kotak diskusi

kotak diskusi

Rabu, 04 Maret 2015

Harta Kekayaan Dalam Perkawinan



Pendahuluan
           
            Sebagian kalangan komunitas muslim Indonesia lebih memilih mematuhi hukum normatif yang tercantum di dalam referensi fikih-fikih klasik, yang sebenarnya muatan fikih klasik itu lebih merupakan pemikiran-pemikiran ulama yang didominasi oleh kultur dan sistem kebudayaan masyarakat Arab zaman itu, daripada garis-garis hukum yang tertera di dalam al-Qur’an, sunnah maupun kitab-kitab fikih komtemporer yang telah diangkat menjadi hukum nasional Indonesia dan hukum Islam yang telah menjadi hukum positif tersebut secara yuridis mempunyai kekuatan memaksa dan pasti dan keberlakuannya bersifat antisipatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
            Selain masih banyak masyarakat yang tarik-menarik dengan pemerintah dalam berbagai aspek perkawinan termasuk juga mengenai harta kekayaan dalam perkawinan yang masalahnya sering tampak dikalangan masyarakat.
            Makalah ini mencoba membedah beberapa bahan materi maupun kasus yang dianggap krusial untuk menjadi bahan kajian pembahasan. Dengan demikian hukum yang diberlakukan di Indonesia dapat dipahami dengan satu persepsi dan pemahaman yang sama.






Harta Kekayaan dalam Perkawinan

A.    Harta Bersama
Adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan dalam perkawinan adanya harta milik masing-masing suami isteri.[1]
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, pada Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal, yaitu :[2]
(1)   Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2)   Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, apabila di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam istilah muamalat, dapat dikategorikan sebagai syirkah atau join antara suami dan isteri dalam konteks konvensial, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri ibu rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas, sejalan dengan tuntunan perkembangan, isteri juga dapat melakukan pekerjaan yang mendatangkan kekayaan. Jika yang pertama, digolongkan kepada syirkah al-abdan, modal dari suami, isteri di jasa dan tenaganya. Yang kedua, dimana masing-masing mendatangkan modal, dikelola bersama, sisebut dengan syirkah diin.[3]
Dalam kenyataannya, masih lebih banyak pola pertama yang diterapkan dalam kehidupan perkawinan. Yaitu suami yang nyatanya melakukan pekerjaan dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Oleh karena itu hendaknya bekerja tidak selalu diartikan bekerja di luar rumah. Demikianlah yang dimaksud dalam pasal 35 ayat (1). Adapun ayat (2) menjelaskan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan atau hadiah tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan bersama. Sejalan dengan firman Allah :
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ  
’Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.’’ (Q.S An-Nisa : 32)
Isyarat dan penegasan ayat tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Kompilasi pasal 85, 86, dan 87. Mengenai penggunaan harta bersama suami isteri, diatur dalam pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan sebagai berikut : ‘’ Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak’’. Adapun ayat (2) menjelaskan tentang hak suami atau isteri untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing, seperti pasal 87 ayat (2) Kompilasi tersebut.[4]
Pengaturan lebih rinci masalah ini, Kompilasi mengatur dalam pasal 88,89 dan 90. Pasal-pasal tersebut merupakan penjabaran dari firman Allah :
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ    
‘’Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.’’ (Q.S An-Nisa : 34)
Pengaturan bentuk kekayaan bersama dijelaskan dalam pasal 91 Kompilasi :[5]
(1)   Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2)   Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)   Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4)   Harta bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Kompilasi Hukum Islam melalui Pasal 91 menegaskan bahwa yang termasuk dalam lingkup harta bersama adalah benda berwujud dan tidak berwujud. Benda berwujud meliputi :[6]
a.       Benda tidak bergerak. Seperti rumah, tanah, pabrik.
b.      Benda bergerak, seperti mobil, motor.
c.       Surat-surat berharga, seperti obligasi, deposito, cek, bilyet giro, dan lain-lain.
Adapun yang tidak berwujud, dapat berupa :
a.       Hak. Seperti hak tagih terhadap piutang yang belum dilunasi, hak sewa yang belum jatuh tempo.
b.      Kewajiban. Seperti kewajiban membayar kredit, melunasi hutang-hutang.
Penggunaan kekayaan tersebut baik untuk kepentingan salah satu pihak atau kepentingan bersama harus didasarkan kepada persetujuan mereka. Apabila kekayaan bersama tersebut digunakan salah satu pihak tidak atas persetujuan pihak lainnya, maka tindakan hukum demikian tidak diperbolehkan. ‘’ suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama’’ (pasal 92 KHI). Hal ini dimaksudkan agar masing-masing pihak dapat melakukan hal-hal yang berurusan dengan soal rumah tangga dengan penuh tanggung jawab. Tanpa adanya persetujuan tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan besar sekali. Oleh karena itu Kompilasi dalam pasal berikut membicarakan pertanggungjawaban utang yang berifat pribadi, bukan untuk kepentingan keluarga.[7]
Pasal 93 :
(1)   Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2)   Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3)   Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4)   Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi, dibebankan kepada harta isteri.
Meskipun ketentuan pasal 93 tersebut seakan mengesankan adanya pemisahan antara harta kekayaan suami dan isteri, karena tidak ada penjelasan tentang kapan utang suami atau isteri itu dilakukan, maka penafsiran yang dapat dilakukan adalah apabila utang tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan keluarga. Namun sebaliknya, untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, jika harta bersama tidak mencukupi, maka diambil dari harta pribadi masing-masing suami atau isteri. Itu pun apabila perkawinannya bersifat monogami yang relatif kecil peluang terjadinya perselisihan diantara mereka, dibanding dalam perkawinan monogami.
Dalam perkawinan poligami, kompilasi mengaturnya dalam pasal 94. Ketentuan ini dimaksudkan agar antara isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat tidak terjadi perselisihan, termasuk mengantisipasi kemungkinan gugat warisan diantara masing-masing keluarga dari isteri-isteri tersebut. Akibat ketidakjelasan kepemilikan harta bersama antara isteri pertama dan kedua, sering menimbulkan sengketa waris.
Ketentuan pasal 94 sangat umum dan simpel. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 telah memberlakukan buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, yang isinya antara lain mengenai masalah harta bersama dalam perkawinan poligami. Dalam ketentuan tersebut diatur hal-hal antara lain sebagai berikut :[8]
a.       Pada saat mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama  dengan isteri sebelumnya bersamaan dengan permohonan izin poligami.
b.      Harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dengan isteri pertama harus dipisahkan dengan harta bersama perolehan isteri kedua dan seterusnya.
c.       Apabila terjadi perceraian atau karena kematian, maka cara penghitungan harta bersama adalah untuk isteri pertama setengah dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami dengan isteri pertama dan kedua, ditambah ¼ dari harta bersama yang diperoleh suami bersama isteri ketiga, isteri kedua dan pertama, ditambah 1/5 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama isteri keempat, ketiga, kedua dan isteri pertama.
Tujuan Mahkamah Agung mengatur harta bersama dalam poligami seperti tersebut di atas, adalah untuk menghindari terjadinya penyelundupan hak isteri terdahulu oleh suami. Mahkamah Agung menghendaki ada pemisahan yang tegas antara harta bersama suami dengan isteri terdahulu ketika suami akan melakukan poligami.
Dalam pasal 95 Kompilasi dibicarakan tentang tindakan-tindakan tertentu pada saat salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama. Seperti judi, mabuk, boros dan lain-lain.
Uraian pasal 95 tersebut dianalogikan kepada ketentuan yang terdapat dalam hadits Hindun bintu ‘Utbah isteri Abu Sufyan sebagai suami yang sangat pelit dan tidak memperhatikan kebutuhan isteri dan anak-anaknya maka Rasulullah Saw membolehkan Hindun mengambil harta suaminya itu dengan cara yang makruf. Sementara pasal 95 menekankan bahwa suami justru melakukan tindakan pemborosan, judi dan lain-lain yang akan mengancam harta kekayaan bersama, maka hakim dipandang memiliki otoritas untuk menangani dan menjaga agar harta tersebut diamankan, demi kepentingan keluarga khususnya untuk anak-anaknya sengan cara melakukan sita jaminan.
Maka secara tekhnis selama dalam masa penyitaan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga bersama, salah satu pihak dapat menjual harta bersama tersebut degan izin Pengadilan Agama.
Masalah harta bersama suami isteri atau dengan isteri-isterinya, pengelolaannya dapat dilakukan melalui perjanjian tertulis. Bagaimana dan berapa yang ditanggung suami untuk setiap isterinya. Ini maksud untuk menjaga batas-batas yang jelas mana kekayaan bersama anatara suami dengan isteri yang pertama, kedua, dan seterusnya.
Pasal 96 :
(1)   Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2)   Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian metinya yang hakiki secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.


Pasal 97 :
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan
B.     Pertanggungjawaban Terhadap Utang Suami
Pada dasarnya tanggung jawab nafkah isteri dan keluarga berada dipundak suami (Q.S At-Talaq : 6) menurut kemampuannya. Baik dalam keadaan longgar maupun dalam keadaan kesempitan. Firman Allah :
÷,ÏÿYãÏ9 rèŒ 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuŠy ª!$# y÷èt/ 9Žô£ãã #ZŽô£ç ÇÐÈ  
‘’Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.’’ (Q.S Al-Talaq : 7)
Al-San’ani menjelaskan perbedaan pendapat ulama apakah terjadi fasakh nikah, manakala suami mengalami kesulitan untuk memberi nafkah isterinya.[9]
a.       Perkawinannya fasakh, demikian pendapat Ali, Umar, Abu Hurairah dan sebagian besara tabi’in. Dari kalangan fuqaha’ yang mendukung pendapat ini Malik, Syafi’i, Ahmad serta Ahl Zahir.
b.      Perkawinan tidak fasakh karena kesulitan suami memberi nafkah. Ini pendapat al-Hadawiyah dan mazhab Hanafiyah dan pendapat al-Syafi’i dalam suatu riwayat.
c.       Suami yang berada dalam kesulitan, ditahan sebagai pemberian kesempatan untuk mengatasi situasi krisisnya itu. Ini pendapat al-‘Anbari.
d.      Hampir sama dengan pendapat ketiga. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad ibn Dawud. Ini menekankan untuk memberi kesempatan kepada suami untuk berbenah diri terhadap kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.
e.       Apabila si isteri mampu dan suaminya kesulitan menafkahkan maka nafkah dibebankan kepada si isteri dan tidak menuntut pembayaran kembali apabila suaminya mampu.
f.       Jika seorang perempuan ketika menikah mengetahui bahwa suaminya dalam kesulitan atau semula dalam keadaan mampu kemudian karena sesuatu hal bangkrut, maka si isteri tidak boleh menuntut fasakh. Namun apabila sebelumnya ia tidak mengetahui, ia boleh mengajukan fasakh.
Mencermati perbedaan pendapat para ulama tersebut, apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal 93 Kompilasi dapat dipahami bahwa kompilasi menegaskan bahwa utang suami atau isteri menjadi tanggungan masing-masing. Hal ini karena kompilasi tidak menegaskan jenis dan sifat utang itu sendiri. Oleh karena itu, jika persoalan ini ada di permukaan dan diajukan ke Pengadilan Agama, maka hakim perlu mempertimbangkan berbagai segi untuk kepentingan apa suami berutang, dan bagaimana juga kewajiban nafkah isteri dan keluarganya dipenuhi. Pasal 93 menyatakan :
(1)   Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2)   Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama.
(3)    Bila harta berssama tidak mencukupi dibebankan kepada harta suami.
(4)   Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Pasal 93 tersebut mengisyaratkan perlunya di identifikasi sifat utang itu sendiri. Apakah utang suami itu merupakan beban dari ketidaksiapan suami memenuhi kewajiban nafkahnya, atau utang untuk kepentingan keluarga. Apabila utang itu murni untuk pribadinya sendiri maka pertanggungjawabannya ada pada suami. Namun apabila utang tersebut untuk kepentingan keluarga pertanggungjawabannya di bebankan kepada harta bersama. Jadi kompilasi lebih menekankan kepada pentingnya kebersamaan dalam kehidupan rumah tangga.[10]
Apabila utang terbawa hingga meninggal, harus ada ahli warisnya yang mengambil alih tanggungjawabnya. Karena itu kaitannya dengan soal utang suami, si isteri tentu akan dapat mengetahui lebih banyak tentang tindakan suaminya. Apabila memang tidak diketahui ada kecenderungan suami berbuat tidak positif bagi kepentingan keluarganya, si isteri dapat mengajukan persoalannya ke pengadilan. Dan isteri berhak menuntut fasakh. Namun apabila tindakannya itu dengan sepengetahuan isteri dan untuk kepentingan keluarga, maka beban pertanggungjawabannya dibebankan kepada suami-isteri tersebut bersama.
C.     Kaitan Harta Bersama dengan Kasus Hukum Lainnya
Berkembangnya sistem ekonomi dan kian bervariasinya kebutuhan hidup berumah tangga, mengundang beragam transaksi yang muncul, seperti hubungan jual beli, perkreditan dan pembiayaan, surat berharga, hak atas kekayaan intelektual, asuransi, dll.
Ada beberapa kasus hukum yang berkaitan dengan harta bersama akibat terjadi perceraian atau kematian, antara lain :[11]


a.       Harta bersama dijadikan agunan kredit bank
Kasus yang dapat diangkat adalah suami isteri sepakat untuk meminjam sejumlah uang ke bank untuk suatu keperluan. Bank memberikan pinjaman itu dengan suatu jaminan berupa satu unit rumah milik suami isteri. Baru berjalan beberapa bulan cicilan ke bank oleh karena adanya suatu perselisihan dan pertengkaran terjadilah perceraian. Satu unit rumah yang menjadi agunan ke bank merupakan harta bersama suami dan isteri. Tentang harta bersama apabila terjadi perceraian diatur dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, bahwa : ‘’ janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak ½ dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Pada prinsipnya harta bersama harus di bagi dua oleh suami isteri. Dalam kasus di atas harta kekayaan suami isteri tersebut ada yang berwujud seperti perabot rumah tangga dan lain-lain serta harta yang berbentuk hutang ke bank. Harta bersama yang bersifat activa maupun passiva harus dibagi sama antara suami isteri. Pasal 93 Kompilasi telah mengatur masalah ini.
b.      Kredit yang belum lunas pembayarannya
Bagaimana kaitannya dengan harta bersama jika suami atau isteri atas kesepakatan bersama mengajukan kredit rumah atau prabot rumah tangga atau alat transportasi. Tindakan mengambil kredit ke bank merupakan perbuatan berhutang, hutang itu merupakan harta berama yang bersifat passiva. Apabila terjadi perceraian antara suami isteri tersebut maka hutang tersebut dalam kredit juga dibagi dua. Dan penyelesaiannya harus mengacu kepada ketentuan pasal 93ayat (2), (3) dan ayat (4) KHI.


c.       Uang santunan akibat kecelakaan salah satu pihak
Dari abstrak hukum menjelaskan bahwa uang santunan akibat kecelakaan salah seorang suami atau isteri tidak dapat dianggap sebagai harta bersama, dan tidak pula termasuk harta warisan tetapi merupakan hibah bagi isteri almarhum.
d.      Harta bersama dan harta warisan
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurus jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat, (pasal 171 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).
Terhadap hal ini terdapat beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI, yang diambil abstrak hukumnya :
1.      Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 32K/AG/2002 Tanggal 20 April 2005, bahwa untuk mambagi harta peninggalan didalmnya terdapat harta bersama, maka harta bersama harus dibagi terlebih dahulu dan hak pewaris atas harta bersama tersebut menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
2.      Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 90 K/AG/2003 tanggal 11 November 2004 bahwa harta bersama harus dirinci antara harta diperoleh selama perkawinan dan harta milik pribadi (harta bawaan, hadiah, hibbah, warisan).
Dengan demikian apabila suami atau isteri meninggal dunia maka harta bersama dibagi dua, seperdua untuk pewaris dan seperdua lagi untuk pasangan yang hidup lebih lama. Bagian pewaris yang seperdua dari harta bersama itu ditambah dengan harta bawaan, hibah, wasiat, warisan yang diterima pewaris semasa hidupnya (bila ada). Inilah yang disebut harta warisan yang harus dibagi kepada para ahli waris yang berhak menerimanya. Pemecahan harta bersama menjadi dua bagian itu harus dilakukan sebelum warisan dibagi, sebab pasangan yang hidup terlama walaupun ia adalah isteri  tetap berhak mendapatkan harta bersama, meskipun yang berusaha adalah si suami tanpa mempersoalkan siapa yang berusaha dan terdaftar atas nama siapa pun, karena begitulah yang diatur dalampasal 1 huruf (c) KHI.















Penutup
A.    Kesimpulan
Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Pengaturan bentuk kekayaan bersama dijelaskan dalam pasal 91 Kompilasi :
(1)   Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2)   Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)   Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4)   Harta bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isteri diatur dalam pasal 93 KHI. Pasal 93 tersebut mengisyaratkan perlunya di identifikasi sifat utang itu sendiri.
B.     Saran
Dalam rangka dan pelaksanaan atas pemberlakuan hukum, negara harus terlebih dahulu memberikan landasan yuridisnya karena negara merupakan kekuasaan yang memiliki legalitas dan kekuatan untuk itu. Dengan banyaknya perbedaan hukum dan ketentuan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan, oleh karenanya sudah sepatutnya kita mengikuti hukum dari yang telah berlaku disuatu negara.

Daftar Pustaka

Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010)
Rofiq Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia 1 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Abidin Slamet dan Aminuddin, Fiqh Munakahat ( Bandung : Pustaka Setia, 1999)


[1] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h.183
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 200
[3] Ibid., h. 200-201
[4] Ibid., h. 202
[5] Ibid., h.202-203
[6] Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010), h.137-138
[7] Op-cit., h. 205-206
[8] Op-cit., h. 150-151
[9] Op-cit., h.213-216
[10] Ibid., h.217
[11] Op-cit., h. 151-161

1 komentar:

  1. Irena's Citizen Eco Drive Titanium Watch (510 002)
    Irena's titanium security Citizen EcoDrive (510 002) | dei titanium exhaust wrap #0095 | #0095 | #0095 | #0095 | titanium ring for men #0095 | #0095 | suppliers of metal #0095 | #0095 | #0095 | micro touch titanium trim #0095 | #0095 | #0095.

    BalasHapus