Demokrasi Dalam Islam
A. Pengertian
Demokrasi
Kata demokrasi yang bahasa
Inggrisnya democracy berasal dari
kata dalam bahasa Yunani yaitu demos
yang artinya rakyat, dan kratos
berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi
langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan
demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang terjadi di Yunani
kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan
perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui
lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang
penduduknya banyak dan wilayahnya luas.[1]
Secara etimologi demokrasi berarti
“pemerintahan oleh rakyat”. Inilah yang membedakan demokrasi dengan
istilah-istilah pemerintahan lainnya di mana tidak mempunyai hak paten dari
rakyat. Amerika mendefinisikan demokrasi sesuai dengan apa yang diucapkan oleh
Presiden ke-16 mereka, Abraham Lincoln (1809-1865) : “Pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dengan kata lain di dalam demokrasi terdapat
partisipasi rakyat luas (public)
dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat.
Gagasan
utama dalam demokrasi adalah bahwa semua kekuasaan diberikan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Hampir setiap gerakan politik mengatasnamakan
demokrasi sebagai hak asasi politik yang sakral dan luhur yang harus
terus-menerus diagungkan dalam peraturan politik.
Demokrasi adalah cerminan dari suatu
proses budaya dalam menjabarkan konsep kekuasaan dari masyarakat. Kebudayaan
yang pada hakikatnya merupakan upaya dialektis masyarakat untuk menjawab
tantangan yang dihadapkan pada setiap perkembangan peraturan, karena demokrasi
memberikan gerak yang luas kepada masyarakat. Demokrasi mendudukkan rakyat
sebagai raja dalam politik dan kuasa memberikan ketentuan dalam masalah-masalah
pokok mengenai kehidupan, termasuk kebijakan negara. Demokrasi adalah
menerapkan hak-hak politik berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau
menjalankan kedaulatan yang mutlak berada di tangan rakyat.
Nurcholis Madjid memandang demokrasi
sebagai pandangan hidup (way of life).
Berkaitan dengan pandangan tersebut, demokrasi sebaiknya bercirikan pada tujuh
substansi sebagai berikut :[2]
1. Prinsip
pentingnya kesadaran kemajemukan
2. Keinsyafan
akan makna dan semangat musyawarah yang menghendaki atau mengharuskan adanya
keinsyafan dan kedewasaan untuk menerima kemungkinan terjadinya kompromi atau
bahkan kalah suara.
3. Sejalan
dengan tujuan.
4. Masyarakat
yang demokratis disyaratkan mempunyai nilai kejujuran dalam proses
pemusyawaratan.
5. Terpenuhinya
kebutuhan pokok masyarakat.
6. Adanya
kerja sama dan saling percaya antar warga negara untuk saling mendukung secara
fungsional.
7. Adanya
pendidikan demokrasi yang sehat.
B. Demokrasi
dan Islam
Banyak kalangan non-muslim (individual dan
institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi
dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi
menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup
terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya
Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid
Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi
serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha
mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang
lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan
diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang
dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary,
demokrasi dapat didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat, khususnya oleh
mayoritas pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan
dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem
perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang
diadakan secara periodik, rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber
otoritas politik, tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan
atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya
kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi
yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam.
Apabila dilepaskan dari ikatan label dan semantik, maka akan didapatkan bahwa
pemerintahan Islam apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki
setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran,
Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa alRasyidin) di sisi lain.
Pertama,
konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang
`’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the
governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan
dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain
yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan
Sunnah.
Kedua,
partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan
struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini
bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan
dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan
populer.
Ketiga,
akuntabilitas. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada
rakyat
dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam
secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam
tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu,
khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah
al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif
umat Islam) sekaligus.
Prinsip
demokrasi merupakan akibat dari adanya prinsip musyawarah. Dalam musyawarah
terdapat hal-hal yang harus dijadikan bahan pertimbangan, yaitu :[3]
1. Berbagai
pandangan dan pendapat yang berbeda.
2. Berbagai
kepentingan politik yang beraneka ragam.
3. Tingkat
kecerdasan intelektual dan emosional yang berbeda.
4. Cara
dan strategi politik yang berbeda.
5. Keyakinan
ideollogis yang berbeda.
6. Situasi
dan kondisi yang berbeda.
7. Keberpihakan
pada institusi politik yang berbeda.
Dalam
konteks pollitik praktis di Indonesia, amanat demokrasi dalam kemajemukan di
atas dibangun dan diwujudkan ke dalam bentuk Pemilihan Umum dengan sistem multi
partai. Jika menengok ke belakang, yaitu sejarah Nabi Muhammad yang telah
membangun demokrasi melalui Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah, yakni
dokumen politik yang diproduk oleh seorang pemimpin besar. Dokumen politik yang
amat penting tersebut dibuat oleh Nabi Muhammad untuk kepentingan politik dalam
upaya menyatupadukan hubungan persaudaraan antara Yahudi, Nasrani dan Muslim.
Tiga kelompok besar itu terdiri dari kaum Muhajirin, Anshar dan Yahudi serta
sekutu-sekutunya. Setelah disistematisasi menjadi 47 pasal, kandungan maksud
Piagam Madinah, lebih mudah dimengerti. Didalamnya bukan sekedar konstitusi
pasal demi pasal, tetapi menggambarkan komposisi penduduk Madinah saat itu,
bahkan menjadi bukti sejarah dengan situasi dan kondisi saat itu.[4]
Piagam
Madinah merupakan undang-undang buatan Nabi yang diciptakan untuk
merekonsiliasi umat manusia saat itu, terutama di kalangan Muhajirin, Anshar
dan Yahudi. Di samping itu masyarakat Arab yang dikenal sukuistik diarahkan
pada integritas kepentingan politik yang menjamin kebersamaan dan terlayaninya
berbagai kepentingan.
Dengan
pemahaman tersebut, Piagam Madinah dapat ditafsirkan seabagai wujud dari upaya
politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam mendiskusikan dalam berbagai
kepentingan sosisal politik yang pluralistik. Kemajemukan suku-suku di Arab,
agama yang berbeda-beda dan kepentingan politik, diintegrasikan melalui Piagam
Madinah. Oleh karena itu, piagam madinah adalah alat demokratisasi.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi
sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya :[5]
1. Dalam
demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu
yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang
menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
2. Usaha
setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam.
Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan
nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum
termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan
hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan
suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia
telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
3. Penetapan
hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip
Islam.
Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam
syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih
salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara
terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika
suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang
diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah
penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara
mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat
secara tegas.
4. Kebebasan
pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan
sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Menurut Salim Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung
sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif
yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan
rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah
penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap
menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan
adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut :
pertama, menetapkan tanggung
jawab setiap individu di hadapan Allah. Kedua, wakil rakyat harus
berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. Ketiga, mayoritas
bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan
Sunnah. Keempat, komitmen terhadap islam terkait dengan
persyaratan jabatan sehingga hanya yangbermoral yang duduk di parlemen.
C. Prinsip-Prinsip
Demokrasi Dalam Islam
Prinsip-prinsip Demokrasi dalam
Islam meliputi :[6]
1. Syura
Merupakan suatu prinsip tentang cara
pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an,
diantaranya :
‘’Lalu dikumpulkan Ahli-ahli sihir pada
waktu yang ditetapkan di hari yang ma'lum.’’ (QS. Asy-Syuraa : 38)
‘’Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.’’ (QS. Ali-Imran : 159)
Dalam praktik kehidupan umat Islam,
lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi
pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang
bertugas memilih kepala negara atau khalifah.
2. al-‘adalah
Adalah keadilan, artinya dalam
menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus
dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti
pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh
Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain :
‘’Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.’’ (QS. An-Nahl : 90)
‘’Allah
berfirman : ‘’Jangan takut (mereka tidak akan membunuhmu), maka pergilah kamu
berdua dengan membawa ayat-ayat kami (mukjizat-mukjizat) sesungguhnya kami
bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan)‘’. (QS. Asy-Syuraa : 15)
‘’Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.’’ (QS. Al-Maidah :8)
‘’Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.’’ (QS. An-Nisa’ :
58)
3. al-Musawah
Adalah kesejajaran, artinya tidak
ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan
kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat,
berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan
demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
‘’Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.’’ (QS. Al-Hujurat : 13)
4. al-Amanah
Adalah sikap pemenuhan kepercayaan
yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau
amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin
atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan
kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini
terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT :
‘’Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.’’ (QS. An-Nisa’ :
58)
5. al-Masuliyyah
Adalah tanggung jawab. Sebagaimana
kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus
diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi
seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini
mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di
depan rakyat dan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn
Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan
sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip
pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang
berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan
demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid
al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan
umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan
dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat
atau umat ditinggalkan.
6.
al-Hurriyyah
Adalah
kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan
kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan
dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq
al-karimah dan dalam rangka al-amr
bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa
untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak
adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya
keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka
kezaliman akan semakin merajalela.
D. Persamaan
dan Perbedaan antara Islam dan Demokrasi
Dr.
Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam
dan demokrasi. Persamaannya adalah :[7]
1. Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang
diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan
legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh
kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau
Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada alQuran dan
Hadist, ijma, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam,
bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan
terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif
yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh
didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, melainkan
berdasarkan pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
2. Demokrasi
seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu
pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus
memahami Islam secara komprehensif.
3. Demokrasi
adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas
persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan,
realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti
hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam
Islam.
Perbedaannya
adalah sebagai berikut :
1. Demokrasi
yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah,
iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata
lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang
digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas
wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan
akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah
satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan
lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat
internasional.
2.
Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa
adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi
ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya
pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan
kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan
duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
3.
Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan.
Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan,
kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak
mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat
tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, alQuran dan asSunnah
tanpa mendapat sanksi.
Penutup
A.
Kesimpulan
Kata
demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy
berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos
yang artinya rakyat, dan kratos
berarti pemerintahan. Secara etimologi demokrasi berarti “pemerintahan oleh
rakyat”.
Piagam Madinah merupakan undang-undang buatan Nabi yang diciptakan untuk
merekonsiliasi umat manusia saat itu, terutama di kalangan Muhajirin, Anshar
dan Yahudi. Kemajemukan suku-suku di Arab, agama yang berbeda-beda dan kepentingan
politik, diintegrasikan melalui Piagam Madinah. Oleh karena itu, piagam madinah
adalah alat demokratisasi.
Prinsip-prinsip
demokrasi dalam Islam meliputi :
1.
syura,
2.
al-‘adalah,
3.
al-musawah,
4.
al-amanah,
5.
al-masuliyyah,
6.
al-hurruriyah.
B.
Saran
Besar
harapan, makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber bacaan atau rujukan. Dan makalah ini
pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat
diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Daftar Pustaka
Ahmad Saebani Beni, Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam
(Bandung : Pustaka Setia, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar