kotak diskusi

kotak diskusi

Senin, 23 Februari 2015

Demokrasi dalam Islam




Demokrasi Dalam Islam

A.    Pengertian Demokrasi
Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang terjadi di Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.[1]
Secara etimologi demokrasi berarti “pemerintahan oleh rakyat”. Inilah yang membedakan demokrasi dengan istilah-istilah pemerintahan lainnya di mana tidak mempunyai hak paten dari rakyat. Amerika mendefinisikan demokrasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Presiden ke-16 mereka, Abraham Lincoln (1809-1865) : “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dengan kata lain di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat luas (public) dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat.
Gagasan utama dalam demokrasi adalah bahwa semua kekuasaan diberikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hampir setiap gerakan politik mengatasnamakan demokrasi sebagai hak asasi politik yang sakral dan luhur yang harus terus-menerus diagungkan dalam peraturan politik.
            Demokrasi adalah cerminan dari suatu proses budaya dalam menjabarkan konsep kekuasaan dari masyarakat. Kebudayaan yang pada hakikatnya merupakan upaya dialektis masyarakat untuk menjawab tantangan yang dihadapkan pada setiap perkembangan peraturan, karena demokrasi memberikan gerak yang luas kepada masyarakat. Demokrasi mendudukkan rakyat sebagai raja dalam politik dan kuasa memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupan, termasuk kebijakan negara. Demokrasi adalah menerapkan hak-hak politik berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau menjalankan kedaulatan yang mutlak berada di tangan rakyat.
            Nurcholis Madjid memandang demokrasi sebagai pandangan hidup (way of life). Berkaitan dengan pandangan tersebut, demokrasi sebaiknya bercirikan pada tujuh substansi sebagai berikut :[2]
1.      Prinsip pentingnya kesadaran kemajemukan
2.      Keinsyafan akan makna dan semangat musyawarah yang menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk menerima kemungkinan terjadinya kompromi atau bahkan kalah suara.
3.      Sejalan dengan tujuan.
4.      Masyarakat yang demokratis disyaratkan mempunyai nilai kejujuran dalam proses pemusyawaratan.
5.      Terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat.

6.      Adanya kerja sama dan saling percaya antar warga negara untuk saling mendukung secara fungsional.
7.      Adanya pendidikan demokrasi yang sehat.

B.     Demokrasi dan Islam
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat, khususnya oleh mayoritas pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik, rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik, tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila dilepaskan dari ikatan label dan semantik, maka akan didapatkan bahwa pemerintahan Islam apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran, Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa alRasyidin) di sisi lain.
Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.
Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer.
Ketiga, akuntabilitas. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada
rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.
Prinsip demokrasi merupakan akibat dari adanya prinsip musyawarah. Dalam musyawarah terdapat hal-hal yang harus dijadikan bahan pertimbangan, yaitu :[3]
1.      Berbagai pandangan dan pendapat yang berbeda.
2.      Berbagai kepentingan politik yang beraneka ragam.
3.      Tingkat kecerdasan intelektual dan emosional yang berbeda.
4.      Cara dan strategi politik yang berbeda.
5.      Keyakinan ideollogis yang berbeda.
6.      Situasi dan kondisi yang berbeda.
7.      Keberpihakan pada institusi politik yang berbeda.
Dalam konteks pollitik praktis di Indonesia, amanat demokrasi dalam kemajemukan di atas dibangun dan diwujudkan ke dalam bentuk Pemilihan Umum dengan sistem multi partai. Jika menengok ke belakang, yaitu sejarah Nabi Muhammad yang telah membangun demokrasi melalui Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah, yakni dokumen politik yang diproduk oleh seorang pemimpin besar. Dokumen politik yang amat penting tersebut dibuat oleh Nabi Muhammad untuk kepentingan politik dalam upaya menyatupadukan hubungan persaudaraan antara Yahudi, Nasrani dan Muslim. Tiga kelompok besar itu terdiri dari kaum Muhajirin, Anshar dan Yahudi serta sekutu-sekutunya. Setelah disistematisasi menjadi 47 pasal, kandungan maksud Piagam Madinah, lebih mudah dimengerti. Didalamnya bukan sekedar konstitusi pasal demi pasal, tetapi menggambarkan komposisi penduduk Madinah saat itu, bahkan menjadi bukti sejarah dengan situasi dan kondisi saat itu.[4]
Piagam Madinah merupakan undang-undang buatan Nabi yang diciptakan untuk merekonsiliasi umat manusia saat itu, terutama di kalangan Muhajirin, Anshar dan Yahudi. Di samping itu masyarakat Arab yang dikenal sukuistik diarahkan pada integritas kepentingan politik yang menjamin kebersamaan dan terlayaninya berbagai kepentingan.
Dengan pemahaman tersebut, Piagam Madinah dapat ditafsirkan seabagai wujud dari upaya politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam mendiskusikan dalam berbagai kepentingan sosisal politik yang pluralistik. Kemajemukan suku-suku di Arab, agama yang berbeda-beda dan kepentingan politik, diintegrasikan melalui Piagam Madinah. Oleh karena itu, piagam madinah adalah alat demokratisasi.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya :[5]
1.      Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
2.      Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam.
Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
3.      Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
4.      Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut :
pertama, menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Kedua, wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. Ketiga, mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah. Keempat, komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yangbermoral yang duduk di parlemen.

C.     Prinsip-Prinsip Demokrasi Dalam Islam
Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam meliputi :[6]
1.      Syura
Merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an, diantaranya :
‘’Lalu dikumpulkan Ahli-ahli sihir pada waktu yang ditetapkan di hari yang ma'lum.’’ (QS. Asy-Syuraa : 38)

 
‘’Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.’’ (QS. Ali-Imran : 159)
Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah.
2.      al-‘adalah
Adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain :

 
‘’Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.’’ (QS. An-Nahl : 90)


            ‘’Allah berfirman : ‘’Jangan takut (mereka tidak akan membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat kami (mukjizat-mukjizat) sesungguhnya kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan)‘’. (QS. Asy-Syuraa : 15)

 
‘’Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.’’ (QS. Al-Maidah :8)

 
‘’Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.’’ (QS. An-Nisa’ : 58)
3.      al-Musawah
Adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.

‘’Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.’’ (QS. Al-Hujurat : 13)
4.       al-Amanah
Adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT :

  
‘’Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.’’ (QS. An-Nisa’ : 58)
5.      al-Masuliyyah
Adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
6.      al-Hurriyyah
Adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
D.    Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Demokrasi
Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Persamaannya adalah :[7]
1.  Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, melainkan berdasarkan pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
2. Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
3. Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.
Perbedaannya adalah sebagai berikut :
1. Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.
2. Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
3. Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah tanpa mendapat sanksi.










Penutup

A.    Kesimpulan
Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Secara etimologi demokrasi berarti “pemerintahan oleh rakyat”. Piagam Madinah merupakan undang-undang buatan Nabi yang diciptakan untuk merekonsiliasi umat manusia saat itu, terutama di kalangan Muhajirin, Anshar dan Yahudi. Kemajemukan suku-suku di Arab, agama yang berbeda-beda dan kepentingan politik, diintegrasikan melalui Piagam Madinah. Oleh karena itu, piagam madinah adalah alat demokratisasi.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi :
1.         syura,
2.          al-‘adalah,
3.          al-musawah,
4.          al-amanah,
5.          al-masuliyyah,
6.          al-hurruriyah.

B.     Saran
Besar harapan, makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu  sumber bacaan atau rujukan. Dan makalah ini pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Daftar Pustaka

            Ahmad Saebani Beni, Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2007)
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar