BAB I
PENDAHULUAN
Peraturan
perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh
karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah
politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa
hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk
politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan
atau hasil desain lembaga politik (politic body).
Peraturan
perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh
karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah
politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa
hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk
politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan
atau hasil desain lembaga politik (politic body).
BAB
II
PEMBAHASAN
Untuk memenuhi perubahan kehidupan
masyarakat dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan, dan untuk
memahami apakah peraturan perundang-undangan, Undang-Undang, dan hukum itu maka
perlu ditelaah terlebih dahulu mengenai pengertian hukum, pengertian UU dan
peraturan perundang-undangan. Di dalam arti formil, peraturan
perundangan-undangan terdiri atas Undang-Undang dan berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan lainnya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan daerah dan sebagainya (Pasal 1 angka 3-8 UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), sedangkan dalam arti materil
Undang-Undang itu adalah hukum. Namun, keliru jika dikatakan bahwa hukum sama
dengan undang-undang. Sebab diluar undang-undang masih terdapat kaidah hukum
lain seperti hukum adat, hukum kebiasaan, dan hukum yurisprudensi.
Bagir
Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu
sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan
itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan
perundang-undangan. Abdul Wahid Masru mengartikan politik peraturan
perundang-undangan sebagai kebijakan yang diterjemahkan sebagai tindakan
pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap
perencanaannya sampai dengan penegakannya (implementasinya). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan
pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara.[1]
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk monopoli negara
yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang bukan badan
negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada
deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin
mengikutsertakan pihak bukan negara atau Pemerintah. Hal tersebut
didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan, baik langsung
maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh
karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya.
Keikutsertaan tersebut dapat dalam
bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai
prakarsa dalam mengusulkan/memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau
memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas
berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan.
Dalam praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian
ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau duduk dalam
kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-undangan.
Dari yang telah diuraikan tersebut,
maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat diformulasikan sedemikian
rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi
berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat
diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena
dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau
negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau
landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka
tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang
lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum
tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah
menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan
apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai,
keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam sejarah perkembangan peraturan
perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun
sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara
Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum
yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik.
Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatif antara
lain:
- Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir.
- Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang dominan.
- Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara.
- Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.
- Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang harus dihukum.
Menurut
kepustakaan ilmu hukum, telah dikenal ajaran legisme atau positivisme seperti
diajarkan John Austin dan Hans Kelsen, bahwa hukum itu semata-mata kehendak
dari penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Tidak ada hukum diluar
undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Pengertian semacam ini tidak
hanya berlaku dikalangan ilmu pengetahuan, tetapi juga dilingkungan peradilan.
Sebenarnya John Austin sendiri tidak memberi arti command of the sovereign begitu sempit hanya terbatas pada
undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Menurut John Austin command of the sovereign yang melahirkan
hukum positif selain dari pembentuk undang-undang (formal), juga badan-badan
pemerintah (pejabat administrasi negara) yang memperoleh delegasi dari sovereign untuk membentuk peraturan
perundang-undangan dan badan peradilan yang putusan-putusannya merupakan
ketentuan yang mengikat berdasarkan wewenang yang diberikan negara kepadanya.
Hans Kelsen juga tidak mengartikan
bahwa command yang menciptakan hukum
itu semata-mata adalah pembuat undang-undang atau peraturan perundang-undangan.
Hukum menurut Hans Kelsen dapat berupa
general norms yang berlaku secara
umum dan individual norms yang
berlaku untuk orang tertentu. Norma individual ini antara lain lahir dari
putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan hukum karena merupakan command yang mempunyai kekuatan
mengikat.
Dalam arti materil undang-undang
adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan. Dalam arti formil, undang-undang
adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan
legislatif dan kekuasaan eksekutif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat
atau mengikat secaraa umum. Di lihat dari bentuknya yang tertulis dan sifat
mengikatnya yang mengikat secara umum maka undang-undang adalah salah satu
jenis peraturan perundang-undangan. Perbedaannya dengan peraturan
perundang-undangan lain terletak pada cara pembentukannya yaitu kerjasama
antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
A. Perubahan
Politik Hukum dalam Konstitusi
Perubahan
konstitusi (UUD 1945) ditentukan oleh kelompok elite politik yang memegang
suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan
konstitusi. Lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan harus
berhasil membaca arah perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat yang diatur
secara kenegaraan. Dalam setiap perubahan konstitusi terdapat paradigma perubahan
yang harus dipatuhi oleh pembuat perubahan. Paradigma perubahan itu menjadi
“politik hukum” perubahan konstitusi. Politik hukum konstitusi itu, kurang
responsif disebabkan 2 hal yaitu :
1. Panitia
ad hoc telah melakukan berberapa
kegiatan untuk menampung aspirasi masyarakat berbagai lapisan dan pendapat
pakar melalui tim ahli BP MPR yang mempunyai otoritas keilmuan dibidang
perubahan konstitusi.
2. Masyarakat
tidak memperoleh kesempatan dialog lebih luas untuk menanggapi kembali
rancangan perubahan yang telah dihasilkan, selain itu hasil kesepakatan panitia
ad hoc menggambarkan adanya
pertarungan kepentingan, sehingga tidak tercapai rumusan tunggal.
Perbedaan
yang dapat dilihat dari alternatif perubahan yang diusulkan betapa
menggambarkan kurangnya berpegang pada paradigma perubahan konstitusi yang
diinginkan oleh bangsa atau rakyat Indonesia. Maksud perubahan konstitusi
adalah dimaksudkan untuk meata kembali pengaturan demokrasi, sehingga terbangun
sistem ketatanegaraan yang demokratis. Adapun paradigma perubahan yang
syogyanya digunakan sebagai pedoman perubahan konstitusi meliputi materi
sebagai berikut :
1. Mengembalikan
hak atas kedaulatan kepada rakyat dengan cara melaksanakan pemilihan umum
dengan sistem distrik dan pemilihan Presidan dan Wakil Presiden langsung oleh
rakyat. Rumusan kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 harus dan telah
diamandemen, agar sistem kedaulatan rakyat dapat digunakan, membenarkan
kedaulatan politik di DPR dan DPD kedaulatan hukum di Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
2. Menggunakan
sistem bikemeral dalam pembuatan Undang-Undang dengan memberikan kewenangan
yang sama antara DPR dan DPD implikasi dari penggunaan sistem bikameral adalah
mengubah struktur keanggotaan MPR.
3. Mempercepat
perubahan instrumen hukum yang mengatur lebih lanjut dari kewenangan DPR
dibidang perundang-undangan meningkatkan peran DPR melakukan pengawasan
terhadap kekuasaan eksekutif, tanpa mengabaikan fungsi legislasi.
4. Mengubah
kekuasaan yang sentralistik dan mengganti ke arah desentralistik, dengan
mengevaluasi UU No. 22 tahun 1999 tantang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
tahun 1999 tentang Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah.
5. Mengurangi
kekuasaan Presiden dengan cara mendistribusikan kekuasaan secara seimbang dan
menerapkan sistem kontrol melalui mekanisme check
and balance system.
6. Menata
kembali sistem peradilan melalui
pemisahan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudikatif, dan
menciptakan mekanisme kontrol terhadap produk kekuasaan yudikatif dalam
kerangka peningkatan kinerja dan kualitas putusan lembaga peradilan.
7. Memberikan
jaminan perlindungan hak-hak asasi melalui konstitusi dan instrumen hukum yang
mengatur pelaksanaan HAM.
Berdasarkan
paradigma pembaharuan dia atas maka dapat diuraikan mengenai perubahan politik
hukum Pemilihan Umum, perubahan sistem kelembagaan DPR, perubahan sistem
pemerintahan daerah, perubahan kekuasaan presiden, perubahan sistem peradilan,
perubahan jaminan HAM melalui elaborasi paradigma perubahan konstitusi dalam peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :
1. Perubahan
Sistem Pemilihan Umum
Politik
hukum pembaharuan sitem Pemilihan Umum dengan sitem proporsional telah terbukti
banyak membawa petaka. Rakyat dikecewakan dengan perilaku wakil rakyat yang tidak
aspiratif dan responsif, dalam beberapa hal untuk kepentingan sendiri. Partai
politik mempunyai peran yang sangat menentukan, tetapi tidak bertanggungajawab,
apalagi mampu menyelesaikan perilaku menyimpang angggota DPR. Oleh karena itu,
perlu pengembalian hak atas kedaulatan dalam hal menentukan wakil rakyat,
dengan menggunakan sistem distrik. Di dalam sistem distrik ini mengakibatkan
terlibat langsung kepentingan kelompok kecil atau minoritas, oleh karena itu
kelompok minoritas diberikan kursi di DPR dengan sistem proporsional. Hambatan
atas pelakssanaan sistem ini adalah kepentingan partai besar yang penyebaran
anggotanya hanya pada satu atau dua provinsi. Dengan demikian, perubahan
politik hukum pemilihan umum lebih diarahkan kepada pengembalian kedaulatan rakyat
melalui pemilihan umum secara langsung daripada pemilihan umum secara langsung
daripada pemilihan umum dengan sistem perwakilan sebagaimana telah dipraktikan
sebelum perubahan konstitusi atau UUD 1945.
2. Perubahan
Sistem Kelembagaan DPR
Politik
hukum penggunaan sistem bikameral sebenarnya hanya karena keinginan
menghapuskan unsur golongan di MPR. Oleh karena itu, sistem bikameral bukan
merupakan solusi terhadap upaya untuk menghapus unsur golongan. Penggunaan
sebagian dari unsur sistem parlementer terutama pada cara pengawasan DPR
terhadap pemerintah secara efektif dapat meningkatkan peran DPR. Hak meminta
keterangan atas “kebijakan pemerintah” yang ditindaklanjuti dengan evaluasi
DPR, kemudian penyampaian memorandum dan bermuara pada permintaan DPR kepada MPR
untuk menyelenggarakan sidang istimewa MPR, merupakan karakteristik sistem
parlementer yang perlu dihapus jika menggunakan sistem presidensil, tetapi
pemilihan presiden secara langsung menjadi putusan politik di MPR, perlu
diadopsi pula cara pemberhentian presiden atas dakwaan perbuatan kejahatan.
Mekanisme pemberhentian tidak perlu menunggu keputusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Kendala pelaksanaan ini pada umumnya adalah
bertentangan dengan “asas legalitas”.
3. Perubahan
Kekuasaan Pemerintahan Daerah
Konstitusi
atau UUD 1945 perubahan telah memberikan kepada daerah untuk mendistribusikan
sebagian kekuasaan pemerintah pusat, bentuk negara kesatuan boleh tetap
dipertahankan tetapi jangan digunakan sebagai dalih untuk menghambat ataupun
mengurangi pelimpahan pusat kepada daerah. Politik hukum pemerintahan daerah
dari sentralistik ke desentralistik melalui perubahan UU No. 22 tahun 1999 dan
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4. Perubahan
Kekuasaan Presiden
Politik
hukum perubahan konstitusi atau UUD 1945 diarahkan pada pembatasan kekuasaan
presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara menurut UUD. Perubahan mendasar yang digunakan sebagai
dasar perubahan terhadap kekuasaan pemerintahan adalah tuntutan pemilihan
presiden secara langsung oleh rakyat dan pengurangan kekuasaan presiden.
Pilihan politik hukum ini mempertegas pilihan sistem pemerintahan sistem
presidensil, sehingga tidak mengakomodasi tuntutan pengurangan kekuasaan
presiden.
Pengurangan
kekuasaan presiden dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti telah
disepakati antara lain, yaitu memberikan kewenangan kepada DPR untuk memberikan
kewenangan kepada DPR untuk memberikan pertimbangan kepada presiden, dan
memberikan kewenangan kepada DPR. Membuat undang-undang dengan persetujuan
bersama presiden dimana sebelumnya presiden berwenang membentuk undang-undang
atas persetujuan DPR.
5. Perubahan
Kekuasaan Kehakiman
Politik
hukum penggunaan sistem puncak kekuasaan peradilan hanya ada pada lembaga MA
harus ditinggalkan. MA yang diberikan wewenang untuk memeriksa dan mengadili
pelanggaran konstitusi harus lepas dari MA, sehingga pelaksanaan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh dua lembaga yang kedudukannya sama dan sederajat sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman. Terciptanya kekuasaan peradilan yang “impartial” merupakan pra syarat
terbentuknya pemerintahan demokrasi, oleh karena itu pembenahan dibidang
peradilan harus terus dilakukan.
B. Perubahan
Politik Hukum Pemerintahan Daerah
1. Demokrasi
dan Distribusi Kekuasaan
Teori
pemisahan kekuasaan, menganut prinsip dasar negara demokrasi yang selalu
menuntut dan mengharuskan adanya distribusi kekuasaan, agar kekuasaan tidak
terpusat di satu tangan. Kekuasaan yang berpusat di satu tangan bertentangan
dengan prinsip demokrasi karena ia membuka peluang terjadinya
kesewenang-wenangan dan korupsi.distribusi kekuasaan terdiri atas dua macam,
yakni distribusi secara horizontal dan distribusi secara vertikal. Disribusi
kekuasaan yang horizontal adalah distribusi secara vertikal. Distribusi
kekuasaan yang horizontal adalah distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga
yang kedudukannya sejajar yang masing-massing diberi fungsi dan disertai check and balance yakni distribusi
kekuasaan ke dalam legislatif (membuat undang-undang) eksekutif (melaksanakan
undang-undang) dan yudikatif (menegakkan undang-undang melalui peradilan).
Adapun distribusi kekuasaan secra vertikal melahirkan bentuk negara yaitu
negara kesatuan dan negara federal.
Negara
kesatuan adalah negara yang kekuasaannya di bagi ke daerah-daerah melalui
pemberian otonomi atau pemberian wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus
dan mengatur rumah tangga mereka sendiri melalui desentralisasi atau melalui
dekonsentrasi. Ini berarti bahwa daerah-daerah itu mendapat hak yang datang
atau diberikan oleh pemerintah pusat berdasarkan undang-undang dan berdasarkan
konstitusi. Adapun negara federal adalah negara yang terdiri dari negara-negara
bagian yang merdeka ke dalam, tetapi dengan kedaulatan ke luar yang dilakukan
sepenuhnya oleh pemerintahan kekuasaan yang diberikan oleh negara-negara bagian
yang dimuat di dalam konstitusi.
2. Pergeseran
Otonomi Daerah
Ketika
para pendiri Indonesia yang tergabung dalam BPUPKI yang kemudian disusul degan
PPKI berembuk untuk membentuk negara Indonesia, maka pilihan mereka jatuh pada
prinsip demokrasi dengan bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan
republik (pasal 1 ayat 1 UUD 1945). Ketika itu, ada juga yang mengusulkan
bentuk kerajaan, tetapi usul itu hampir sama sekali tidak ada tanggapan. Pada
saat itu, Hatta memandang cenderung memilih bentuk federal yang dianggapnya
lebih demokratis untuk Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan penduduknya
plural.
Pada
awal reformasi, muncul wacana federalisme yang diusung oleh Amien Rais dengan
bendera Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, wacana tersebut mendapat tentangan
keras dari pihak berbagai pihak, seperti TNI, Golkar, dan lainnya. Abdurrahman
Wahid, sebelum menjadi Presiden, menengahi pertentangan dalam wacana itu dengan
mengusulkan agar Indonesia tetap memakai bentuk negara kesatuan,tetapi
pembagian kekuasaannya bisa meniru federal. Berdasarkan itu UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah menganut otonomi luas yang substansinya mirip
dengan federal, yakni hanya menyerahkan sedikit urusan tertentu kepada
pusat,yaitu keuangan, hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan dan
agama. Agama ditambahkan sebagai urusan pusat, karena jika urusan itu
diserahkan ke daerah dikhawatirkan ia memicu disintegrasi antar daerah yang
pemeluk mayoritas agamanya berbeda-beda.
3. Perubahan
Otonomi Daerah
Pertama,sejak
awal kemerdekaan, politik hukum otonomi daerah senantiasa digariskan melalui
proses yang tak pernah selesai. Ia selalu berubah dan diubah sesuai dengan
perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu menyangkut berbagai aspek dalam
sistem otonomi, materiil, nyata, seluas-luasnya, hubungan kekuasaan, cara
pemilihan dan sebagainya, yang dalam praktik lapangannya senantiasa menimbulkan
masalah yang berbenturan dengan budaya dan perilaku politik yang selalu
mengalami tolak tarik antara elite dan massa.
Kedua, Perubahan
pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU
sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU No. 22 Tahun 1948 ini menganut
asas otonomi formal dan materiil sekaligus.
Ketiga,
era demokrasi liberal dan terpimpin, ditandai dengan berlakunya UUDS 1950,
gagasan otonomi nyata seluas-luasnya tidak dapat dibendung, sehingga lahirlah
UU No. 1 Tahun 1957. Dari sudut UU sudah
dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski belum sempat
dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini DPRD dijadikan
tulang punggung otonomi daerah sedangkan tugas-tugas pemantauan dilakukan oleh
DPD. Pada era demokrasi terpimpin, politik hukum otonomi daerah mengalami titik
balik dari desentralisasi ke sentralisasi yang hampir mutlak. Kemudian
dikeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Penpres
ini kemudian diberi baju hukum baru dengan dikeluarkan UU No. 18 Tahun 1965.
Keempat,
era orde baru, setelah demokrasi terpimpin digantikan oleh sistem politik orde
baru menyebut diri sebagai demokrasi pancasila, maka otonomi daerah kembali
diubah. Melalui Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi
daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No.18 Tahun 1965 diubah
kembali guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS
tersebut.
Dengan
kekuatan politiknya yang dominan, pemerintah orde baru kemudian mencabut Tap
MPRStersebut dan memasukkan masalah itu ke dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973
tentang GBHN. Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah dijabarkan
dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan
menumpulkan otonomi daerah.
Kelima,era
reformasi, ketika era reformasi tahun 1998, politik hukum otonomi daerah, yang
dimasa orde baru tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan
karena ia dianggap sebagai otoriterisme pemerintah pusat. UU No.5 Tahun 1974
kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kembali meletakkan prinsip
otonomi luas dalam hubungan antara pusat dan daerah.
4. Perubahan
Paradigma Otonomi Daerah
Lahirnya
UU No. 22 Tahun 1999 merupakan wujud dari paradigma yang dianut pada era
reformasi yang berbeda dengan paradigma di masa orde baru. Paradigma politik
orde baru adalah paradigma pembangunan ekonomi yang menekankan stabilitas,
integrasi dan pengendalian secara sentralistik melelui perencanaan yang
terpusat.
UU
No. 22 Tahun 1999 dianggap kurang memuaskan dan harus diubah lagi. Maka
lahirlah UU No. 32 Tahun 2004. Namun paradigmanya masih sama. Persoalannya
adalah perkembangan yang terjadi dilapangan ketika UU No. 22 Tahun 1999 itu
dilaksanakan. Seperti semakin mudahnya oknum DPRD ikut melakukan KKN. Hal yang
menarik dari perubahan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah
menyangkut pemilihan kepala daerah secara langsung yang lebih bersifat
demokratis sekaligus dimaksudkan untuk mengatasi politik dalam Pilkada.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Politik
perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai
pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
(hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari
beberapa kebijakan yang telah diuraikan di atas menggambarkan betapa penting
dan strategisnya fungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan
perundang-undangan (hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum
(legal substance) untuk mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan
peraturan perundang-undangan yang efektif, responsif, dan demokratif dalam
kerangka pembangunan sistem hukum nasional secara keseluruhan yang meliputi
pembangunan berbagai subsistem hukum yang saling terkait.
B. SARAN
Besar harapan,
makalah ini dapat menjadi tambahan sumber bacaan bagi teman-teman. Makalah ini
kami buat menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tak luput dari itu, makalah
ini tak terhindar dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran
sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar