kotak diskusi

kotak diskusi

Senin, 23 Februari 2015

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia



Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

A.    Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law.[1]
Hasbi Ash-Shiddieqi mendefenisikan hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah ilmu hukum Indonesia, istilah hukum Islam dikenal sebagai penggabungan dua kata, hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata Islam. Jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat bagi semua pemeluk Islam.[2]
B.     Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Pada periode tauliah dari imam, Islam mulai datang dan diterima oleh raja-raja seperti pada kerajaan Mataram. Dengan penerimaan agama Islam dalam kerajaan, otomatis para hakim pelaksana peradilan diangkat oleh sultan atau wali al-amr. Hampir disemua swapraja Islam, jabatan keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan jabatan pemerintahan umum. Misalnya, ditingkat kabupaten ada jabatan agama yang disebut kaum, kaim, modin, amil. Di  tingkat kecamatan ada yang disebut dengan penghulu nabi. Di tingkat kabupaten ada penghulu, seda. Dan di tingkat kerajaan disebut penghulu agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadi yang dibantu dengan beberapa penasihat .[3]
Terdapat beberapa teori tentang kedatangan Islam di Indonesia :[4]
1.      Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H/VII M, langsung dari Arab (Hadramaut) ke pesisir Aceh. Teori ini didukung oleh Naquid al-Attas, Hamka, A. Hasjmi, dll.
2.      Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, bukan dari Arab dan Persia yang dikaitkan dengan daerah Malabar dan Gujarat. Ini dikemukakan oleh sarjana-sarjana Belanda, seperti Pijnappel, G.W.J. Drewes yang kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje.
3.      Islam di Indonesia datang dari Benggali (Bangladesh) karena kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Namun, teori ini sangat lemah karena madzhab hukum yang dominan di Benggali adalah Hanafi, bukan Syafi’i.
Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai (Aceh, dekat Lhokseumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir pada diskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir, yang menjadi sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fuqaha yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di Kerajaan Pasai ketika itu adalah hukum Islam mazhab Syafi’i. Menurut Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke Kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.[5]
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan hukum Islam mempunyai peran yang amat besar. Misalnya, ketika seorang saudagar hendak menikah dengan seorang pribumi, maka wanita itu diislamkan lebih dahulu dan kemudian pernikahannya dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan antar anggotanya dengan kaidah Islam atau kaidah lama yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Ketika seorang suami istri meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan Islam. Jika ada sengketa diantara mereka, sengketa itu diselesaikan oleh hakam melalui tahkim kepada muhakkam yang merupakan asal-usul Peradilan Agama pada permulaan perkembangan agama Islam di nusantara ini. Pembentukan keluarga yang kemudian berkembang menjadi masyarakat Islam yang baru memerlukan pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun untuk orang yang telah dewasa.[6]
Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan yang selama ini dijalankan oleh lembaga tahkim dipindahkan dan diberikan kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar bisa ditegakkan dan sekaligus merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam memberi layanan kepada masyarakat. Dari itu, maka muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa tempat, diantaranya : Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, dan Keraptan Qadi di Banjar dan Pontianak.
Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peran saudagar dalam menyebarkan ajaran Islam digantikan oleh para ulama sebagai guru dan pengawal hukum Islam. Misalnya, Nuruddin Ar-Ramri (yang hidup di abad ke-17) menulis buku Islam dengan judul Siratal Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628. Menurut Hamka kitab ini adalah kitab yang pertama disebarkan ke seluruh Indonesia oleh Syaikh Arsyad Banjari yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab ini itu diperluas dan diperpanjang uraiannya di dalam sabilal Muhtadin dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di kesultanan Banjar.
Demikian juga didaerah kesultanan Palembang, Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan Mataram terdapat di dalam kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka.
Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini.
Ketika VOC datang ke nusantara ini, ia tidak saja hanya mengakui keberlakuan hukum Islam, bahkan berusaha untuk membukukan hukum Islam ke dalam berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumi putera di wilayah yang mereka kuasai. Tahun 1970 diterbitkan kitab sebagai kumpulan hukum pertama yang diberi nama kitab hukum mogharrer yang memuat hukum orang Jawa untuk keperluan Landraad di Semarang. Kitab hukum ini memuat hukum pidana dan hukum perdata Islam. Pada tahun 1760, diterbitkan pula suatu hukum Islam mengenai hukum kewarisan dan perkawinan, kitab ini diberi nama Compendium Freijer. Di samping dua kitab ini masih ada kitab yang dibuat di zaman VOC, seperti kitab pepakem Cirebon pada tahun 1768 dan kitab Compendium van Clootwijck untuk daerah Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan. [7]
Setelah kekuasaan VOC berakhir, indonesia dikuasai oleh kolonis Belanda dan kemudian oleh Inggris. Sampai pada tahun 1816 posisi hukum Islam masih mantap. Raffles yang menjdai gubernur jenderal Inggris menyatakan bahwa hukum yang berlaku dikalangan masyarakat adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an, sehingga pelaksanaan hukum kewarisan dan hukum perkawinan berjalan sebagaimana mestinya. Salomon Keyzer berpendapat bahwa hukum Islamlah yang berlaku dikalangan orang-orang Jawa. Pendapat ini dikuatkan oleh L.W.C van den Berg yang mengatakan bahwa pendapat hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.
Pendapat van den Berg di atas mendapat tentangan dari Christian Snouck Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam Indonesia bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat. Di dalam hukum adat itu memang telah ada pengaruh Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Pendapat ini dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh Cornelis Vollenhoven dan Betrand ter Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid pengikutnya.[8]
Pendapat Christian Snouck Hurgronje diatas banyak mendapat tentangan dari pemikir hukum Islam di Indonesia. Menurut mereka teori tersebut mempunyai maksud-maksud politik untuk mematahkan perlawanan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh hukum Islam terhadap kekuasaan kolonial. Dengan teori itu, Belanda hendak mematikan hukum Islam dalam masyarakat yang dilaksanakan sejalan dengan pengejaran dan pembunuhan terhadap pemuka dan ulama-ulama besar Islam seperti yang di Aceh ketika itu.
Selain itu, pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah yang menyebabkan pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang priestraad atau raad agama di Jawa dan Madura. Sebelum itu, pada tahun 1882 secara resmi menurut hukum ketatanegaraan Hindia Belanda Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara kewarisan orang-orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Komisi yang diketuai oleh Betrand ter Haar Bzn ini memberi rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka dengan Staatblad Tahun 1937 Nomor 116 dicabutlah wewenang Raad Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan.[9]
Namun, Pengadilan Agama tetap menyelesaikan perkara kewarisan dengan cara mengesankan. Oleh karena itu kebanyakan Pengadilan Agama selalu menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu hanya untuk melayani konsultasi perkara kewarisan.
Kedudukan politik Islam pada masa pra kemerdekaan, khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan, berada pada posisi yang tidak pasti. Selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme, hal itu juga disebabkan karena dalam wilayah Indonesia tidak ada satu pun sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat.
Sistem hukum yang ada di Indonesia masih terpenggal-penggal yang merupakan hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam lama yang penyusunannya belum terstruktur dengan baik. Hal ini menyebabkan hukum Islam menjadi gagap ketika harus berhadapan dengan sistem hukum yang relatif lebih maju (Belanda) dan juga sistem hukum adat. Belum sempurnanya transplantasi hukum adat dan politik elektisisme dengan hukum barat  (Belanda) yang sangat kental telah membuat hukum Islam berjalan dengan tidak wajar.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemimpin Islam dengan berbagai cara berupaya untuk mengembalikan hukum Islam pada kejayaannya semula. Begitulah, menjelang kemerdekaan Indonesia Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk pada tahun 1945, dan bersidang untuk merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara Indonesia merdeka di kemudian hari. Pemimpin Islam yang menjadi anggota badan tersebut terus berusaha menundukkan hukum Islam dalam negara Indonesia itu kelak.[10]
Kemudian dirumuskan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yang dikenal dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang dicapai melalui Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Di dalam piagam itu dinyatakan antara lain bahwa negara ‘’Berdasarkan kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’’. Tujuh kata terakhir ini dihilangkan dari pembukaan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dengan imbalan tambahan kata ‘’Yang Maha Esa’’, sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.[11]
Selain perkembangan hukum Islam melalui perundang-undangan, terdapat juga perkembangan ijtihad, ijma’ para ulama mengenai sistem kewarisan bilateral menurut Qur’an dan Hadis, kedudukan ahli waris pengganti (mawali) dalam kewarisan Islam dan lahirnya kaidah hukum perkawinan Islam, hukum kewarisan Islam, dan hukum kewakafan Islam.
Perjuangan untuk melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasilnya ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan secara konstitusional juridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih yang diangggap representatif telah disahkan oleh pemerintahan Indonesia. Diantaranya adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang merupakan tindak lanjut dari UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Oleh karenanya, adalah wajar jika pada tahun 1991 Presiden RI mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI).[12]
Selain beberapa legislasi diatas masih ada beberapa peraturan perundang-undangan lain yang mendukung terlaksananya hukum Islam di Indonesia, diantaranya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.[13]




                                                                   Kesimpulan
 
1.      Hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat bagi semua pemeluk Islam.
2.      Perjalanan perkembangan hukum Islam di Indonesia dimulai dari proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan. Setelah agama Islam berakar, peran saudagar digantikan oleh para ulama dan ketika VOC datang ke nusantara,  keberlakuan hukum Islam pun diakui. Kemudian Indonesia dikuasai oleh kolonis Belanda kemudian Inggris. Dengan teori, Belanda hendak mematikan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemimpin Islam berupaya untuk mengembalikan hukum Islam pada kejayaannya semula. Selain perkembangan hukum Islam melalui perundang-undangan, terdapat juga perkembangan ijtihad dan ijma’ para ulama.


Daftar Pustaka

Ali Zainuddin, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2010)
Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006)
Fuad Mahsun, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta : LkiS, 2005)
Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003)


[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3
[2] Ibid., h. 7-8
[3] Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006). h. 34
[4] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta : LkiS, 2005), h. 27-30
[5] Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 95
[6] Ibid., h. 93-94
[7] Ibid., h. 94-95
[8] Ibid., h. 95
[9] Ibid., h. 95-96
[10] Ibid., h. 96
[11] Ibid., h. 96-97
[12] Op-Cit., Mahsun Fuad, h. 56-57
[13] Ibid., h. 57

1 komentar: