perubahan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4.      Perubahan Kekuasaan Presiden
Politik hukum perubahan konstitusi atau UUD 1945 diarahkan pada pembatasan kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara menurut UUD. Perubahan mendasar yang digunakan sebagai dasar perubahan terhadap kekuasaan pemerintahan adalah tuntutan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat dan pengurangan kekuasaan presiden. Pilihan politik hukum ini mempertegas pilihan sistem pemerintahan sistem presidensil, sehingga tidak mengakomodasi tuntutan pengurangan kekuasaan presiden.
Pengurangan kekuasaan presiden dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti telah disepakati antara lain, yaitu memberikan kewenangan kepada DPR untuk memberikan kewenangan kepada DPR untuk memberikan pertimbangan kepada presiden, dan memberikan kewenangan kepada DPR. Membuat undang-undang dengan persetujuan bersama presiden dimana sebelumnya presiden berwenang membentuk undang-undang atas persetujuan DPR.
5.      Perubahan Kekuasaan Kehakiman
Politik hukum penggunaan sistem puncak kekuasaan peradilan hanya ada pada lembaga MA harus ditinggalkan. MA yang diberikan wewenang untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran konstitusi harus lepas dari MA, sehingga pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua lembaga yang kedudukannya sama dan sederajat sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Terciptanya kekuasaan peradilan yang “impartial” merupakan pra syarat terbentuknya pemerintahan demokrasi, oleh karena itu pembenahan dibidang peradilan harus terus dilakukan.
B.     Perubahan Politik Hukum Pemerintahan Daerah
1.      Demokrasi dan Distribusi Kekuasaan
Teori pemisahan kekuasaan, menganut prinsip dasar negara demokrasi yang selalu menuntut dan mengharuskan adanya distribusi kekuasaan, agar kekuasaan tidak terpusat di satu tangan. Kekuasaan yang berpusat di satu tangan bertentangan dengan prinsip demokrasi karena ia membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dan korupsi.distribusi kekuasaan terdiri atas dua macam, yakni distribusi secara horizontal dan distribusi secara vertikal. Disribusi kekuasaan yang horizontal adalah distribusi secara vertikal. Distribusi kekuasaan yang horizontal adalah distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga yang kedudukannya sejajar yang masing-massing diberi fungsi dan disertai check and balance yakni distribusi kekuasaan ke dalam legislatif (membuat undang-undang) eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (menegakkan undang-undang melalui peradilan). Adapun distribusi kekuasaan secra vertikal melahirkan bentuk negara yaitu negara kesatuan dan negara federal.
Negara kesatuan adalah negara yang kekuasaannya di bagi ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentrasi. Ini berarti bahwa daerah-daerah itu mendapat hak yang datang atau diberikan oleh pemerintah pusat berdasarkan undang-undang dan berdasarkan konstitusi. Adapun negara federal adalah negara yang terdiri dari negara-negara bagian yang merdeka ke dalam, tetapi dengan kedaulatan ke luar yang dilakukan sepenuhnya oleh pemerintahan kekuasaan yang diberikan oleh negara-negara bagian yang dimuat di dalam konstitusi.
2.      Pergeseran Otonomi Daerah
Ketika para pendiri Indonesia yang tergabung dalam BPUPKI yang kemudian disusul degan PPKI berembuk untuk membentuk negara Indonesia, maka pilihan mereka jatuh pada prinsip demokrasi dengan bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik (pasal 1 ayat 1 UUD 1945). Ketika itu, ada juga yang mengusulkan bentuk kerajaan, tetapi usul itu hampir sama sekali tidak ada tanggapan. Pada saat itu, Hatta memandang cenderung memilih bentuk federal yang dianggapnya lebih demokratis untuk Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan penduduknya plural.
Pada awal reformasi, muncul wacana federalisme yang diusung oleh Amien Rais dengan bendera Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, wacana tersebut mendapat tentangan keras dari pihak berbagai pihak, seperti TNI, Golkar, dan lainnya. Abdurrahman Wahid, sebelum menjadi Presiden, menengahi pertentangan dalam wacana itu dengan mengusulkan agar Indonesia tetap memakai bentuk negara kesatuan,tetapi pembagian kekuasaannya bisa meniru federal. Berdasarkan itu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menganut otonomi luas yang substansinya mirip dengan federal, yakni hanya menyerahkan sedikit urusan tertentu kepada pusat,yaitu keuangan, hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan dan agama. Agama ditambahkan sebagai urusan pusat, karena jika urusan itu diserahkan ke daerah dikhawatirkan ia memicu disintegrasi antar daerah yang pemeluk mayoritas agamanya berbeda-beda.
3.      Perubahan Otonomi Daerah
Pertama,sejak awal kemerdekaan, politik hukum otonomi daerah senantiasa digariskan melalui proses yang tak pernah selesai. Ia selalu berubah dan diubah sesuai dengan perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu menyangkut berbagai aspek dalam sistem otonomi, materiil, nyata, seluas-luasnya, hubungan kekuasaan, cara pemilihan dan sebagainya, yang dalam praktik lapangannya senantiasa menimbulkan masalah yang berbenturan dengan budaya dan perilaku politik yang selalu mengalami tolak tarik antara elite dan massa.
Kedua, Perubahan pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU No. 22 Tahun 1948 ini menganut asas otonomi formal dan materiil sekaligus.
Ketiga, era demokrasi liberal dan terpimpin, ditandai dengan berlakunya UUDS 1950, gagasan otonomi nyata seluas-luasnya tidak dapat dibendung, sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957.  Dari sudut UU sudah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah sedangkan tugas-tugas pemantauan dilakukan oleh DPD. Pada era demokrasi terpimpin, politik hukum otonomi daerah mengalami titik balik dari desentralisasi ke sentralisasi yang hampir mutlak. Kemudian dikeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Penpres ini kemudian diberi baju hukum baru dengan dikeluarkan UU No. 18 Tahun 1965.
Keempat, era orde baru, setelah demokrasi terpimpin digantikan oleh sistem politik orde baru menyebut diri sebagai demokrasi pancasila, maka otonomi daerah kembali diubah. Melalui Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No.18 Tahun 1965 diubah kembali guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut.
Dengan kekuatan politiknya yang dominan, pemerintah orde baru kemudian mencabut Tap MPRStersebut dan memasukkan masalah itu ke dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN. Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah.
Kelima,era reformasi, ketika era reformasi tahun 1998, politik hukum otonomi daerah, yang dimasa orde baru tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena ia dianggap sebagai otoriterisme pemerintah pusat. UU No.5 Tahun 1974 kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kembali meletakkan prinsip otonomi luas dalam hubungan antara pusat dan daerah.
4.      Perubahan Paradigma Otonomi Daerah
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 merupakan wujud dari paradigma yang dianut pada era reformasi yang berbeda dengan paradigma di masa orde baru. Paradigma politik orde baru adalah paradigma pembangunan ekonomi yang menekankan stabilitas, integrasi dan pengendalian secara sentralistik melelui perencanaan yang terpusat.
UU No. 22 Tahun 1999 dianggap kurang memuaskan dan harus diubah lagi. Maka lahirlah UU No. 32 Tahun 2004. Namun paradigmanya masih sama. Persoalannya adalah perkembangan yang terjadi dilapangan ketika UU No. 22 Tahun 1999 itu dilaksanakan. Seperti semakin mudahnya oknum DPRD ikut melakukan KKN. Hal yang menarik dari perubahan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah menyangkut pemilihan kepala daerah secara langsung yang lebih bersifat demokratis sekaligus dimaksudkan untuk mengatasi politik dalam Pilkada.













BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari beberapa kebijakan yang telah diuraikan di atas menggambarkan betapa penting dan strategisnya fungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan perundang-undangan (hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum (legal substance) untuk mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang efektif, responsif, dan demokratif dalam kerangka pembangunan sistem hukum nasional secara keseluruhan yang meliputi pembangunan berbagai subsistem hukum yang saling terkait.
B.     SARAN
Besar harapan, makalah ini dapat menjadi tambahan sumber bacaan bagi teman-teman. Makalah ini kami buat menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tak luput dari itu, makalah ini tak terhindar dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA