PEMBAHASAN
Pengaruh Agama Terhadap Hukum Adat
(Upacara Bekayekan Mayarakat Suku Pasemah
di Desa Air Mayan)
A. Sejarah,
Kondisi Geografis dan Kepercayaan
Desa Air Mayan adalah salah satu daerah di Kecamatan
Pasemah Air Keruh, Kabupaten Empat Lawang, Provinsi
Sumatera Selatan, Indonesia.
Daerah Pasemah Air Keruh merupakan bagian penyebaran penduduk suku Pasemah dan
Desa Air Mayan merupakan bagian darinya.
Nama Pasemah
adalah karena keterkejutan puyang Atong Bungsu manakala melihat banyak ikan
“Semah” di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Yang terucap oleh
puyang tersebut kemudian adalah “Be-semah” yang berarti ada banyak ikan semah
di sungai tersebut. Istilah Pasemah, terdapat dalam prasasti yang dibuat
oleh balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan
Lampung tahun 680 Masehi yaitu “Prasasti Palas Pasemah” ada hubungannya dengan tanah
Pasemah. Dengan adanya prasasti ini, menunjukkan bahwa suku Pasemah, telah ada
sejak sebelum abad 6 Masehi.
Suku Pasemah atau Besemah adalah suatu masyarakat adat yang bermukim di daerah
perbatasan provinsi Sumatra Selatan dengan provinsi Bengkulu. Wilayah pemukiman
suku Pasemah meliputi daerah sekitar kota Pagar Alam, kecamatan Jarai,
kecamatan Tanjung Sakti dan daerah sekitar kota Agung kabupaten Lahat. Wilayah
pemukiman suku Pasemah ini berada dekat sekitar kaki Gunung Dempo.
Pasemah
secara geografis terletak kearah sebelah barat Kota Palembang atau di pedalaman
Sumatera Selatan. Terhampar di lereng-lereng bukit dan gunung dempo, dengan
ketinggian ± 3200 m diatas permukaan laut. Sebelah timur membujur kearah bukit
besar sedangkan keselatan membujur kearah gunung atau bukit patah.
Menurut
beberapa penulis Barat bahwa sebelum masuknya agama islam di Pasemah dahulu
masyarakat menganut Aninisme. Namun ada pendapat lain bahwa orang Pasemah
sangat percaya pada apa yang disebut puyang sebagai leluhur yang sangat di
hormati, disegani. Karena puyang-puyang ini disamping asal-usul keturunan juga
mempunyai kesaktian terlihat ini jelas hingga sekarang masih diceritakan dan
diakui walau pun sebelum agama islam masuk juga ada pengaruh dari agama Hindu
dan Budha.[1]
B. Upacara
Bekayekan
Kata
ayek atau ayiak
berarti sungai atau alir. Istilah bekayekan
secara harfiah berarti membawa anak ke sungai untuk dimandikan, disucikan
menjelang memasuki usia remaja. Upacara kayek
pada umumnya ada dua macam, yaitu kayek
kupik yang ditujukan untuk anak bayi dan bekayekan yang ditujukan untuk anak perempuan. Upacara ini
merupakan upacara sunat atau khitan perempuan yang berusia 4-7 tahun yang dalam istilah
lokal disebut dengan bekayekan di Desa Air Mayan, Kecamatan Pasemah Air Keruh,
Kabupaten Lintang Empat Lawang Provinsi Sumatera Selatan.
Khitan
secara bahasa diambil dari kata khatana yang berarti memotong. Khitan
bagi perempuan adalah memotong sedikit kulit (selaput)
yang menutupi ujung klitoris (preputium clitoris) atau membuang sedikit
dari bagian klitoris atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada
ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan.[2]
Dalam
prosesi upacara bekayekan mengindikasikan sebagai prosesi upacara peralihan
yang terdiri dari tiga fase yaitu pemisahan dan persiapan subyek upacara (anak
perempuan), tahap liminal atau transisi yang ditandai dengan sikap patuh
terhadap instruksi pimpinan upacara dan diberikannya nilai-nilai, oreintasi,
serta tujuan hidup, dan tahap pengintegrasian subyek upacara (anak perempuan)
ke dalam masyarakatnya dengan status gadis. Sementara itu benda-benda dan
alat-alat yang disertakan dalam upacara beterang mengandung harapan-harapan
terhadap anak perempuan, sedangkan dalam pelaksanaan upacara bekayekan semua
kerabat dekat, kerabat jauh, serta warga sekitar ikut terlibat. Hal ini
menunjukkan masih kuatnya solidaritas sosial di Air Mayan.[3]
A. Peralatan
Dalam
melaksanakan upacara bekayekan terdapat beberapa peralatan yang harus
disediakan, diantaranya yaitu :
1. Kapas;
2. Sebatang
pohon pisang;
3. Tikar;
4. Nampan
(tempat bedak, lipstik, minyak wangi, sisir, celak dan kaca);
5. Langier
(shampo tradisional yang terbuat dari kelapa, pandan, bunga mawar dan daun
jeruk purut);
6. Lemak
manis (makanan yang terbuat dari campuran beras ketan, gula merah dan kelapa);
7. Sapu
tangan;
8. Uang
sebesar Rp. 10.000 atau lebih, menurut kemampuan keluarga yang melaksanakan
upacara bekayekan;
9. Air
bunga.
A. Tata
Laksana[4]
Ketika
hari pelaksanaan upacara bekayekan ditetapkan oleh pihak keluarga, maka pihak
keluarga mengundang para tetangga dan kerabat (kerabat dekat dan kerabat jauh).
Pada umumnya waktu pelaksanaan upacara bekayekan tidaklah dikhususkan, namun
kebanyakan masyarakat Air Mayan melaksanakannya pada bulan Ramadhan,
dikarenakan pada bulan tersebut seluruh masyarakat melaksanakan syukuran yang
namanya dalam masyarakat lokal disebut dengan pantauan.
Pada hari yang ditentukan tersebut anak
perempuan yang akan dikayekan didandankan
dengan peralatan berhias yang telah disediakan di atas nampan yang terdiri dari
bedak, lipstik (abang bibir), minyak
wangi, sisir, celak dan kaca. Setelah itu, anak perempuan tersebut memakai
pakaian adat Sumatera Selatan (betajuk).
Kemudian prosesi selanjutnya ialah anak perempuan tersebut diarak menuju tepian
sungai, yang mana dalam masyarakat Air Mayan diarak sampai ke tepi sungai Ayek
Angat dengan diiringi dengan tabuhan rebana dan lagu qasidah yang dilantunkan
oleh anak-anak kecil yang berusia 4-10 tahun.
Setelah sampai di tepi sungai anak
perempuan tersebut dimandikan oleh dukun bekayekan dan dibacakan mantera atau
do’a, dilangierkan (shampo
tradisional yang terbuat dari kelapa, pandan, bunga mawar dan daun jeruk purut)
dan dimandikan lagi. Lalu anak perempuan tersebut masuk kedalam gulungan tikar
dan selanjutnya dikhitan oleh dukun bekayekan, bagian klitoris yang dikhitan
digulung kedalam kapas dan tiletakkan ke atas nampan. Setelah prosesi khitan
selesai, anak perempuan tadi dihias lagi dengan peralatan hias seperti semula,
lalu diarak kembali menuju pohon kelapa yang telah ditentukan dengan guna
membuang gulungan kapas dan klitoris yang telah dikhitan.
Setelah sampai di tempat pohon kelapa
tersebut, anak perempuan tadi diharuskan mengelilingi pohon kelapa tersebut
sebanyak tujuh kali dengan tangan kanan memegang lemak manis yang dibungkus
dengan daun pisang dan tangan kiri memegang uang sebesar Rp. 10.000 atau lebih,
menurut kemampuan keluarga yang melaksanakan upacara bekayekan yang diiringi
dengan tabuhan rebana dan kelintang. Dukun bekayekan menunggu didekat pohon
kelapa sebagai pertanda genapnya hitungan bagi anak perempuan tersebut sambil
membaca doa-doa. Setelah mengelilingi pohon kelapa, dukun bekayekan kemudian
mengubur bagian klitoris yang dikhitan digulung kedalam kapas dibawah pohon
kelapa. Sewaktu dengan itu anak perempuan yang dikayekan melemparkan lemak
manis dan uang yang digenggamnya kearah kerumunan anak-anak yang mengarak tadi.
Kelapa
memiliki arti yang sakral dalam upacara ini, tunas kelapa adalah sebagai
lambang, tunas kelapa dapat hidup di mana saja, kuat dan kokoh. Begitu juga
nantinya si anak tumbuh, berkembang dan bersosialisasi dengan lingkungannya.[5]
Kemudian apabila prosesi tersebut
selesai, anak perempuan tersebut diarak kembali menuju tempat kediaman yang
ditandakan dengan para keluarga yang telah menunggu di depan pintu untuk
meneteskan air bunga yang telah disiapkan ke mata kanan dan kiri anak perempuan
yang dikayekan oleh bapaknya yang ditujukan agar penglihatan anak tersebut
terang atau jelas.
Prosesi selanjutnya makan seghajang (makan sepiring bersama) dengan jejaka berusia 4-17
tahun yang belum menikah, yang mana dalam prosesi ini bermakna bahwa pasangan seghajang anak perempuan tersebut
menentukan usia jodohmya. Apabila pasangannya berusia lebih muda dari anak
perempuan yang dikayekan maka jodohnya demikian, begitupun sebaliknya. Prosesi
selanjutnya ialah pelaksanaan doa yang dipimpin oleh khatib atau imam, prosesi
ini menandakan bahwa upacara bekayekan telah selesai.
Ada sebagian masyarakat yang
menggabungkan acara ini dengan acara aqiqah. Proses pelaksanaannya tak jauh
berbeda, hanya saja niatnya dalam doa yang sebelumnya hanya ditujukan untuk
berkhitan, sekarang diniatkan untuk aqiqah.
B. Doa
(Mantera)
Doa
yang dibacakan oleh dukun bekayekan hanya diketahui oleh dukun tersebut,
sebagai masyarakat menganggap bahwa yang dibacakan oleh dukun tersebut adalah
doa-doa, namun ada sebagian masyarakat mengatakan bahwa yang dibacakan adalah
berupa ratapan (bacaan jampi/mantera) untuk anak yang dikayekan.
C. Nilai
Budaya
Upacara
bekayekan tidak begitu jelas kapan upacara ini pertama kali di adakan. Menurut
masyarakat upacara ini sudah turun temurun dari nenek moyang mereka,upacara ini
menjadi salah satu unsur kebudayaan yang tidak dapat di pisahkan dari peradaban
masyarakat setempat, yang pastinya upacara ini masih bertahan hingga sekarang
dalam masyarakatnya.
Hal-hal
yang memotivasi masyarakat Muslim di Air Mayan melaksanakan upacara bekayekan
adalah : 1) untuk memberi indentitas sosial kepada anak perempuan sebagai
Muslim; 2) untuk memberikan status sosial sebagai gadis di dalam masyarakatnya;
3) untuk menanamkan sifat-sifat feminim terhadap perempuan di Air Mayan melalui
media benda-benda yang disertakan dan mantra-mantra yang diucapkan oleh dukun
bekayekan.
Oleh
karena itu, upacara bekayekan ini masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat
Air Mayan, walaupun zaman sekarang prossesi khitan untuk anak perempuan ini
sudah dilakukan oleh ahli medis atau bidan setempat, namun tak jarang
masyarakat tetap melaksanakan upacara ini dengan prosesi yang sama, hanya saja
sang dukun tidak mengkhitan anak yang dikayekan.
Dalam
hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Air Mayan masih memegang
teguh dan masih melestarikan apa yang diyakini mereka dalam upacara bekayekan
ini sebagai ritual peralihan status anak perempuan sebelum memasuki status
gadis di lingkungan masyarakatnya.
D. Pengaruh
Agama Terhadap Upacara Bekayekan
Hukum Adat adalah hukum tidak
tertulis, yang merupakan pedoman bagi
sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pegaulan hidup sehari-hari baik di kota
maupun di desa. Hukum Adat senantiasa
tumbuh dari suatu
kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya
merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Tak
terkecuali masyarakat suku Pasemah di Desa Air Mayan ini.
Menurut beberapa penulis Barat bahwa
sebelum masuknya agama islam di Pasemah dahulu masyarakat menganut Aninisme
tetapi ini sangat di ragukan sebab pada dasarnya aninisme adalah suatu bentuk
pekercayaan primitif yang memuja benda-benda yang di percaya mempunyai atau
didiami roh halusmemang keprcayan aninisme banyak dianut suku-suku yang ada di
indonesia seperti di kepulauan Nias, Tapanuli (Batak), suku Dayak di Kalimantan
dan suku dikepualauan Irian (suku asmat). Suku ini membuat patung dari kayu di
pakai dalam upacara keadatan mereka. Tetapi ciri-ciri khas sperti itu atau
pemujaan benda-benda yang di buat sendiri atau terhadap benda lainnya seperti
batang, kayu terdapat dalam keadatan Pasemah (Upacara Adat Pasemah).
Ada
pendapat lain bahwa orang Pasemah sangat percaya pada apa yang disebut puyang
sebagai leluhur yang sangat di hormati, disegani. Karena puyang-puyang ini
disamping asal-usul keturunan juga mempunyai kesaktian terlihat ini jelas
hingga sekarang masih diceritakan dan diakui walau pun sebelum agama islam
masuk juga ada pengaruh dari agama Hindu dan Budha.
Dalam
hubungannya dengan khitan wanita adalah termasuk bagian dari syariat Islam yang
mana agama Islam adalah agama yang banyak dianut masyarakat Air Mayan. Hukum
khitan bagi wanita adalah diperintahkan. Sebagian ulama mewajibkannya, sebagian
hanya menganggapnya sunnah. Meskipun tidak melakukannya, seorang muslim wajib
meyakini bahwa khitan adalah bagian syariat Islam. Telah jelas bahwa khitan
merupakan bagian dari perintah syariat Islam yang mulia. Semua hal yang
diperintahkan dalam syariat pasti memberikan manfaat bagi hamba, baik kita
ketahui maupun tidak. Tidak mungkin ada perintah syariat yang tidak memberikan
manfaat bagi hamba atau bahkan merugikan hamba. Termasuk dalam hal ini khitan
bagi wanita yang merupakan bagian dari syariat Islam.
Meskipun belum ada bukti medis
tentang manfaat khitan bagi wanita namun cukuplah perintah adanya syariat
khitan sebagai bukti bahwa khitan bermanfaat bagi wanita. Di antara manfaat
khitan bagi wanita adalah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu untuk menstabilkan syahwat dan memuaskan pasangan.
Bahkan masyarakat di Desa Air Mayan ini
menganggap bahwa khitan bagi anak perempuan adalah suatu kewajiban, dan bagi
yang tidak melaksanakannya dianggap bukan merupakan bagian dari masyarakat
muslim.
Namun, unsur
kearifan lokal terhadap apa yang disyariarkan Islam ini bercampur baur, dengan
masih adanya pemahaman masyarakat terhadap pemahan animisme yang meskipun itu
hanya sedikit. Seperti halnya dalam upacara bekayekan ini, masyarakat Air Mayan
suku Pasemah masih mempercayai doa atau jampi yang diucapkan dukun bekayekan,
adanya unsur pemahaman masyarakat terhadap setiap hal yang ada dalam setiap
prosesi adalah ada hubungannya dengan masa depan anak perempuan yang dikayekan.
Seperti mengenai kehidupan dan jodoh di masa depan.
DAFTAR
PUSTAKA
Afrita, Wawancara,
Curup, 20 Mei 2015