Hukum
Materiil dan Formil di Pengadilan Agama
Dalam dunia peradilan termasuk
lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk
dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi
dua, yaitu Hukum Materiil dan Hukum Formil yang sering disebut hukum acara.
A. Pengertian
Hukum Materiil dan Formil
Hukum
materiil yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan
hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum formil yaitu hukum
yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. Dengan
kata lain, hukum yang memuat peraturan yang mengenai cara-cara mengajukan suatu
perkara ke muka pengadilan dan tata cara hakim memberi putusan.[1]
B. Hukum
Materiil Peradilan Agama
Hukum
materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefenisikan
sebagai fikih. Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan
hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab
karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda, sering
menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk
mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan disisi lain,
dikeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 23 Taahun 1954
yang mengatur hukum tentang perkawinan, talak dan rujuk. Undang-Undang ini
kemudian ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal
18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1947 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.[2]
Dalam
surat biro peradilan tersebut dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan
hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab yakni :
Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in, Syarqawi ‘Alat Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al-Mahalli,
Fatkhul Wahab, Tuhfah, Targhib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya,
Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, Syamsuri Li Faraid, Bughyat
Al-Musytarsyidin, Al-Fiqih Al Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-Muhtaj.[3]
Sebagai
kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya pun belum merupakan
hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang disahkan oleh
pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum positif adalah hukun yang
tertulis, dan hukum yang menjadi pedoman Peradilan Agama masih dianggap bahwa
hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. Hal ini
dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim
mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Untuk
menjembatani hal tersebut maka sejak tanggal 02 Januari 1974 pemerintah
mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini
disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, dan ini merupakan awal pergeseran hukum islam menjadi hukum tertulis.
Namun bagian lain dari perkawinan seperti Kewarisan dan Wakaf masih di luar
hukum tertulis sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan oleh
Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama karena pengambilan dan dasar hukumnya
dari kitab fikih yang berbeda.
Pada
sisi lain negara-negara Islam juga memberlakukan hukum Islam dalam Peraturan
Perundang-undangannya. India pada masa Raja Al-Rijeb membuat dan memberlakukan
hukum islam sebagai undang-undang yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi
hukum Islam.
Atas
dasar itu semua dan untuk memperoleh kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum
islam setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi
hukum tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB
Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985
tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam.
Dengan SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama,
melakukan loka karya dan hasil pengkajian, penalaahan kitab kemudian ditambah
dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya seperti Maroko, Turki dan
Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi naskah kompilasi, diajukan
oleh Menteri Agama kepada Presiden tanggal 14 Maret 1988 tentang Pembentukan
Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk
menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama.[4]
Untuk
menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan waktu yang terlalu
panjang sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat mendesak. Oleh karena itu,
pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggunakan instrumen hukum
Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal
19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan
Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No.
154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran
Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan
sekaligus menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Perwakafan sebagai pedoman dan menyesuaikan masalah-masalah hukum
Islam yang terjadi. Di samping itu, dalam surat Keputusan Menteri Agama
tersebut memerintahkan agar Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama agar mengoordinasi pelaksanaannya.[5]
Kemudian
dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka ruang lingkup
Peradilan Agama diperluas tugas dan wewenangnya, yaitu :[6]
1. Perkawinan
2. Kewarisan
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Shadaqah
8. Infaq
9. Ekonomi
syari’ah
Dalam
pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah : bank
syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah,
pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah, bisnis syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah.
C. Hukum
Formil Peradilan Agama
Meskipun
lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah dibentuk oleh Pemerintah
Belanda dengan Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl.1937 No 116 dan 610, di Kalimantan
Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah kemerdekaan RI,
pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan
Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957 tetapi dalam peraturan tersebut tidak
disinggung sama sekali tentang hukum acara yang harus digunakan oleh hakim
dalam memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak
ada ketentuan resmi tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka
para hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama
mengambil inti sari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fikih yang dalam
penerapannya berbeda antar satu Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama lainnnya.[7]
Oleh
karena hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk
Jawa dan Madura. Reglement Voor De
Buitengwesten (R.Bg) untuk luar Jawa dan Madura, maka kedua aturan hukum
acara ini diberlakukan juga di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang
telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama tersebut.
Adapun
sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakkukan juga
untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut :[8]
1. Reglement
op de Burgerlijk Rechsvordering (B.Rv)
Hukum
acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang
berperkara di muka Raad van Justie
dan Residentie Gerecht. Ketentuan ini
ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 dan Stbl. 1849 No. 63. Berlaku sejak
tanggal 01 Mei 1848.
Dengan
dihapuskannya Raad van Justie dan Hoogerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah
tidak berlaku lagi. Tetapi oleh karena hal yang diatur dalam B.Rv masih banyak
yang relevan dengan perkembangan hukum acara saat ini, dan untuk mengisi
kekosongan hukum, maka ketentuan-ketentuan tersebut masih dipakai dalam
pelaksanaan Hukum Acara Perdata dilingkungan Peradilan Umum. Misalnya, tentang
formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, dan ketetntuan hukum acara
perdata lainnya.
2. Inlandsch
Reglement (IR)
Ketentuan
hukum acara lain diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang
berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan
ketentuan hukum acara ini diubah namanya menjadi Het Herziene Indonesia Reglement (HIR) atau disebut juga Reglement Indonesia yang diperbarui RIB
yang diberlakukan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
3. Rechtsregelement
Voor De Buitengwesten (R.Bg)
Ketentuan
hukum acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang
berada diluar Jawa dan Madura yang berperkara di Landraad.
Bab
II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7 titel, yang masih
digunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah seberang adlah titel IV dan
V, sedangkan titel I, II, III, VI dan VII tidak digunakan lagi seiring dengan
dihapuskannya Pengadilan Districgerecht, Districtraad, Magistraadgerecht,
Residentiegerecht dan R. van Justitie.
4. Burgerlijk
Wetboek Voor Indonesia (BW)
BW
yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian,
yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.
5. Wetboek
van Koophandel (WvK)
WvK
yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
juga terdapat sumber Hukum Acara Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam
praktik peradilan.
WvK
diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23 khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23,
225, 258, 272, 273, 274 dan 275.
6. Peraturan
Perundang-undangan
a. Undang-Undang
No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan
Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk daerah luar jawa dan Madura diatur dalam
Pasal 199-205 R.Bg.
b. Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
telah diubah dan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir keduanya
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa
ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam praktik Peradilan di Indonesia.
c. Undang-Undang
No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang
Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara
di Mahkamah Agung RI.
d. Undang-Undang
No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-Undang ini diatur tentang
Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur
beracara di lingkungan Peradilan Umum tersebut.
e. Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut.
f. Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 54 disebutkan bahwa hukum
acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara
yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali hal-hal lain yang telah diatur secara
khusus.
g. Inpres
No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari 3 buku, yaitu Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Wakaf.
7. Yurisprudensi
Dalam
kamus Fockerna Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, S.H (1998 :
14) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan
yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi
yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim
tidak boleh terikat dalam putusan yurisprudensi terasebut, sebab negara
Indonesia tidak menganut asas ‘’ the
binding force of precedent’’, jadi bebas memilih antara meninggalkan
yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah
mendapat keputusan sebelumnya.
8. Surat
Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang
Surat Edaran Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan
hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan
terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.
Surat
edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI ini banyak pakar hukum menganggap bahwa
Mahkamah Agung RI sudah mencampuri urusan hakim dalam menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya sebagaimana yang diatur pada Pasal 195 HIR dan R.Bg
sekaligus tampaknya pendapat tersebut ada benarnya tetapi apabila dilihat Pasal
10 ayat (4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang baru, disebutkan
dalam pasal 11 ayat (4) ditegaskan bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang berada dibawahnya
berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Dalam
rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah Agung RI berwenang memberikan
petunjuk apabila dianggap perlu agar suatu masalah hukum tidak menyimpang dari
aturan yang telah ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirian hakim dalam
menyelesaikan suatu perkara yang dianjurkan kepadanya.
9. Doktrin
atau Ilmu Pengetahuan
Menurut
Sudikno Mertokusumo (1988 :8), doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan hukum
acara guna, hakim dapat mengadili hukum acara perdatta. Doktrin itu bukan
hukum, melainkan sumber hukum.
Sebelum
berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau
ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim peradilan agama dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang
tersebut dalam kitab-kitab fikih. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama
Departemen Agama No. B/ 1/ 1735 Tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan
peraturan pemerintahan No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama
di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum
dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama
dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam
kitab fikih.
Dengan
menunjukkan kepada 13 buah kitab fikih, diharapkan hakim Peradilan Agama dpat
mengambil atau menyerahkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk
dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang dianjurkan
kepadanya dilingkungan Peradilan Agama.
Beberapa
asas hukum acara peradilan agama, antara lain :[9]
1. Pemeriksaan
perkara dimulai setelah diajukan gugatan/permohonan,
2. Pengadilan
tidak boleh menolak memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukum
tidak ada atau tidak jelas,
3. Peradilan
dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
4. Putusan
dan penetapan dimulai dengan kalimat ‘’Bismillahirrahmanirrahim’’,
5. Pengadilan
mengadili dengan menurut hukum dan dengan tidak membeda-bedakan orang,
6. Pengadilan
dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan,
7. Sidang
pengadilan terbuka untuk umum kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain
atau jika hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara
sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian
dilakukan sidang tertutup,
8. Rapat
pemusyawaratan hakim bersifat rahasia,
9. Penetapan
dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Kesimpulan
1.
Hukum materiil yaitu hukum yang mengatur
kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan
larangan. Hukum formil yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan
hukum materiil.
2.
Sebelum tahun 1991, yakni sebelum
lahirnya KHI, hukum materiil Peradilan Agama merupakan hukum tidak tertulis,
karena masih berserakan di berbagai kitab-kitab fikih dan pada tahun 1958 sudah
diarahkan hanya pada 13 kitab saja.
3.
Hukum formil sebelum berlakunya UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hukum acara Peradilan Agama masih mengambil
dari kitab-kitab fikih, karenanya kemungkinan terjadinya perbedaan sangat
besar. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang
berlaku di Pengadilan Umum (HIR dan Rbg) kecuali hal-hal yang diatur dalam UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989.
Daftar
Pustaka
Djalil
A Basiq, Peradilan Agama di Indonesia
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar