kotak diskusi

kotak diskusi

Senin, 23 Februari 2015

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia



Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

A.    Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law.[1]
Hasbi Ash-Shiddieqi mendefenisikan hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah ilmu hukum Indonesia, istilah hukum Islam dikenal sebagai penggabungan dua kata, hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata Islam. Jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat bagi semua pemeluk Islam.[2]
B.     Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Pada periode tauliah dari imam, Islam mulai datang dan diterima oleh raja-raja seperti pada kerajaan Mataram. Dengan penerimaan agama Islam dalam kerajaan, otomatis para hakim pelaksana peradilan diangkat oleh sultan atau wali al-amr. Hampir disemua swapraja Islam, jabatan keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan jabatan pemerintahan umum. Misalnya, ditingkat kabupaten ada jabatan agama yang disebut kaum, kaim, modin, amil. Di  tingkat kecamatan ada yang disebut dengan penghulu nabi. Di tingkat kabupaten ada penghulu, seda. Dan di tingkat kerajaan disebut penghulu agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadi yang dibantu dengan beberapa penasihat .[3]
Terdapat beberapa teori tentang kedatangan Islam di Indonesia :[4]
1.      Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H/VII M, langsung dari Arab (Hadramaut) ke pesisir Aceh. Teori ini didukung oleh Naquid al-Attas, Hamka, A. Hasjmi, dll.
2.      Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, bukan dari Arab dan Persia yang dikaitkan dengan daerah Malabar dan Gujarat. Ini dikemukakan oleh sarjana-sarjana Belanda, seperti Pijnappel, G.W.J. Drewes yang kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje.
3.      Islam di Indonesia datang dari Benggali (Bangladesh) karena kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Namun, teori ini sangat lemah karena madzhab hukum yang dominan di Benggali adalah Hanafi, bukan Syafi’i.
Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai (Aceh, dekat Lhokseumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir pada diskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir, yang menjadi sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fuqaha yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di Kerajaan Pasai ketika itu adalah hukum Islam mazhab Syafi’i. Menurut Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke Kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.[5]
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan hukum Islam mempunyai peran yang amat besar. Misalnya, ketika seorang saudagar hendak menikah dengan seorang pribumi, maka wanita itu diislamkan lebih dahulu dan kemudian pernikahannya dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan antar anggotanya dengan kaidah Islam atau kaidah lama yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Ketika seorang suami istri meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan Islam. Jika ada sengketa diantara mereka, sengketa itu diselesaikan oleh hakam melalui tahkim kepada muhakkam yang merupakan asal-usul Peradilan Agama pada permulaan perkembangan agama Islam di nusantara ini. Pembentukan keluarga yang kemudian berkembang menjadi masyarakat Islam yang baru memerlukan pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun untuk orang yang telah dewasa.[6]
Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan yang selama ini dijalankan oleh lembaga tahkim dipindahkan dan diberikan kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar bisa ditegakkan dan sekaligus merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam memberi layanan kepada masyarakat. Dari itu, maka muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa tempat, diantaranya : Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, dan Keraptan Qadi di Banjar dan Pontianak.
Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peran saudagar dalam menyebarkan ajaran Islam digantikan oleh para ulama sebagai guru dan pengawal hukum Islam. Misalnya, Nuruddin Ar-Ramri (yang hidup di abad ke-17) menulis buku Islam dengan judul Siratal Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628. Menurut Hamka kitab ini adalah kitab yang pertama disebarkan ke seluruh Indonesia oleh Syaikh Arsyad Banjari yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab ini itu diperluas dan diperpanjang uraiannya di dalam sabilal Muhtadin dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di kesultanan Banjar.
Demikian juga didaerah kesultanan Palembang, Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan Mataram terdapat di dalam kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka.
Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini.
Ketika VOC datang ke nusantara ini, ia tidak saja hanya mengakui keberlakuan hukum Islam, bahkan berusaha untuk membukukan hukum Islam ke dalam berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumi putera di wilayah yang mereka kuasai. Tahun 1970 diterbitkan kitab sebagai kumpulan hukum pertama yang diberi nama kitab hukum mogharrer yang memuat hukum orang Jawa untuk keperluan Landraad di Semarang. Kitab hukum ini memuat hukum pidana dan hukum perdata Islam. Pada tahun 1760, diterbitkan pula suatu hukum Islam mengenai hukum kewarisan dan perkawinan, kitab ini diberi nama Compendium Freijer. Di samping dua kitab ini masih ada kitab yang dibuat di zaman VOC, seperti kitab pepakem Cirebon pada tahun 1768 dan kitab Compendium van Clootwijck untuk daerah Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan. [7]
Setelah kekuasaan VOC berakhir, indonesia dikuasai oleh kolonis Belanda dan kemudian oleh Inggris. Sampai pada tahun 1816 posisi hukum Islam masih mantap. Raffles yang menjdai gubernur jenderal Inggris menyatakan bahwa hukum yang berlaku dikalangan masyarakat adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an, sehingga pelaksanaan hukum kewarisan dan hukum perkawinan berjalan sebagaimana mestinya. Salomon Keyzer berpendapat bahwa hukum Islamlah yang berlaku dikalangan orang-orang Jawa. Pendapat ini dikuatkan oleh L.W.C van den Berg yang mengatakan bahwa pendapat hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.
Pendapat van den Berg di atas mendapat tentangan dari Christian Snouck Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam Indonesia bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat. Di dalam hukum adat itu memang telah ada pengaruh Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Pendapat ini dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh Cornelis Vollenhoven dan Betrand ter Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid pengikutnya.[8]
Pendapat Christian Snouck Hurgronje diatas banyak mendapat tentangan dari pemikir hukum Islam di Indonesia. Menurut mereka teori tersebut mempunyai maksud-maksud politik untuk mematahkan perlawanan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh hukum Islam terhadap kekuasaan kolonial. Dengan teori itu, Belanda hendak mematikan hukum Islam dalam masyarakat yang dilaksanakan sejalan dengan pengejaran dan pembunuhan terhadap pemuka dan ulama-ulama besar Islam seperti yang di Aceh ketika itu.
Selain itu, pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah yang menyebabkan pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang priestraad atau raad agama di Jawa dan Madura. Sebelum itu, pada tahun 1882 secara resmi menurut hukum ketatanegaraan Hindia Belanda Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara kewarisan orang-orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Komisi yang diketuai oleh Betrand ter Haar Bzn ini memberi rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka dengan Staatblad Tahun 1937 Nomor 116 dicabutlah wewenang Raad Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan.[9]
Namun, Pengadilan Agama tetap menyelesaikan perkara kewarisan dengan cara mengesankan. Oleh karena itu kebanyakan Pengadilan Agama selalu menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu hanya untuk melayani konsultasi perkara kewarisan.
Kedudukan politik Islam pada masa pra kemerdekaan, khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan, berada pada posisi yang tidak pasti. Selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme, hal itu juga disebabkan karena dalam wilayah Indonesia tidak ada satu pun sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat.
Sistem hukum yang ada di Indonesia masih terpenggal-penggal yang merupakan hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam lama yang penyusunannya belum terstruktur dengan baik. Hal ini menyebabkan hukum Islam menjadi gagap ketika harus berhadapan dengan sistem hukum yang relatif lebih maju (Belanda) dan juga sistem hukum adat. Belum sempurnanya transplantasi hukum adat dan politik elektisisme dengan hukum barat  (Belanda) yang sangat kental telah membuat hukum Islam berjalan dengan tidak wajar.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemimpin Islam dengan berbagai cara berupaya untuk mengembalikan hukum Islam pada kejayaannya semula. Begitulah, menjelang kemerdekaan Indonesia Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk pada tahun 1945, dan bersidang untuk merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara Indonesia merdeka di kemudian hari. Pemimpin Islam yang menjadi anggota badan tersebut terus berusaha menundukkan hukum Islam dalam negara Indonesia itu kelak.[10]
Kemudian dirumuskan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yang dikenal dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang dicapai melalui Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Di dalam piagam itu dinyatakan antara lain bahwa negara ‘’Berdasarkan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’’. Tujuh kata terakhir ini dihilangkan dari pembukaan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dengan imbalan tambahan kata ‘’Yang Maha Esa’’, sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.[11]
Selain perkembangan hukum Islam melalui perundang-undangan, terdapat juga perkembangan ijtihad, ijma’ para ulama mengenai sistem kewarisan bilateral menurut Qur’an dan Hadis, kedudukan ahli waris pengganti (mawali) dalam kewarisan Islam dan lahirnya kaidah hukum perkawinan Islam, hukum kewarisan Islam, dan hukum kewakafan Islam.
Perjuangan untuk melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasilnya ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan secara konstitusional juridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih yang diangggap representatif telah disahkan oleh pemerintahan Indonesia. Diantaranya adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang merupakan tindak lanjut dari UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Oleh karenanya, adalah wajar jika pada tahun 1991 Presiden RI mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI).[12]
Selain beberapa legislasi diatas masih ada beberapa peraturan perundang-undangan lain yang mendukung terlaksananya hukum Islam di Indonesia, diantaranya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.[13]




                                                                   Kesimpulan
 
1.      Hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat bagi semua pemeluk Islam.
2.      Perjalanan perkembangan hukum Islam di Indonesia dimulai dari proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan. Setelah agama Islam berakar, peran saudagar digantikan oleh para ulama dan ketika VOC datang ke nusantara,  keberlakuan hukum Islam pun diakui. Kemudian Indonesia dikuasai oleh kolonis Belanda kemudian Inggris. Dengan teori, Belanda hendak mematikan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemimpin Islam berupaya untuk mengembalikan hukum Islam pada kejayaannya semula. Selain perkembangan hukum Islam melalui perundang-undangan, terdapat juga perkembangan ijtihad dan ijma’ para ulama.


Daftar Pustaka

Ali Zainuddin, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2010)
Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006)
Fuad Mahsun, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta : LkiS, 2005)
Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003)


[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3
[2] Ibid., h. 7-8
[3] Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006). h. 34
[4] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta : LkiS, 2005), h. 27-30
[5] Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 95
[6] Ibid., h. 93-94
[7] Ibid., h. 94-95
[8] Ibid., h. 95
[9] Ibid., h. 95-96
[10] Ibid., h. 96
[11] Ibid., h. 96-97
[12] Op-Cit., Mahsun Fuad, h. 56-57
[13] Ibid., h. 57

Hukum Materiil dan Formil di Pengadilan Agama




Hukum Materiil dan Formil di Pengadilan Agama

            Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, yaitu Hukum Materiil dan Hukum Formil yang sering disebut hukum acara.
A.    Pengertian Hukum Materiil dan Formil
Hukum materiil yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum formil yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. Dengan kata lain, hukum yang memuat peraturan yang mengenai cara-cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan tata cara hakim memberi putusan.[1]
B.     Hukum Materiil Peradilan Agama
Hukum materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefenisikan sebagai fikih. Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan disisi lain, dikeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 23 Taahun 1954 yang mengatur hukum tentang perkawinan, talak dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1947 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.[2]
Dalam surat biro peradilan tersebut dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab yakni : Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in, Syarqawi ‘Alat Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al-Mahalli, Fatkhul Wahab, Tuhfah, Targhib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, Syamsuri Li Faraid, Bughyat Al-Musytarsyidin, Al-Fiqih Al Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-Muhtaj.[3]
Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya pun belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum positif adalah hukun yang tertulis, dan hukum yang menjadi pedoman Peradilan Agama masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Untuk menjembatani hal tersebut maka sejak tanggal 02 Januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan ini merupakan awal pergeseran hukum islam menjadi hukum tertulis. Namun bagian lain dari perkawinan seperti Kewarisan dan Wakaf masih di luar hukum tertulis sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan oleh Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama karena pengambilan dan dasar hukumnya dari kitab fikih yang berbeda.
Pada sisi lain negara-negara Islam juga memberlakukan hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangannya. India pada masa Raja Al-Rijeb membuat dan memberlakukan hukum islam sebagai undang-undang yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi hukum Islam.
Atas dasar itu semua dan untuk memperoleh kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum islam setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama, melakukan loka karya dan hasil pengkajian, penalaahan kitab kemudian ditambah dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya seperti Maroko, Turki dan Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi naskah kompilasi, diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden tanggal 14 Maret 1988 tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama.[4]
Untuk menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan waktu yang terlalu panjang sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat mendesak. Oleh karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggunakan instrumen hukum Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan sekaligus menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagai pedoman dan menyesuaikan masalah-masalah hukum Islam yang terjadi. Di samping itu, dalam surat Keputusan Menteri Agama tersebut memerintahkan agar Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama agar mengoordinasi pelaksanaannya.[5]
Kemudian dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 7  Tahun 1989 dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas tugas dan wewenangnya, yaitu :[6]
1.      Perkawinan
2.      Kewarisan
3.      Wasiat
4.      Hibah
5.      Wakaf
6.      Zakat
7.      Shadaqah
8.      Infaq
9.      Ekonomi syari’ah
Dalam pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah : bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, bisnis syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah.
C.     Hukum Formil Peradilan Agama
Meskipun lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah dibentuk oleh Pemerintah Belanda dengan Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl.1937 No 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957 tetapi dalam peraturan tersebut tidak disinggung sama sekali tentang hukum acara yang harus digunakan oleh hakim dalam memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak ada ketentuan resmi tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama mengambil inti sari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fikih yang dalam penerapannya berbeda antar satu Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama lainnnya.[7]
Oleh karena hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura. Reglement Voor De Buitengwesten (R.Bg) untuk luar Jawa dan Madura, maka kedua aturan hukum acara ini diberlakukan juga di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut.
Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakkukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut :[8]

1.      Reglement op de Burgerlijk Rechsvordering (B.Rv)
Hukum acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van Justie dan Residentie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 dan Stbl. 1849 No. 63. Berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848.
Dengan dihapuskannya Raad van Justie dan Hoogerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Tetapi oleh karena hal yang diatur dalam B.Rv masih banyak yang relevan dengan perkembangan hukum acara saat ini, dan untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan-ketentuan tersebut masih dipakai dalam pelaksanaan Hukum Acara Perdata dilingkungan Peradilan Umum. Misalnya, tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, dan ketetntuan hukum acara perdata lainnya.
2.      Inlandsch Reglement (IR)
Ketentuan hukum acara lain diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah namanya menjadi Het Herziene Indonesia Reglement (HIR) atau disebut juga Reglement Indonesia yang diperbarui RIB yang diberlakukan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
3.      Rechtsregelement Voor De Buitengwesten (R.Bg)
Ketentuan hukum acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang berada diluar Jawa dan Madura yang berperkara di Landraad.
Bab II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7 titel, yang masih digunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah seberang adlah titel IV dan V, sedangkan titel I, II, III, VI dan VII tidak digunakan lagi seiring dengan dihapuskannya Pengadilan Districgerecht, Districtraad, Magistraadgerecht, Residentiegerecht dan R. van Justitie.
4.      Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.
5.      Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga terdapat sumber Hukum Acara Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam praktik peradilan.
WvK diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23 khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275.
6.      Peraturan Perundang-undangan
a.       Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk daerah luar jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.
b.      Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir keduanya dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam praktik Peradilan di Indonesia.
c.       Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung RI.
d.      Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-Undang ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum tersebut.
e.       Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut.
f.       Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 54 disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali hal-hal lain yang telah diatur secara khusus.
g.      Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 3 buku, yaitu Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Wakaf.
7.      Yurisprudensi
Dalam kamus Fockerna Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, S.H (1998 : 14) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak boleh terikat dalam putusan yurisprudensi terasebut, sebab negara Indonesia tidak menganut asas ‘’ the binding force of precedent’’, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat keputusan sebelumnya.
8.      Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang Surat Edaran Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.
Surat edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI ini banyak pakar hukum menganggap bahwa Mahkamah Agung RI sudah mencampuri urusan hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana yang diatur pada Pasal 195 HIR dan R.Bg sekaligus tampaknya pendapat tersebut ada benarnya tetapi apabila dilihat Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang baru, disebutkan dalam pasal 11 ayat (4) ditegaskan bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang berada dibawahnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah Agung RI berwenang memberikan petunjuk apabila dianggap perlu agar suatu masalah hukum tidak menyimpang dari aturan yang telah ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirian hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang dianjurkan kepadanya.
9.      Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988 :8), doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan hukum acara guna, hakim dapat mengadili hukum acara perdatta. Doktrin itu bukan hukum,  melainkan sumber hukum.
Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fikih. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/ 1/ 1735 Tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan peraturan pemerintahan No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab fikih.
Dengan menunjukkan kepada 13 buah kitab fikih, diharapkan hakim Peradilan Agama dpat mengambil atau menyerahkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang dianjurkan kepadanya dilingkungan Peradilan Agama.
Beberapa asas hukum acara peradilan agama, antara lain :[9]
1.      Pemeriksaan perkara dimulai setelah diajukan gugatan/permohonan,
2.      Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau tidak jelas,
3.      Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
4.      Putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat ‘’Bismillahirrahmanirrahim’’,
5.      Pengadilan mengadili dengan menurut hukum dan dengan tidak membeda-bedakan orang,
6.      Pengadilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan,
7.      Sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian dilakukan sidang tertutup,
8.      Rapat pemusyawaratan hakim bersifat rahasia,
9.      Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.


  
 
Kesimpulan

1.         Hukum materiil yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum formil yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil.
2.         Sebelum tahun 1991, yakni sebelum lahirnya KHI, hukum materiil Peradilan Agama merupakan hukum tidak tertulis, karena masih berserakan di berbagai kitab-kitab fikih dan pada tahun 1958 sudah diarahkan hanya pada 13 kitab saja.
3.         Hukum formil sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hukum acara Peradilan Agama masih mengambil dari kitab-kitab fikih, karenanya kemungkinan terjadinya perbedaan sangat besar. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum (HIR dan Rbg) kecuali hal-hal yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989.


Daftar Pustaka

Djalil A Basiq, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006)