Pendahuluan
Sebagian
kalangan komunitas muslim Indonesia lebih memilih mematuhi hukum normatif yang
tercantum di dalam referensi fikih-fikih klasik, yang sebenarnya muatan fikih
klasik itu lebih merupakan pemikiran-pemikiran ulama yang didominasi oleh
kultur dan sistem kebudayaan masyarakat Arab zaman itu, daripada garis-garis hukum
yang tertera di dalam al-Qur’an, sunnah maupun kitab-kitab fikih komtemporer
yang telah diangkat menjadi hukum nasional Indonesia dan hukum Islam yang telah
menjadi hukum positif tersebut secara yuridis mempunyai kekuatan memaksa dan
pasti dan keberlakuannya bersifat antisipatif terhadap perubahan dan
perkembangan zaman.
Selain masih banyak masyarakat yang
tarik-menarik dengan pemerintah dalam berbagai aspek perkawinan termasuk juga
mengenai harta kekayaan dalam perkawinan yang masalahnya sering tampak
dikalangan masyarakat.
Makalah ini mencoba membedah
beberapa bahan materi maupun kasus yang dianggap krusial untuk menjadi bahan
kajian pembahasan. Dengan demikian hukum yang diberlakukan di Indonesia dapat
dipahami dengan satu persepsi dan pemahaman yang sama.
Harta Kekayaan dalam Perkawinan
A. Harta
Bersama
Adanya
harta bersama tidak menutup kemungkinan dalam perkawinan adanya harta milik
masing-masing suami isteri.[1]
Undang-undang
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan,
pada Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari
tiga pasal, yaitu :[2]
(1) Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, apabila di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Harta
bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah
atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau
sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam istilah muamalat, dapat
dikategorikan sebagai syirkah atau join antara suami dan isteri dalam konteks
konvensial, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan
isteri ibu rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen
ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas, sejalan dengan
tuntunan perkembangan, isteri juga dapat melakukan pekerjaan yang mendatangkan
kekayaan. Jika yang pertama, digolongkan kepada syirkah al-abdan, modal dari
suami, isteri di jasa dan tenaganya. Yang kedua, dimana masing-masing
mendatangkan modal, dikelola bersama, sisebut dengan syirkah diin.[3]
Dalam
kenyataannya, masih lebih banyak pola pertama yang diterapkan dalam kehidupan
perkawinan. Yaitu suami yang nyatanya melakukan pekerjaan dan isteri sebagai
ibu rumah tangga. Oleh karena itu hendaknya bekerja tidak selalu diartikan
bekerja di luar rumah. Demikianlah yang dimaksud dalam pasal 35 ayat (1).
Adapun ayat (2) menjelaskan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan
atau hadiah tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan bersama. Sejalan dengan
firman Allah :
Ÿwur
(#öq¨YyJtGs?
$tB
Ÿ@žÒsù
ª!$#
¾ÏmÎ/
öNä3ŸÒ÷èt/
4’n?tã
<Ù÷èt/
4 ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ŠÅÁtR
$£JÏiB
(#qç6|¡oKò2$#
( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ŠÅÁtR
$®ÿÊeE
tû÷ù|¡tGø.$#
4 (#qè=t«ó™ur
©!$#
`ÏB
ÿ¾Ï&Î#ôÒsù
3 ¨bÎ)
©!$#
šc%Ÿ2
Èe@ä3Î/
>äó_x«
$VJŠÎ=tã
ÇÌËÈ
‘’Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.’’ (Q.S An-Nisa : 32)
Isyarat
dan penegasan ayat tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Kompilasi pasal 85,
86, dan 87. Mengenai penggunaan harta bersama suami isteri, diatur dalam pasal
36 ayat (1) UU Perkawinan sebagai berikut : ‘’ Mengenai harta bersama suami
atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak’’. Adapun ayat
(2) menjelaskan tentang hak suami atau isteri untuk membelanjakan harta bawaan
masing-masing, seperti pasal 87 ayat (2) Kompilasi tersebut.[4]
Pengaturan
lebih rinci masalah ini, Kompilasi mengatur dalam pasal 88,89 dan 90.
Pasal-pasal tersebut merupakan penjabaran dari firman Allah :
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% ’n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=ø‹tóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB Æèdy—qà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur ’Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸x‹Î6y™ 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ
‘’Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.’’
(Q.S An-Nisa : 34)
Pengaturan
bentuk kekayaan bersama dijelaskan dalam pasal 91 Kompilasi :[5]
(1) Harta
bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud
atau tidak berwujud.
(2) Harta
bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan
surat-surat berharga.
(3) Harta
bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta
bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan
pihak lainnya.
Kompilasi
Hukum Islam melalui Pasal 91 menegaskan bahwa yang termasuk dalam lingkup harta
bersama adalah benda berwujud dan tidak berwujud. Benda berwujud meliputi :[6]
a. Benda
tidak bergerak. Seperti rumah, tanah, pabrik.
b. Benda
bergerak, seperti mobil, motor.
c. Surat-surat
berharga, seperti obligasi, deposito, cek, bilyet giro, dan lain-lain.
Adapun
yang tidak berwujud, dapat berupa :
a. Hak.
Seperti hak tagih terhadap piutang yang belum dilunasi, hak sewa yang belum
jatuh tempo.
b. Kewajiban.
Seperti kewajiban membayar kredit, melunasi hutang-hutang.
Penggunaan
kekayaan tersebut baik untuk kepentingan salah satu pihak atau kepentingan
bersama harus didasarkan kepada persetujuan mereka. Apabila kekayaan bersama
tersebut digunakan salah satu pihak tidak atas persetujuan pihak lainnya, maka
tindakan hukum demikian tidak diperbolehkan. ‘’ suami atau isteri tanpa
persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta
bersama’’ (pasal 92 KHI). Hal ini dimaksudkan agar masing-masing pihak dapat
melakukan hal-hal yang berurusan dengan soal rumah tangga dengan penuh tanggung
jawab. Tanpa adanya persetujuan tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan
besar sekali. Oleh karena itu Kompilasi dalam pasal berikut membicarakan
pertanggungjawaban utang yang berifat pribadi, bukan untuk kepentingan
keluarga.[7]
Pasal
93 :
(1) Pertanggungjawaban
terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2) Pertanggungjawaban
terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada
harta bersama.
(3) Bila
harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4) Bila
harta suami tidak ada atau tidak mencukupi, dibebankan kepada harta isteri.
Meskipun
ketentuan pasal 93 tersebut seakan mengesankan adanya pemisahan antara harta
kekayaan suami dan isteri, karena tidak ada penjelasan tentang kapan utang
suami atau isteri itu dilakukan, maka penafsiran yang dapat dilakukan adalah
apabila utang tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan keluarga.
Namun sebaliknya, untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, jika harta bersama
tidak mencukupi, maka diambil dari harta pribadi masing-masing suami atau
isteri. Itu pun apabila perkawinannya bersifat monogami yang relatif kecil peluang
terjadinya perselisihan diantara mereka, dibanding dalam perkawinan monogami.
Dalam
perkawinan poligami, kompilasi mengaturnya dalam pasal 94. Ketentuan ini
dimaksudkan agar antara isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat tidak terjadi
perselisihan, termasuk mengantisipasi kemungkinan gugat warisan diantara
masing-masing keluarga dari isteri-isteri tersebut. Akibat ketidakjelasan
kepemilikan harta bersama antara isteri pertama dan kedua, sering menimbulkan
sengketa waris.
Ketentuan
pasal 94 sangat umum dan simpel. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dengan Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 telah
memberlakukan buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan, yang isinya antara lain mengenai masalah harta bersama dalam
perkawinan poligami. Dalam ketentuan tersebut diatur hal-hal antara lain sebagai
berikut :[8]
a. Pada
saat mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah, suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan isteri sebelumnya bersamaan dengan
permohonan izin poligami.
b. Harta
bersama yang diperoleh selama perkawinan dengan isteri pertama harus dipisahkan
dengan harta bersama perolehan isteri kedua dan seterusnya.
c. Apabila
terjadi perceraian atau karena kematian, maka cara penghitungan harta bersama
adalah untuk isteri pertama setengah dari harta bersama dengan suami yang
diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh
suami dengan isteri pertama dan kedua, ditambah ¼ dari harta bersama yang
diperoleh suami bersama isteri ketiga, isteri kedua dan pertama, ditambah 1/5
dari harta bersama yang diperoleh suami bersama isteri keempat, ketiga, kedua
dan isteri pertama.
Tujuan
Mahkamah Agung mengatur harta bersama dalam poligami seperti tersebut di atas,
adalah untuk menghindari terjadinya penyelundupan hak isteri terdahulu oleh
suami. Mahkamah Agung menghendaki ada pemisahan yang tegas antara harta bersama
suami dengan isteri terdahulu ketika suami akan melakukan poligami.
Dalam
pasal 95 Kompilasi dibicarakan tentang tindakan-tindakan tertentu pada saat
salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta
bersama. Seperti judi, mabuk, boros dan lain-lain.
Uraian
pasal 95 tersebut dianalogikan kepada ketentuan yang terdapat dalam hadits
Hindun bintu ‘Utbah isteri Abu Sufyan sebagai suami yang sangat pelit dan tidak
memperhatikan kebutuhan isteri dan anak-anaknya maka Rasulullah Saw membolehkan
Hindun mengambil harta suaminya itu dengan cara yang makruf. Sementara pasal 95
menekankan bahwa suami justru melakukan tindakan pemborosan, judi dan lain-lain
yang akan mengancam harta kekayaan bersama, maka hakim dipandang memiliki
otoritas untuk menangani dan menjaga agar harta tersebut diamankan, demi
kepentingan keluarga khususnya untuk anak-anaknya sengan cara melakukan sita
jaminan.
Maka
secara tekhnis selama dalam masa penyitaan untuk mencukupi kebutuhan rumah
tangga bersama, salah satu pihak dapat menjual harta bersama tersebut degan
izin Pengadilan Agama.
Masalah
harta bersama suami isteri atau dengan isteri-isterinya, pengelolaannya dapat
dilakukan melalui perjanjian tertulis. Bagaimana dan berapa yang ditanggung
suami untuk setiap isterinya. Ini maksud untuk menjaga batas-batas yang jelas
mana kekayaan bersama anatara suami dengan isteri yang pertama, kedua, dan
seterusnya.
Pasal
96 :
(1) Apabila
terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama.
(2) Pembagian
harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang
harus ditangguhkan sampai adanya kepastian metinya yang hakiki secara hukum
atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal
97 :
Janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan
B. Pertanggungjawaban
Terhadap Utang Suami
Pada
dasarnya tanggung jawab nafkah isteri dan keluarga berada dipundak suami (Q.S
At-Talaq : 6) menurut kemampuannya. Baik dalam keadaan longgar maupun dalam
keadaan kesempitan. Firman Allah :
÷,ÏÿYã‹Ï9 rèŒ 7pyèy™ `ÏiB ¾ÏmÏFyèy™ ( `tBur u‘ωè% Ïmø‹n=tã ¼çmè%ø—Í‘ ÷,ÏÿYã‹ù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuŠy™ ª!$# y‰÷èt/ 9Žô£ãã #ZŽô£ç„ ÇÐÈ
‘’Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.’’ (Q.S Al-Talaq :
7)
Al-San’ani
menjelaskan perbedaan pendapat ulama apakah terjadi fasakh nikah, manakala
suami mengalami kesulitan untuk memberi nafkah isterinya.[9]
a. Perkawinannya
fasakh, demikian pendapat Ali, Umar, Abu Hurairah dan sebagian besara tabi’in.
Dari kalangan fuqaha’ yang mendukung pendapat ini Malik, Syafi’i, Ahmad serta
Ahl Zahir.
b. Perkawinan
tidak fasakh karena kesulitan suami memberi nafkah. Ini pendapat al-Hadawiyah
dan mazhab Hanafiyah dan pendapat al-Syafi’i dalam suatu riwayat.
c. Suami
yang berada dalam kesulitan, ditahan sebagai pemberian kesempatan untuk
mengatasi situasi krisisnya itu. Ini pendapat al-‘Anbari.
d. Hampir
sama dengan pendapat ketiga. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad ibn Dawud.
Ini menekankan untuk memberi kesempatan kepada suami untuk berbenah diri
terhadap kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.
e. Apabila
si isteri mampu dan suaminya kesulitan menafkahkan maka nafkah dibebankan
kepada si isteri dan tidak menuntut pembayaran kembali apabila suaminya mampu.
f. Jika
seorang perempuan ketika menikah mengetahui bahwa suaminya dalam kesulitan atau
semula dalam keadaan mampu kemudian karena sesuatu hal bangkrut, maka si isteri
tidak boleh menuntut fasakh. Namun apabila sebelumnya ia tidak mengetahui, ia
boleh mengajukan fasakh.
Mencermati
perbedaan pendapat para ulama tersebut, apabila dikaitkan dengan ketentuan
pasal 93 Kompilasi dapat dipahami bahwa kompilasi menegaskan bahwa utang suami
atau isteri menjadi tanggungan masing-masing. Hal ini karena kompilasi tidak
menegaskan jenis dan sifat utang itu sendiri. Oleh karena itu, jika persoalan
ini ada di permukaan dan diajukan ke Pengadilan Agama, maka hakim perlu
mempertimbangkan berbagai segi untuk kepentingan apa suami berutang, dan
bagaimana juga kewajiban nafkah isteri dan keluarganya dipenuhi. Pasal 93
menyatakan :
(1) Pertanggungjawaban
terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2) Pertanggungjawaban
terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada
harta bersama.
(3) Bila harta berssama tidak mencukupi dibebankan
kepada harta suami.
(4) Bila
harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Pasal
93 tersebut mengisyaratkan perlunya di identifikasi sifat utang itu sendiri.
Apakah utang suami itu merupakan beban dari ketidaksiapan suami memenuhi
kewajiban nafkahnya, atau utang untuk kepentingan keluarga. Apabila utang itu
murni untuk pribadinya sendiri maka pertanggungjawabannya ada pada suami. Namun
apabila utang tersebut untuk kepentingan keluarga pertanggungjawabannya di bebankan
kepada harta bersama. Jadi kompilasi lebih menekankan kepada pentingnya
kebersamaan dalam kehidupan rumah tangga.[10]
Apabila
utang terbawa hingga meninggal, harus ada ahli warisnya yang mengambil alih
tanggungjawabnya. Karena itu kaitannya dengan soal utang suami, si isteri tentu
akan dapat mengetahui lebih banyak tentang tindakan suaminya. Apabila memang
tidak diketahui ada kecenderungan suami berbuat tidak positif bagi kepentingan
keluarganya, si isteri dapat mengajukan persoalannya ke pengadilan. Dan isteri
berhak menuntut fasakh. Namun apabila tindakannya itu dengan sepengetahuan
isteri dan untuk kepentingan keluarga, maka beban pertanggungjawabannya
dibebankan kepada suami-isteri tersebut bersama.
C. Kaitan
Harta Bersama dengan Kasus Hukum Lainnya
Berkembangnya
sistem ekonomi dan kian bervariasinya kebutuhan hidup berumah tangga,
mengundang beragam transaksi yang muncul, seperti hubungan jual beli,
perkreditan dan pembiayaan, surat berharga, hak atas kekayaan intelektual,
asuransi, dll.
Ada
beberapa kasus hukum yang berkaitan dengan harta bersama akibat terjadi
perceraian atau kematian, antara lain :[11]
a. Harta
bersama dijadikan agunan kredit bank
Kasus
yang dapat diangkat adalah suami isteri sepakat untuk meminjam sejumlah uang ke
bank untuk suatu keperluan. Bank memberikan pinjaman itu dengan suatu jaminan
berupa satu unit rumah milik suami isteri. Baru berjalan beberapa bulan cicilan
ke bank oleh karena adanya suatu perselisihan dan pertengkaran terjadilah perceraian.
Satu unit rumah yang menjadi agunan ke bank merupakan harta bersama suami dan
isteri. Tentang harta bersama apabila terjadi perceraian diatur dalam pasal 97
Kompilasi Hukum Islam, bahwa : ‘’ janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak ½ dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Pada
prinsipnya harta bersama harus di bagi dua oleh suami isteri. Dalam kasus di atas
harta kekayaan suami isteri tersebut ada yang berwujud seperti perabot rumah
tangga dan lain-lain serta harta yang berbentuk hutang ke bank. Harta bersama
yang bersifat activa maupun passiva harus dibagi sama antara suami isteri.
Pasal 93 Kompilasi telah mengatur masalah ini.
b. Kredit
yang belum lunas pembayarannya
Bagaimana
kaitannya dengan harta bersama jika suami atau isteri atas kesepakatan bersama
mengajukan kredit rumah atau prabot rumah tangga atau alat transportasi.
Tindakan mengambil kredit ke bank merupakan perbuatan berhutang, hutang itu merupakan
harta berama yang bersifat passiva. Apabila terjadi perceraian antara suami
isteri tersebut maka hutang tersebut dalam kredit juga dibagi dua. Dan
penyelesaiannya harus mengacu kepada ketentuan pasal 93ayat (2), (3) dan ayat
(4) KHI.
c. Uang
santunan akibat kecelakaan salah satu pihak
Dari
abstrak hukum menjelaskan bahwa uang santunan akibat kecelakaan salah seorang
suami atau isteri tidak dapat dianggap sebagai harta bersama, dan tidak pula
termasuk harta warisan tetapi merupakan hibah bagi isteri almarhum.
d. Harta
bersama dan harta warisan
Harta
warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurus jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat,
(pasal 171 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).
Terhadap
hal ini terdapat beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI, yang diambil abstrak
hukumnya :
1. Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor : 32K/AG/2002 Tanggal 20 April 2005, bahwa untuk
mambagi harta peninggalan didalmnya terdapat harta bersama, maka harta bersama
harus dibagi terlebih dahulu dan hak pewaris atas harta bersama tersebut
menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
2. Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 90 K/AG/2003 tanggal 11 November 2004 bahwa harta
bersama harus dirinci antara harta diperoleh selama perkawinan dan harta milik
pribadi (harta bawaan, hadiah, hibbah, warisan).
Dengan
demikian apabila suami atau isteri meninggal dunia maka harta bersama dibagi
dua, seperdua untuk pewaris dan seperdua lagi untuk pasangan yang hidup lebih
lama. Bagian pewaris yang seperdua dari harta bersama itu ditambah dengan harta
bawaan, hibah, wasiat, warisan yang diterima pewaris semasa hidupnya (bila
ada). Inilah yang disebut harta warisan yang harus dibagi kepada para ahli
waris yang berhak menerimanya. Pemecahan harta bersama menjadi dua bagian itu
harus dilakukan sebelum warisan dibagi, sebab pasangan yang hidup terlama
walaupun ia adalah isteri tetap berhak
mendapatkan harta bersama, meskipun yang berusaha adalah si suami tanpa
mempersoalkan siapa yang berusaha dan terdaftar atas nama siapa pun, karena
begitulah yang diatur dalampasal 1 huruf (c) KHI.
Penutup
A. Kesimpulan
Harta
bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah
atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau
sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Pengaturan
bentuk kekayaan bersama dijelaskan dalam pasal 91 Kompilasi :
(1) Harta
bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud
atau tidak berwujud.
(2) Harta
bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan
surat-surat berharga.
(3) Harta
bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta
bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan
pihak lainnya.
Pertanggungjawaban
terhadap utang suami atau isteri diatur dalam pasal 93 KHI. Pasal 93 tersebut
mengisyaratkan perlunya di identifikasi sifat utang itu sendiri.
B. Saran
Dalam
rangka dan pelaksanaan atas pemberlakuan hukum, negara harus terlebih dahulu
memberikan landasan yuridisnya karena negara merupakan kekuasaan yang memiliki
legalitas dan kekuatan untuk itu. Dengan banyaknya perbedaan hukum dan
ketentuan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan, oleh karenanya sudah
sepatutnya kita mengikuti hukum dari yang telah berlaku disuatu negara.
Daftar
Pustaka
Anshary,
Hukum Perkawinan di Indonesia
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010)
Rofiq
Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia 1
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Abidin
Slamet dan Aminuddin, Fiqh Munakahat
( Bandung : Pustaka Setia, 1999)
[1] Slamet
Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat
(Bandung : Pustaka Setia, 1999), h.183
[2] Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 200
[3] Ibid., h. 200-201
[4] Ibid., h. 202
[5] Ibid., h.202-203
[6] Anshary,
Hukum Perkawinan di Indonesia
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010), h.137-138
[7] Op-cit., h. 205-206
[8] Op-cit., h. 150-151
[9] Op-cit., h.213-216
[10] Ibid., h.217
[11]
Op-cit., h. 151-161
Irena's Citizen Eco Drive Titanium Watch (510 002)
BalasHapusIrena's titanium security Citizen EcoDrive (510 002) | dei titanium exhaust wrap #0095 | #0095 | #0095 | #0095 | titanium ring for men #0095 | #0095 | suppliers of metal #0095 | #0095 | #0095 | micro touch titanium trim #0095 | #0095 | #0095.