Pendahuluan
Pada awalnya tabot berangkat dari
kebiasaan orang-orang Bengali (India Selatan) yang didatangkan oleh Inggris
saat pembangunan Benteng Marlborough (1718-1719). Namun dalam perkembangannya
yang cukup panjang, upacara tabot bersentuhan dengan budaya-budaya lokal.
Salah
satu kegiatan seni budaya yang telah menjadi kalender tetap di ibukota Bengkulu
adalah festival tabot yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Muharram. Tradisi
ini sendiri dibawa oleh orang-orang India yang menjadi tetara Inggris pada
tahun 1685. Di berbagai belahan dunia lain, upacara berkabung semacam tabot
dikenal dengan sebutan hari Asyura. Di Irak misalnya, pada puncak hari Asyura
pada 10 Muharram, kaum Syi’ah mengagungkan penggalan sejarah yang terjadi pada
tahun 61 H/680 M itu dengan cara yang tergolong amat fanatik, bahkan dengan
cara menyakiti diri mereka sendiri.
Bahwa ada
sebagian kalangan yang menuding upacara (semi) ritual tabot menyimpang dari
akidah keIslaman, yaitu terhadap semacam keyakinan pada keluarga tabot, yang
sebagian masih percaya bahwa jika ritual ini tidak dilaksanakan akan
mendatangkan bencana bagi mereka, atau terhadap benda-benda yang dikeramatkan. Sebagai
elemen masyarakat mengecamnya dan menganggapnya perbuatan sirik. Mayoritas
masyarakat Bengkulu sudah tidak mempersoalkan lagi asal-usul tabot, apakah
bersumber dari paham Syi’i atau Sunni.
Karena itu makalah ini
mencoba membedah satu per satu bahan materi yang dianggap krusial untuk menjadi
bahan kajian pembahasan. Dengan demikian dapat dipahami makna dari pelaksanaan
tradisi tabot dari segi tradisi kebudayaan dan perspektif Islam dengan satu
persepsi dan pemahaman yang sama.
Pembahasan
Tradisi Tabot Di Bengkulu
Kebudayaan
yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai mahkluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. Yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.[1]
Tradisi
adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan secara terus-menerus dengan berbagai
simbol dan aturan yang berlaku pada sebuah komunitas. Awal-mula dari sebuah
tradisi adalah ritual-ritual individu kemudian disepakati oleh beberapa
kalangan dan akhirnya diaplikasikan secara bersama-sama dan bahkan tak jarang
tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah ajaran yang jika ditinggalkan akan
mendatangkan bahaya. Dimasyarakat Bengkulu terdapat berbagai tradisi yang
teraplikasikan diantaranya adalah tradisi tabot.[2]
Ritus
yang sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat Bengkulu untuk mengenang
peristiwa tragis kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husain Bin Ali Bin Abi
Thalib, dalam suatu pertempuran tak seimbang dengan orang-orang dari Bani
Umayyah di Padang Karbala (wilayah Irak sekarang), sejak beberapa tahun terakhir
harus diakui memang sudah bergeser menjadi sekedar pesta tahunan masyarakat
Bengkulu. Bahkan, sakralitas itu sudah mulai meluntur ada sebagian keluarga
inti yang tergabung dalam kerukunan keluarga tabot (KKT) itu sendiri.
Festival
tabot sebagai peristiwa budaya pada akhirnya adalah pesta rakyat. Aspek ritual
yang semula melandasinya, yang pada awalnya adalah pusat dari segala upacara
tradisi itu, ini malah hanya terkesan pelengkap. Sebaliknya, sebagai lomba dan
aktaksi budaya macam musik dol, tari, telong-telong (sejenis lapion dalam aneka
bentuk) dan peramainan ikan-ikanan, juga digelarnya arena pasar malam selama
festival bersambung, justru kini masuk ketengah. Bumbu pelengkap itu malah jadi
hidangan sekaligus santapan utama dalam kenduri rakyat bengkulu.
Pada
awalnya ia berangkat dari kebiasaan orang-orang Bengali (India Selatan) yang
didatangkan oleh Inggris saat pembangunan Benteng Marlborough (1718-1719),
Namun dalam perkembangannya yang cukup panjang, upacara tabot bersentuhan
dengan budaya-budaya lokal. Memang, berbagai kajian menyimpulkam bahwa upacara
tabot dapat digolongkan sebagai produk Budaya lokal. Dulu, pada akhir prosesi,
tabot-tabot sakral itu dibuang kelaut. Akan tetapi, entah sejak kapan, kini
justru dibuang kedarat, kelokasi pemakaman, Tokoh bernama Imam Senggolo alias
Syekh Burhanudin, yang oleh pengikutnya diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya
upacara tabot di Bengkulu.[3]
Bahwa
ada sebagian kalangan yang menuding upacara (semi) ritual tabot menyimpang dari
akidah keIslaman, ketika ditempatkan dalam posisi berbeda, taruhlah terhadap
semacam keyakinan pada keluarga tabot, yang sebagian masih percaya bahwa jika
ritual ini tidak dilaksanakan akan mendatangkan bencana bagi mereka, atau
terhadap benda-benda yang dikeramatkan, beberapa tokoh menganggap justru
dibalik itu ada semacam kearifan lokal.
Apalagi
jika dicermati dari perspektif filsafat sejarah, substansi budaya tabot itu
merupakan simbolisasi dari sebuah keprihatinan sosial. Dengan demikian, sebagai
produk budaya manusia, secara tidak langsung lewat tahapan-tahapan prosesi yang
ada itu, ia juga mengusung simbol-simbol solidaritas sosial atau merupakan
simbolisasi kearifan sosial.
Sebagai elemen masyarakat mengecamnya dan
menganggapnya perbuatan sirik. Akan tetapi, secara berangsur-angsur pemahaman
itu hilang seiring dengan proses akulturasi dan dalam perkembangannya dianggap
sebagai budaya. Pada prinsipnya, tradisi tabot memiliki hubungan dengan paham
Syi’ah, yang dibuktikan dengan arakan-arakan tabot yang kesannya menggambarkan
ritus penghormatan atas sahidnya Imam Husein di Karbala. Yang semula tabot
digelar dalam kerangka melaksanakan Syi’ah sebagai paham atau ideologis menjadi
sebuah kearifan lokal atau sepadar sebagai praktik Syi’ah kultural. Dalam
konteks ini Syi’isme bukan lagi sebagai
paham dan ideologi keagamaan tetapi sebagai ornamen budaya.[4]
Mayoritas
masyarakat Bengkulu sudah tidak mempersoalkan asal-usul tabot, apakah bersumber
dari paham Syi’i atau Sunni. Tabot sudah dianggap sebagai bagian dari budaya
mereka yang perlu dirayakan sepanjang tahun, tak ubahnya upacara sakaten di
kesultanan Yogyakarta. Apalagi, dalam konteks dakwah islamiyah, tradisi tabot
bisa menjadi media dalam mensyi’arkan Islam, misalnya tampak melalui gotong
royong ketika mempersiapkan tabot.
Diantara
jenis-jenis tabot ada yang divisualisasikan dalam rupa kuda sembarani dengan
warna badannya hitam dan kapak sayap berwarna jingga. Dileher jenjangnya
tergantung perisai warna kuning keemasan. Rambut hitamnya yang menjuntai,
menambah keelokaan bagian kepala berbentuk wajah wanita cantik, lengkap dengan
mahkota diatasnya. Tegak bertengger dibahu bangunan menyerupai menara masjid,
kuda hitam bersayap dan berwajah wanita cantik simbol dari hewan bernama Burak
yang menjadi tunggangan Nabi Muhammad saw saat melakukan perjalanan
keNabiaannya dan dikenal sebagai peristiwa Isra’ Mi’raj itu tampak terlihat
gagah. Bentuk tabot yang lain yang disertakan dalam prosesi puncak upacara
tabot dibengkulu umumnya berbentuk menara masjid, namun variasi yang
ditampilkan begitu beragam.
Pada
jenis tabot pembangunan, yang merupakan pesanan instansi-instansi pemerintah dan
atau lembaga-lembaga lain. Sementara 17 tabot utama dinamakan tabot sakral.
Pada dasarnya tabot-tabot itu melambangkan peti mati Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Cucu Nabi Muhammad saw ini gugur sebagai Sahid dalam pertempuran tak
seimbang ketika harus melawan ribuan laskar Ubaydilah bin Ziad dari Bani
Umayyah dipadang Karbala pada 10 muharam tahun 61 hijriah (681).[5]
Salah
satu kegiatan seni budaya yang telah menjadi kalender tetap di ibukota Bengkulu
adalah festival tabot yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Muharram. Tradisi
ini sendiri dibawa oleh orang-orang India yang menjadi tetara Inggris pada
tahun 1685.
Di
berbagai belahan dunia lain, upacara berkabung semacam tabot dikenal dengan
sebutan hari Asyura. Di Irak misalnya, pada puncak hari Asyura pada 10
Muharram, kaum Syi’ah mengagungkan penggalan sejarah yang terjadi pada tahun 61
H/680 M itu dengan cara yang tergolong amat fanatik, bahkan dengan cara
menyakiti diri mereka sendiri.[6]
Disebut-sebut
bahwa tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut Syi’ah ini
mulai ada sejak pembangunan benteng Marlborough (1718-1719) di Bengkulu. Lebih
lanjut tipe tabot di Indonesia ada dua : pertama, Asan Usen di Aceh, serta
Tabot di Sibolga dan Riau, yang merupakan jenis atau tipe ritual yang
sederhana. Kedua, tabur di Bengkulu dan tabuik di Pariaman yang merupakan jenis
tipe pertunjukan teatrikal.
Kata
tabut berasal dari bahasa arab ‘’at-tabutu’’
yang berarti peti yang terbuat dari kayu dalam al-Qur’an terdapat cerita tabut
orang Yahudi yaitu suatu peti wasiat tempat menyimpan kitab Taurat. Sebagaimana
firman Allah Swt :
tA$s%uróOßgs9öNßg–ŠÎ;tR¨bÎ)sptƒ#uäÿ¾ÏmÅ6ù=ãBbr&ãNà6u‹Ï?ù'tƒßNqç/$G9$#Ïm‹Ïù×puZŠÅ6y™`ÏiBöNà6În/§‘×p¨ŠÉ)t/ur$£JÏiBx8ts?ãA#uä4†y›qãBãA#uäurtbrã»ydã&é#ÏJøtrBèps3ͳ¯»n=uKø9$#4¨bÎ)’ÎûšÏ9ºsŒZptƒUyöNà6©9bÎ)OçFZä.šúüÏZÏB÷s•BÇËÍÑÈ
‘’Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya
tanda ia akan menjadi Raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya
terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan
keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.’’ (QS. Al-Baqarah : 248)
Cerita
lain terukir mengenai cerita Nabi Musa as yang dibuatkan peti terbuat dari kayu
ketika masih bayi kemudian dihanyutkan di sungai Nil karena ancaman Raja
Fir’aun yang dzalim yang membunuh setiap anak laki-laki.
Sementara
tabot yang ada di Bengkulu bukanlah tabut seperti yang terjadi pada kasus Nabi
Musa tersebut. Dalam hal ini tabot adalah sebuah bangunan yang menyerupai
pagoda atau menara masjid yang bertingkat-tingkat terbuat dari rangka kayu dan
bambu, kadangkala pada bangunan tersebut ditambahkan pula bentuk-bentuk lain,
seperti burung, kepala manusia, ikan, rumah adat, dan sebagainya.
Menurut
informasi yang diperoleh, ritual tabot dikelompokkan dalam dua jenis. Pertama,
tabot sebagai ritus yang berarti merupakan keseluruhan rangkaian kegiatan
ritual yang dilaksanakan mulai tanggal 1 sampai 10 Muharram. Sebagai ritus,
ritual tabot dipimpin oleh seorang anggota keluarga tabot yang menguasai secara
detail ritual ini dan yang dianggap memiliki kemampuan spiritual untuk
melaksanakan ritual tersebut. Tabot yang kedua, bersifat fisik. Tabot dalam
pengeertian ini dipahami sebagai suatu ornamen berbentuk candi atau rumah yang
mempunyai satu atau lebih puncak, dengan ukuran yang berbeda-beda, dibuat dari
bahan-bahan tertentu dan dikhususkan untuk ritual tabot.[7]
A. Asal-usul
upacara tabot
Upacara
tabot itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H/632 M di Madinah. Pengangkatan Hasan bin
Ali mendapatkan tantangan besar dari golongan Bani Umayyah di bawah
kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin
Muawiyah. Pada suatu kesempatan Hasan bin Ali meninggal karena diracun melalui
pengkhianatan sebagian pengikut Yazid bin Mu’awiyah.[8]
Kematian
Hasan begitu tragisnya menjadi alasan bagi Husain bin Ali bin Abi Thalib untuk
menuntut balas dalam usaha mengembalikan kehormatan dan martabat keluarganya.
Husain segera menyusun siasat membina kekuatan yang berpusat di Kufah untuk
merebut kekuasaan dari tangan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan.
Pasukan
Husain bergerak menuju Damaskus. Di pertengahan jalan, pada suatu lapangan yang
terkenal dengan nama padang Karbala, pasukan Yazid menghadang pasukan Husain.
Terjadilah peperangan yang dahsyat selama 10 hari, mulai dari tanggal 1-10
Muharram tahun 61 Hijriah.
Dalam
pertempuran yang sangat tidak seimbang pasukan Husain terdesak. Satu demi datu
para pahlawan Karbala gugur. Syahid terakhir dari kubu keluarga Rasulullah
adalah Imam Husain. Beliau syahid pada tanggal 10 Muharram dengan kepala yang
terpisah dari badan dengan meninggalkan kaum perempuan di belakangnya.
Peristiwa gugurnya Imam Husain inilah yang menjadikan kalangan Syi’ah kemudian
memperingatinya sebagai hari yang bersejarah.[9]
Menurut
Ketua Kerukunan Keluarga Tabot, Ir. A Syiafril Syah, tabot berasal dari Jazirah
Arab atau persisnya di daerah Irak sekarang. Selanjutnya budaya tabot itu
dibawa ke daerah-daerah yang disinggahi Jazirah Arab seiring dengan masa
penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Budaya terus masuk ke Punjab,
India. Lalu dari India budaya tabot dibawa ke Bengkulu. Sebelum tiba di
Bengkulu orang-orang tersebut telah lebih dahulu singgah di Aceh.[10]
Berdasarkan
ilustrasi bahwa Karabela yang ada di kota Bengkulu hanyalah tiruan dari Karbala
aslinya di Irak. Karbala itu sendiri memiliki arti ‘’tanah merah’’ yang
menggambarkan bahwa di tempat itu pernah terjadi peperangan yang mengakibatkan
pertumpahan darah.
B. Perlatan
dan Prosesi Ritual Tabot
Untuk
melaksanakan upacara tabot, ada beberapa peralatan yang harus dipersiapkan,
diantaranya adalah :[11]
1. Pembuatan
tabot, kelengkapan alat membuat tabot antara lain : bambu, rotan, kertas
marmar, kertas grip, tali, pisau, alat gambar, lampu hias, dan lain sebagainnya.
Biaya yang dibutuhkan untuk membuat tabot sekitar Rp. 5.000.000 hingga
Rp.15.000.000
2. Kenduri
dan sesaji, bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kenduri dan sesaji antara
lain : beras ketan, pisang emas, tebu, jahe, gula aren, gula pasir, kelapa, ayam,
daging, bumbu masak, kemenyan, dan lain-lain.
3. Perlengkapan
musik tabot, alat musik yang biasa digunakan adalah dol dan tessa.
Adapaun
langkah-langkah dalam upacara ritual tabot, yaitu :[12]
1. Mengambik
tanah (mengambil tanah)
Upacara
ini berlangsung pada malam tanggal 1 Muharram, sekitar pukul 22.00 WIB. Tanah
yang diambil untuk membuat boneka, yaitu tanah yang mengandung unsur magis.
Dalam acara ini memberi pelajaran bahwa manusia itu berasal dari tanah. Hal ini
sejalan dengan firman Allah :
øŒÎ)tA$s%y7•/u‘Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9’ÎoTÎ)7,Î=»yz#ZŽ|³o0`ÏiB&ûüÏÛÇÐÊÈ
‘’(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah". (QS. Shaad :
71)
Agar
anak yakin tentang kejadian manusia berasal dari tanah, maka orang tua keluarga
tabot memperagakan jasad Husain dari tanah pada saat upacara mengambil tanah.
Tanah yang diambil kemudian dibentuk seperti manusia dan disimpan di gerga
sampai pada tanggal 8 Muharram dipindahkan ke tabot coki, dan pada tanggal 10
Muharram tabot dibuang.
2. Duduk
penja (mencuci jari-jari)
Penja
adalah benda yang terbuat dari kuningan, perak atau tembaga yang berbentuk
telapak tangan manusia lengkap dengan jari-jarinya. Penja adalah benda keramat
yang mengandung unsur magis. Ia harus dicuci dengan air limau setiap tahunnya.
Yang dilaksanakan pada tanggal 5 Muharram.
3. Menjara
Menjara
adalah berkunjung atau mendatangi kelompok lain untuk beruji atau bertanding
dol. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 6 dan 7 Muharram. Pada proses ini
kaya dengan kandungan nilai-nilai sosial. Kunjungan dilakukan secara
bergantian. Prosesi ini memberikan pelajaran tentang pentingnya membangun
silahturahmi sebagaimana anjuran agama.
4. Meradai
(mengumpulkan dana)
Meradai
adalah pengambilan dana oleh jola (bahasa Melayu artinya orang yang bertugas
mengambil dana untuk kemasyarakatan) yang terdiri dari anak-anak berusia 10-12
tahun. Acara meradai dilakukan pada tanggal 6 Muharram.
5. Arak
penja (mengarak jari-jari)
Arak
penja atau jari-jari merupakan acara mengarak jari-jari yang diletakkan di
dalam tabot. Dilaksanakan pada malam ke-8 Muharram. Jari Husain yang putus
dalam melawan musuh diarak dengan maksud memperlihatkan kekejian (pasukan
Yazid) sekaligus mengobarkan semangat persatuan dalam melawan penguasa yang
tidak sah.
6. Arak
serban (arak surban)
Kegiatan
ini dilaksanakan pada malam ke-9 Muharram. Benda yang di arak selain penja
ditambah dengan serban putih diletakkan pada tabot coki (tabot kecil),
dilengkapi dengan panji-panji berwarna putih dan hijau yang bertuliskan nama
Hasan dan Husain dengan kaligrafi yang indah. Sorban yang diarak berwarna putih
melambangkan sorban Husain yang dipakai waktu berperang melawan musuh. Sorban
di arak dengan maksud mengobarkan semangat juang dan semangat persatuan dalam
melawan musuh.
7. Gam
(tenang berkabung)
Pada
waktu ini tidak boleh melakukan kegiatan apapun dimulai pada pukul 07.00 hingga
16.00. kegiatan selama masa ini adalah mengenang hari kematian Husain. Masa
tenang menggambarkan suasana duka cita seolah-olah pada waktu itu ada peristiwa
kematian. Dimaksudkan menunjukkan rasa solidaritas dan rasa kebersamaan sesama
umat Islam.
8. Arak
gedang (taptu akbar)
Pada
9 Muharram, dilaksanakan ritual tabot besanding di markas masing-masing.
Selanjutnya dilanjutkan dengan arak gedang, yakni grup tabot yang berarak dari
markas masing-masing menempuh rute yang ditentukan. Kemudian mereka akan
bertemu membentuk arak gedang (pawai akbar). Makna tabot besanding adalah
melaksanakan upacara pelepasan jenazah yang gugur sebelum dimakamkan.
9. Tabot
tebuang (tabot terbuang)
Acara
terakhir dari rangkaian upacara tabot adalah tabot tebuang, pada tanggal 10
Muharram dilaksanakan di makam Senggalo. Selesai acara ritual diadakan maka
bangunan dibuang ke rawa-rawa yang berdampingan dengan komplek makam tersebut.
Dengan dibuangnya tabot maka selesailah acara tabot tersebut.
Secara
keseluruhan upacara tabot diawali dengan pembacaan basmalah. Adapun doa-doa
yang sering dikumandangkan dalam ritual tabot adalah : doa kubur, doa mohon
selamat dan ampunan atas arwah orang-orang muslim di dunia, bacaan tasbih,
shalawat ulul ‘azmi, shalawat wasilah, dan sebagainya.
Tabot
masih dilakukan masyarakat pada setiap tanggal 10 Muharram di Bengkulu,
Pariaman dan Aceh. Asyura di Jawa dalam setiap pertanggalan Jawa berubah
menjadi bulan Suro, sebutan untuk bulan Muharram (bulan wafatnya Husain).
Peringatan Asyura belakangan dikenal dengan istilah Kasan Kusen. Di Aceh,
diistilahkan dengan bulan Asan Usen.
Dengan
kata lain, tabot di kota Bengkulu adalah kegiatan dengan kalender tahunan yang
didesain sebagai ajang utama provinsi Bengkulu. Ritual tabot tersebut tidak
hanya sebagai rutinitas budaya tetapi juga menjadi sarana promosi untuk
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Provinsi bengkulu. Maka pada tahun 2006
cakupannya diperluas menjadi kegiatan provinsi. Seluruh kabupaten/kota di
provinsi Bengkulu dilibatkan secara langsung, baik dalam parade tabot maupun
kegiatan pameran dan promosi daerah.[13]
Muharam
adalah salah satu bulan yang dihormati sejak dahulu kala. adapun asyura adalah
hari kesepuluh dalam bulan tersebut. oleh karenanya pada hari itu mereka
memperbanyak kebajikan, membagi-bagi makanan pada fakir, menyantuni orang-orang
miskin dan janda-janda serta anak yatim.
Sebagaimana
tertera dalam sejarah, Bani umayyah pada hari itu melakukan perbuatan yang keji,
menumpahkan darah, membunuh, menyembelih anak-anak masih kecil, membunuh
wanita-wanita, dan mencincang orang-orang yang telah mati syahid. Mereka juga
membakar kemah-kemah keluarga Rasul saw sambil tertawa-tawa menyaksikan
tubuh-tubuh Ahl Al-bait yang tak berdaya dibawah (injakan) kaki kuda-kuda.
Karena
ulah mereka ini sejak saat itu berubahlah pengertian muharam dan asyura
dikalangan orang-orang Islam. Hari-hari yang penuh dengan penderitaan dan duka
cita itu diganti dan diisi dengan kebiasaan khusus, yaitu mengadakan
perayaan-perayaan guna memperingati para pahlawan yang menyertai Imam Husein di
Karbala, yang telah menanggung penderitaan dalam mempertahankan kebenaran dan
keadilan serta hak-hak asasi manusia.
Sesungguhnya
mengenang para syuhada karbala dan dan para pahlawan 10 muharam tahun 61
Hijriyah menimbulkan pengaruh yang sangat baik terhadap jiwa generasi mendatang
dan para pemuda yang sadar, karena peringatan tersebut bisa membangkitkan
motivasi diri, kemuliaan, kehormatan dan membangkitkan semangat berkorban dalam
memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Jadi,
bulan muharam menurut pengertian para pakar merupakan acara seremonial tahunan
untuk mengenang tragedi sejarah Imam Husein dan sahabat-sahabatnya disamping
upaya meneladani keutamaan dan memenuhi hak-haknya.[14]
Adapun
alasan-alasan kaum syi’ah melakukan perbuatan demikian dalam hubungannya dengan
peringatan asyura diantaranya :
Pertama,
hal itu dilakukan dengan tujuan yang masuk akal dan sesuai dengan syariat
sebagai luapan rasa cinta kepada Imam Husein.
Kedua,
hal itu dilakukan untuk semakin mengkokohkan
terhadap revolusi Imam Husein yang suci, dan sekaligus menentang segala
bentuk kezaliman dan penindasan demi mewujudkan kemerdekaan kebebasan dan
perdamaian disetiap ruang dan waktu.[15]
Penutup
A. Kesimpulan
Kata
tabut berasal dari bahasa arab ‘’at-tabutu’’
yang berarti peti yang terbuat dari kayu dalam al-Qur’an terdapat cerita tabut
orang Yahudi yaitu suatu peti wasiat tempat menyimpan kitab Taurat.
Tabot
adalah sebuah bangunan yang menyerupai pagoda atau menara masjid yang
bertingkat-tingkat terbuat dari rangka kayu dan bambu, kadangkala pada bangunan
tersebut ditambahkan pula bentuk-bentuk lain, seperti burung, kepala manusia,
ikan, rumah adat, dan sebagainya.
Upacara
tabot itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan agama Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H/632 M di Madinah. Pengangkatan Hasan bin
Ali mendapatkan tantangan besar dari golongan Bani Umayyah di bawah
kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin
Muawiyah. Pada suatu kesempatan Hasan bin Ali meninggal karena diracun melalui
pengkhianatan sebagian pengikut Yazid bin Mu’awiyah. Karena ulah mereka ini
sejak saat itu berubahlah pengertian muharam dan asyura dikalangan orang-orang
Islam. Hari-hari yang penuh dengan penderitaan dan duka cita itu diganti dan
diisi dengan kebiasaan khusus, yaitu mengadakan perayaan-perayaan guna
memperingati para pahlawan yang menyertai Imam Husein di Karbala, yang telah
menanggung penderitaan dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan serta
hak-hak asasi manusia.
B. Saran
Besar
harapan kelompok kami makalah ini dapat menjadi tambahan sumber bacaan bagi
teman-teman. Makalah ini kami buat menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tak
luput dari itu, makalah ini terhindar dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah
ini.
Daftar
Pustaka
Dahri Harapan, Tabot Jejak
Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta : Citra, 2009)
Syekh Abdul Wahab Al-khotib, Asyura
dalam perspektif Islam, (Tk :
Yayasan Islam Al-Baqir, 1996),
[1] Harapan Dahri,
Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di
Bengkulu (Jakarta : Citra, 2009) h. 43
[2] Ibid., h. 45
[3] Ibid., h. 49-51
[4] Ibid., h. 53-54
[5] Ibid., h. 55
[6] Ibid., h. 70
[7] Ibid., h. 78
[8] Ibid., h. 79-81
[9] Ibid., h.81
[10] Ibid., h. 82-83
[11] Ibid., h. 87-88
[12] Ibid., h. 88-140
[13] Ibid., h. 148
[14] Al-khotib
Syekh Abdul Wahab, Asyura dalam
perspektif Islam (Tk : Yayasan
Islam Al-Baqir, 1996), h. 30-31
[15] Ibid,. h. 187-188
terlalu banyak ngawurnya alias abal-abal karena tidak berdasar data akurat dan tidak berdasar alasan yang kuat,,,,, jadi banyak asal bunyi / asal tulis
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusLITERATUR MANAPUN SEBELUM TAHUN 1970 TIDAK PERNAH MENULIS TABOT : NASKAH ARAB, PERSIA, INDO PAKISTAN, NASKAH MELAYU, NASKAH BELANDA , INGGRIS SEMUANYA MENULIS TABUT, TABUT, & TABUT hanya ejaan saja yg beda naskah Belanda masih ejaan lama yaitu Taboet (dibaca Tabut), Inggris Taboot(bacaannya tetap Tabut) sebab Tabot dalam buku The Preaching of Islam oleh Thomass Walker Arnold adalah sebutan untuk BERHALA BUNDA MARIA (tabot)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus