kotak diskusi

kotak diskusi

Rabu, 04 Maret 2015

Tradisi Tabot di Bengkulu



Pendahuluan

            Pada awalnya tabot berangkat dari kebiasaan orang-orang Bengali (India Selatan) yang didatangkan oleh Inggris saat pembangunan Benteng Marlborough (1718-1719). Namun dalam perkembangannya yang cukup panjang, upacara tabot bersentuhan dengan budaya-budaya lokal.
Salah satu kegiatan seni budaya yang telah menjadi kalender tetap di ibukota Bengkulu adalah festival tabot yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Muharram. Tradisi ini sendiri dibawa oleh orang-orang India yang menjadi tetara Inggris pada tahun 1685. Di berbagai belahan dunia lain, upacara berkabung semacam tabot dikenal dengan sebutan hari Asyura. Di Irak misalnya, pada puncak hari Asyura pada 10 Muharram, kaum Syi’ah mengagungkan penggalan sejarah yang terjadi pada tahun 61 H/680 M itu dengan cara yang tergolong amat fanatik, bahkan dengan cara menyakiti diri mereka sendiri.
            Bahwa ada sebagian kalangan yang menuding upacara (semi) ritual tabot menyimpang dari akidah keIslaman, yaitu terhadap semacam keyakinan pada keluarga tabot, yang sebagian masih percaya bahwa jika ritual ini tidak dilaksanakan akan mendatangkan bencana bagi mereka, atau terhadap benda-benda yang dikeramatkan. Sebagai elemen masyarakat mengecamnya dan menganggapnya perbuatan sirik. Mayoritas masyarakat Bengkulu sudah tidak mempersoalkan lagi asal-usul tabot, apakah bersumber dari paham Syi’i atau Sunni.
Karena itu makalah ini mencoba membedah satu per satu bahan materi yang dianggap krusial untuk menjadi bahan kajian pembahasan. Dengan demikian dapat dipahami makna dari pelaksanaan tradisi tabot dari segi tradisi kebudayaan dan perspektif Islam dengan satu persepsi dan pemahaman yang sama.









Pembahasan
Tradisi Tabot Di Bengkulu

Kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahkluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. Yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.[1]
Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan secara terus-menerus dengan berbagai simbol dan aturan yang berlaku pada sebuah komunitas. Awal-mula dari sebuah tradisi adalah ritual-ritual individu kemudian disepakati oleh beberapa kalangan dan akhirnya diaplikasikan secara bersama-sama dan bahkan tak jarang tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah ajaran yang jika ditinggalkan akan mendatangkan bahaya. Dimasyarakat Bengkulu terdapat berbagai tradisi yang teraplikasikan diantaranya adalah tradisi tabot.[2]
Ritus yang sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat Bengkulu untuk mengenang peristiwa tragis kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husain Bin Ali Bin Abi Thalib, dalam suatu pertempuran tak seimbang dengan orang-orang dari Bani Umayyah di Padang Karbala (wilayah Irak sekarang), sejak beberapa tahun terakhir harus diakui memang sudah bergeser menjadi sekedar pesta tahunan masyarakat Bengkulu. Bahkan, sakralitas itu sudah mulai meluntur ada sebagian keluarga inti yang tergabung dalam kerukunan keluarga tabot (KKT) itu sendiri.
Festival tabot sebagai peristiwa budaya pada akhirnya adalah pesta rakyat. Aspek ritual yang semula melandasinya, yang pada awalnya adalah pusat dari segala upacara tradisi itu, ini malah hanya terkesan pelengkap. Sebaliknya, sebagai lomba dan aktaksi budaya macam musik dol, tari, telong-telong (sejenis lapion dalam aneka bentuk) dan peramainan ikan-ikanan, juga digelarnya arena pasar malam selama festival bersambung, justru kini masuk ketengah. Bumbu pelengkap itu malah jadi hidangan sekaligus santapan utama dalam kenduri rakyat bengkulu.
Pada awalnya ia berangkat dari kebiasaan orang-orang Bengali (India Selatan) yang didatangkan oleh Inggris saat pembangunan Benteng Marlborough (1718-1719), Namun dalam perkembangannya yang cukup panjang, upacara tabot bersentuhan dengan budaya-budaya lokal. Memang, berbagai kajian menyimpulkam bahwa upacara tabot dapat digolongkan sebagai produk Budaya lokal. Dulu, pada akhir prosesi, tabot-tabot sakral itu dibuang kelaut. Akan tetapi, entah sejak kapan, kini justru dibuang kedarat, kelokasi pemakaman, Tokoh bernama Imam Senggolo alias Syekh Burhanudin, yang oleh pengikutnya diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya upacara tabot di Bengkulu.[3]
Bahwa ada sebagian kalangan yang menuding upacara (semi) ritual tabot menyimpang dari akidah keIslaman, ketika ditempatkan dalam posisi berbeda, taruhlah terhadap semacam keyakinan pada keluarga tabot, yang sebagian masih percaya bahwa jika ritual ini tidak dilaksanakan akan mendatangkan bencana bagi mereka, atau terhadap benda-benda yang dikeramatkan, beberapa tokoh menganggap justru dibalik itu ada semacam kearifan lokal.
Apalagi jika dicermati dari perspektif filsafat sejarah, substansi budaya tabot itu merupakan simbolisasi dari sebuah keprihatinan sosial. Dengan demikian, sebagai produk budaya manusia, secara tidak langsung lewat tahapan-tahapan prosesi yang ada itu, ia juga mengusung simbol-simbol solidaritas sosial atau merupakan simbolisasi kearifan sosial.
 Sebagai elemen masyarakat mengecamnya dan menganggapnya perbuatan sirik. Akan tetapi, secara berangsur-angsur pemahaman itu hilang seiring dengan proses akulturasi dan dalam perkembangannya dianggap sebagai budaya. Pada prinsipnya, tradisi tabot memiliki hubungan dengan paham Syi’ah, yang dibuktikan dengan arakan-arakan tabot yang kesannya menggambarkan ritus penghormatan atas sahidnya Imam Husein di Karbala. Yang semula tabot digelar dalam kerangka melaksanakan Syi’ah sebagai paham atau ideologis menjadi sebuah kearifan lokal atau sepadar sebagai praktik Syi’ah kultural. Dalam konteks ini  Syi’isme bukan lagi sebagai paham dan ideologi keagamaan tetapi sebagai ornamen budaya.[4]
Mayoritas masyarakat Bengkulu sudah tidak mempersoalkan asal-usul tabot, apakah bersumber dari paham Syi’i atau Sunni. Tabot sudah dianggap sebagai bagian dari budaya mereka yang perlu dirayakan sepanjang tahun, tak ubahnya upacara sakaten di kesultanan Yogyakarta. Apalagi, dalam konteks dakwah islamiyah, tradisi tabot bisa menjadi media dalam mensyi’arkan Islam, misalnya tampak melalui gotong royong ketika mempersiapkan tabot.
Diantara jenis-jenis tabot ada yang divisualisasikan dalam rupa kuda sembarani dengan warna badannya hitam dan kapak sayap berwarna jingga. Dileher jenjangnya tergantung perisai warna kuning keemasan. Rambut hitamnya yang menjuntai, menambah keelokaan bagian kepala berbentuk wajah wanita cantik, lengkap dengan mahkota diatasnya. Tegak bertengger dibahu bangunan menyerupai menara masjid, kuda hitam bersayap dan berwajah wanita cantik simbol dari hewan bernama Burak yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad saw saat melakukan perjalanan keNabiaannya dan dikenal sebagai peristiwa Isra’ Mi’raj itu tampak terlihat gagah. Bentuk tabot yang lain yang disertakan dalam prosesi puncak upacara tabot dibengkulu umumnya berbentuk menara masjid, namun variasi yang ditampilkan begitu beragam.
Pada jenis tabot pembangunan, yang merupakan pesanan instansi-instansi pemerintah dan atau lembaga-lembaga lain. Sementara 17 tabot utama dinamakan tabot sakral. Pada dasarnya tabot-tabot itu melambangkan peti mati Husain bin Ali bin Abi Thalib. Cucu Nabi Muhammad saw ini gugur sebagai Sahid dalam pertempuran tak seimbang ketika harus melawan ribuan laskar Ubaydilah bin Ziad dari Bani Umayyah dipadang Karbala pada 10 muharam tahun 61 hijriah (681).[5]
Salah satu kegiatan seni budaya yang telah menjadi kalender tetap di ibukota Bengkulu adalah festival tabot yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Muharram. Tradisi ini sendiri dibawa oleh orang-orang India yang menjadi tetara Inggris pada tahun 1685.
Di berbagai belahan dunia lain, upacara berkabung semacam tabot dikenal dengan sebutan hari Asyura. Di Irak misalnya, pada puncak hari Asyura pada 10 Muharram, kaum Syi’ah mengagungkan penggalan sejarah yang terjadi pada tahun 61 H/680 M itu dengan cara yang tergolong amat fanatik, bahkan dengan cara menyakiti diri mereka sendiri.[6]
Disebut-sebut bahwa tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut Syi’ah ini mulai ada sejak pembangunan benteng Marlborough (1718-1719) di Bengkulu. Lebih lanjut tipe tabot di Indonesia ada dua : pertama, Asan Usen di Aceh, serta Tabot di Sibolga dan Riau, yang merupakan jenis atau tipe ritual yang sederhana. Kedua, tabur di Bengkulu dan tabuik di Pariaman yang merupakan jenis tipe pertunjukan teatrikal.
Kata tabut berasal dari bahasa arab ‘’at-tabutu’’ yang berarti peti yang terbuat dari kayu dalam al-Qur’an terdapat cerita tabut orang Yahudi yaitu suatu peti wasiat tempat menyimpan kitab Taurat. Sebagaimana firman Allah Swt :
tA$s%uróOßgs9öNßgŠÎ;tR¨bÎ)sptƒ#uäÿ¾ÏmÅ6ù=ãBbr&ãNà6uÏ?ù'tƒßNqç/$­G9$#ÏmÏù×puZŠÅ6y`ÏiBöNà6În/§×p¨ŠÉ)t/ur$£JÏiBx8ts?ãA#uä4yqãBãA#uäurtbr㍻ydã&é#ÏJøtrBèps3ͳ¯»n=uKø9$#4¨bÎ)ÎûšÏ9ºsŒZptƒUyöNà6©9bÎ)OçFZä.šúüÏZÏB÷sBÇËÍÑÈ
‘’Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi Raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.’’ (QS. Al-Baqarah : 248)
Cerita lain terukir mengenai cerita Nabi Musa as yang dibuatkan peti terbuat dari kayu ketika masih bayi kemudian dihanyutkan di sungai Nil karena ancaman Raja Fir’aun yang dzalim yang membunuh setiap anak laki-laki.
Sementara tabot yang ada di Bengkulu bukanlah tabut seperti yang terjadi pada kasus Nabi Musa tersebut. Dalam hal ini tabot adalah sebuah bangunan yang menyerupai pagoda atau menara masjid yang bertingkat-tingkat terbuat dari rangka kayu dan bambu, kadangkala pada bangunan tersebut ditambahkan pula bentuk-bentuk lain, seperti burung, kepala manusia, ikan, rumah adat, dan sebagainya.
Menurut informasi yang diperoleh, ritual tabot dikelompokkan dalam dua jenis. Pertama, tabot sebagai ritus yang berarti merupakan keseluruhan rangkaian kegiatan ritual yang dilaksanakan mulai tanggal 1 sampai 10 Muharram. Sebagai ritus, ritual tabot dipimpin oleh seorang anggota keluarga tabot yang menguasai secara detail ritual ini dan yang dianggap memiliki kemampuan spiritual untuk melaksanakan ritual tersebut. Tabot yang kedua, bersifat fisik. Tabot dalam pengeertian ini dipahami sebagai suatu ornamen berbentuk candi atau rumah yang mempunyai satu atau lebih puncak, dengan ukuran yang berbeda-beda, dibuat dari bahan-bahan tertentu dan dikhususkan untuk ritual tabot.[7]
A.    Asal-usul upacara tabot
Upacara tabot itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H/632 M di Madinah. Pengangkatan Hasan bin Ali mendapatkan tantangan besar dari golongan Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin Muawiyah. Pada suatu kesempatan Hasan bin Ali meninggal karena diracun melalui pengkhianatan sebagian pengikut Yazid bin Mu’awiyah.[8]
Kematian Hasan begitu tragisnya menjadi alasan bagi Husain bin Ali bin Abi Thalib untuk menuntut balas dalam usaha mengembalikan kehormatan dan martabat keluarganya. Husain segera menyusun siasat membina kekuatan yang berpusat di Kufah untuk merebut kekuasaan dari tangan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan.
Pasukan Husain bergerak menuju Damaskus. Di pertengahan jalan, pada suatu lapangan yang terkenal dengan nama padang Karbala, pasukan Yazid menghadang pasukan Husain. Terjadilah peperangan yang dahsyat selama 10 hari, mulai dari tanggal 1-10 Muharram tahun 61 Hijriah.
Dalam pertempuran yang sangat tidak seimbang pasukan Husain terdesak. Satu demi datu para pahlawan Karbala gugur. Syahid terakhir dari kubu keluarga Rasulullah adalah Imam Husain. Beliau syahid pada tanggal 10 Muharram dengan kepala yang terpisah dari badan dengan meninggalkan kaum perempuan di belakangnya. Peristiwa gugurnya Imam Husain inilah yang menjadikan kalangan Syi’ah kemudian memperingatinya sebagai hari yang bersejarah.[9]
Menurut Ketua Kerukunan Keluarga Tabot, Ir. A Syiafril Syah, tabot berasal dari Jazirah Arab atau persisnya di daerah Irak sekarang. Selanjutnya budaya tabot itu dibawa ke daerah-daerah yang disinggahi Jazirah Arab seiring dengan masa penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Budaya terus masuk ke Punjab, India. Lalu dari India budaya tabot dibawa ke Bengkulu. Sebelum tiba di Bengkulu orang-orang tersebut telah lebih dahulu singgah di Aceh.[10]
Berdasarkan ilustrasi bahwa Karabela yang ada di kota Bengkulu hanyalah tiruan dari Karbala aslinya di Irak. Karbala itu sendiri memiliki arti ‘’tanah merah’’ yang menggambarkan bahwa di tempat itu pernah terjadi peperangan yang mengakibatkan pertumpahan darah.
B.     Perlatan dan Prosesi Ritual Tabot
Untuk melaksanakan upacara tabot, ada beberapa peralatan yang harus dipersiapkan, diantaranya adalah :[11]
1.      Pembuatan tabot, kelengkapan alat membuat tabot antara lain : bambu, rotan, kertas marmar, kertas grip, tali, pisau, alat gambar, lampu hias, dan lain sebagainnya. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat tabot sekitar Rp. 5.000.000 hingga Rp.15.000.000
2.      Kenduri dan sesaji, bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kenduri dan sesaji antara lain : beras ketan, pisang emas, tebu, jahe, gula aren, gula pasir, kelapa, ayam, daging, bumbu masak, kemenyan, dan lain-lain.
3.      Perlengkapan musik tabot, alat musik yang biasa digunakan adalah dol dan tessa.
Adapaun langkah-langkah dalam upacara ritual tabot, yaitu :[12]
1.      Mengambik tanah (mengambil tanah)
Upacara ini berlangsung pada malam tanggal 1 Muharram, sekitar pukul 22.00 WIB. Tanah yang diambil untuk membuat boneka, yaitu tanah yang mengandung unsur magis. Dalam acara ini memberi pelajaran bahwa manusia itu berasal dari tanah. Hal ini sejalan dengan firman Allah :
øŒÎ)tA$s%y7/uÏps3Í´¯»n=yJù=Ï9ÎoTÎ)7,Î=»yz#ZŽ|³o0`ÏiB&ûüÏÛÇÐÊÈ
‘’(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah". (QS. Shaad : 71)
Agar anak yakin tentang kejadian manusia berasal dari tanah, maka orang tua keluarga tabot memperagakan jasad Husain dari tanah pada saat upacara mengambil tanah. Tanah yang diambil kemudian dibentuk seperti manusia dan disimpan di gerga sampai pada tanggal 8 Muharram dipindahkan ke tabot coki, dan pada tanggal 10 Muharram tabot dibuang.
2.      Duduk penja (mencuci jari-jari)
Penja adalah benda yang terbuat dari kuningan, perak atau tembaga yang berbentuk telapak tangan manusia lengkap dengan jari-jarinya. Penja adalah benda keramat yang mengandung unsur magis. Ia harus dicuci dengan air limau setiap tahunnya. Yang dilaksanakan pada tanggal 5 Muharram.
3.      Menjara
Menjara adalah berkunjung atau mendatangi kelompok lain untuk beruji atau bertanding dol. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 6 dan 7 Muharram. Pada proses ini kaya dengan kandungan nilai-nilai sosial. Kunjungan dilakukan secara bergantian. Prosesi ini memberikan pelajaran tentang pentingnya membangun silahturahmi sebagaimana anjuran agama.
4.      Meradai (mengumpulkan dana)
Meradai adalah pengambilan dana oleh jola (bahasa Melayu artinya orang yang bertugas mengambil dana untuk kemasyarakatan) yang terdiri dari anak-anak berusia 10-12 tahun. Acara meradai dilakukan pada tanggal 6 Muharram.
5.      Arak penja (mengarak jari-jari)
Arak penja atau jari-jari merupakan acara mengarak jari-jari yang diletakkan di dalam tabot. Dilaksanakan pada malam ke-8 Muharram. Jari Husain yang putus dalam melawan musuh diarak dengan maksud memperlihatkan kekejian (pasukan Yazid) sekaligus mengobarkan semangat persatuan dalam melawan penguasa yang tidak sah.

6.      Arak serban (arak surban)
Kegiatan ini dilaksanakan pada malam ke-9 Muharram. Benda yang di arak selain penja ditambah dengan serban putih diletakkan pada tabot coki (tabot kecil), dilengkapi dengan panji-panji berwarna putih dan hijau yang bertuliskan nama Hasan dan Husain dengan kaligrafi yang indah. Sorban yang diarak berwarna putih melambangkan sorban Husain yang dipakai waktu berperang melawan musuh. Sorban di arak dengan maksud mengobarkan semangat juang dan semangat persatuan dalam melawan musuh.
7.      Gam (tenang berkabung)
Pada waktu ini tidak boleh melakukan kegiatan apapun dimulai pada pukul 07.00 hingga 16.00. kegiatan selama masa ini adalah mengenang hari kematian Husain. Masa tenang menggambarkan suasana duka cita seolah-olah pada waktu itu ada peristiwa kematian. Dimaksudkan menunjukkan rasa solidaritas dan rasa kebersamaan sesama umat Islam.
8.      Arak gedang (taptu akbar)
Pada 9 Muharram, dilaksanakan ritual tabot besanding di markas masing-masing. Selanjutnya dilanjutkan dengan arak gedang, yakni grup tabot yang berarak dari markas masing-masing menempuh rute yang ditentukan. Kemudian mereka akan bertemu membentuk arak gedang (pawai akbar). Makna tabot besanding adalah melaksanakan upacara pelepasan jenazah yang gugur sebelum dimakamkan.
9.      Tabot tebuang (tabot terbuang)
Acara terakhir dari rangkaian upacara tabot adalah tabot tebuang, pada tanggal 10 Muharram dilaksanakan di makam Senggalo. Selesai acara ritual diadakan maka bangunan dibuang ke rawa-rawa yang berdampingan dengan komplek makam tersebut. Dengan dibuangnya tabot maka selesailah acara tabot tersebut.
Secara keseluruhan upacara tabot diawali dengan pembacaan basmalah. Adapun doa-doa yang sering dikumandangkan dalam ritual tabot adalah : doa kubur, doa mohon selamat dan ampunan atas arwah orang-orang muslim di dunia, bacaan tasbih, shalawat ulul ‘azmi, shalawat wasilah, dan sebagainya.
Tabot masih dilakukan masyarakat pada setiap tanggal 10 Muharram di Bengkulu, Pariaman dan Aceh. Asyura di Jawa dalam setiap pertanggalan Jawa berubah menjadi bulan Suro, sebutan untuk bulan Muharram (bulan wafatnya Husain). Peringatan Asyura belakangan dikenal dengan istilah Kasan Kusen. Di Aceh, diistilahkan dengan bulan Asan Usen.
Dengan kata lain, tabot di kota Bengkulu adalah kegiatan dengan kalender tahunan yang didesain sebagai ajang utama provinsi Bengkulu. Ritual tabot tersebut tidak hanya sebagai rutinitas budaya tetapi juga menjadi sarana promosi untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Provinsi bengkulu. Maka pada tahun 2006 cakupannya diperluas menjadi kegiatan provinsi. Seluruh kabupaten/kota di provinsi Bengkulu dilibatkan secara langsung, baik dalam parade tabot maupun kegiatan pameran dan promosi daerah.[13]
Muharam adalah salah satu bulan yang dihormati sejak dahulu kala. adapun asyura adalah hari kesepuluh dalam bulan tersebut. oleh karenanya pada hari itu mereka memperbanyak kebajikan, membagi-bagi makanan pada fakir, menyantuni orang-orang miskin dan janda-janda serta anak yatim.
Sebagaimana tertera dalam sejarah, Bani umayyah pada hari itu melakukan perbuatan yang keji, menumpahkan darah, membunuh, menyembelih anak-anak masih kecil, membunuh wanita-wanita, dan mencincang orang-orang yang telah mati syahid. Mereka juga membakar kemah-kemah keluarga Rasul saw sambil tertawa-tawa menyaksikan tubuh-tubuh Ahl Al-bait yang tak berdaya dibawah (injakan) kaki kuda-kuda.
Karena ulah mereka ini sejak saat itu berubahlah pengertian muharam dan asyura dikalangan orang-orang Islam. Hari-hari yang penuh dengan penderitaan dan duka cita itu diganti dan diisi dengan kebiasaan khusus, yaitu mengadakan perayaan-perayaan guna memperingati para pahlawan yang menyertai Imam Husein di Karbala, yang telah menanggung penderitaan dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan serta hak-hak asasi manusia.
Sesungguhnya mengenang para syuhada karbala dan dan para pahlawan 10 muharam tahun 61 Hijriyah menimbulkan pengaruh yang sangat baik terhadap jiwa generasi mendatang dan para pemuda yang sadar, karena peringatan tersebut bisa membangkitkan motivasi diri, kemuliaan, kehormatan dan membangkitkan semangat berkorban dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Jadi, bulan muharam menurut pengertian para pakar merupakan acara seremonial tahunan untuk mengenang tragedi sejarah Imam Husein dan sahabat-sahabatnya disamping upaya meneladani keutamaan dan memenuhi hak-haknya.[14]
Adapun alasan-alasan kaum syi’ah melakukan perbuatan demikian dalam hubungannya dengan peringatan asyura diantaranya :
Pertama, hal itu dilakukan dengan tujuan yang masuk akal dan sesuai dengan syariat sebagai luapan rasa cinta kepada Imam Husein.
Kedua, hal itu dilakukan untuk semakin mengkokohkan  terhadap revolusi Imam Husein yang suci, dan sekaligus menentang segala bentuk kezaliman dan penindasan demi mewujudkan kemerdekaan kebebasan dan perdamaian disetiap ruang dan waktu.[15]













Penutup

A.    Kesimpulan
Kata tabut berasal dari bahasa arab ‘’at-tabutu’’ yang berarti peti yang terbuat dari kayu dalam al-Qur’an terdapat cerita tabut orang Yahudi yaitu suatu peti wasiat tempat menyimpan kitab Taurat.
Tabot adalah sebuah bangunan yang menyerupai pagoda atau menara masjid yang bertingkat-tingkat terbuat dari rangka kayu dan bambu, kadangkala pada bangunan tersebut ditambahkan pula bentuk-bentuk lain, seperti burung, kepala manusia, ikan, rumah adat, dan sebagainya.
Upacara tabot itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H/632 M di Madinah. Pengangkatan Hasan bin Ali mendapatkan tantangan besar dari golongan Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin Muawiyah. Pada suatu kesempatan Hasan bin Ali meninggal karena diracun melalui pengkhianatan sebagian pengikut Yazid bin Mu’awiyah. Karena ulah mereka ini sejak saat itu berubahlah pengertian muharam dan asyura dikalangan orang-orang Islam. Hari-hari yang penuh dengan penderitaan dan duka cita itu diganti dan diisi dengan kebiasaan khusus, yaitu mengadakan perayaan-perayaan guna memperingati para pahlawan yang menyertai Imam Husein di Karbala, yang telah menanggung penderitaan dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan serta hak-hak asasi manusia.
B.     Saran
Besar harapan kelompok kami makalah ini dapat menjadi tambahan sumber bacaan bagi teman-teman. Makalah ini kami buat menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tak luput dari itu, makalah ini terhindar dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.



Daftar Pustaka

           
Dahri Harapan, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta : Citra, 2009)
Syekh Abdul Wahab Al-khotib, Asyura dalam perspektif Islam, (Tk :  Yayasan Islam Al-Baqir, 1996),


[1] Harapan Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta : Citra, 2009) h. 43
[2] Ibid., h. 45
[3] Ibid., h. 49-51
[4] Ibid., h. 53-54
[5] Ibid., h. 55
[6] Ibid., h. 70
[7] Ibid., h. 78
[8] Ibid., h. 79-81
[9] Ibid., h.81
[10] Ibid., h. 82-83
[11] Ibid., h. 87-88
[12] Ibid., h. 88-140
[13] Ibid., h. 148
[14] Al-khotib Syekh Abdul Wahab, Asyura dalam perspektif Islam (Tk :  Yayasan Islam Al-Baqir, 1996), h. 30-31
[15] Ibid,. h. 187-188

4 komentar:

  1. terlalu banyak ngawurnya alias abal-abal karena tidak berdasar data akurat dan tidak berdasar alasan yang kuat,,,,, jadi banyak asal bunyi / asal tulis

    BalasHapus
  2. LITERATUR MANAPUN SEBELUM TAHUN 1970 TIDAK PERNAH MENULIS TABOT : NASKAH ARAB, PERSIA, INDO PAKISTAN, NASKAH MELAYU, NASKAH BELANDA , INGGRIS SEMUANYA MENULIS TABUT, TABUT, & TABUT hanya ejaan saja yg beda naskah Belanda masih ejaan lama yaitu Taboet (dibaca Tabut), Inggris Taboot(bacaannya tetap Tabut) sebab Tabot dalam buku The Preaching of Islam oleh Thomass Walker Arnold adalah sebutan untuk BERHALA BUNDA MARIA (tabot)

    BalasHapus