kotak diskusi

kotak diskusi

Senin, 23 Februari 2015

Hukum Materiil dan Formil di Pengadilan Agama




Hukum Materiil dan Formil di Pengadilan Agama

            Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi dua, yaitu Hukum Materiil dan Hukum Formil yang sering disebut hukum acara.
A.    Pengertian Hukum Materiil dan Formil
Hukum materiil yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum formil yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. Dengan kata lain, hukum yang memuat peraturan yang mengenai cara-cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan tata cara hakim memberi putusan.[1]
B.     Hukum Materiil Peradilan Agama
Hukum materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefenisikan sebagai fikih. Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu yang karena dari segi sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukumnya tentang masalah yang sama, maka untuk mengeleminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan disisi lain, dikeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 23 Taahun 1954 yang mengatur hukum tentang perkawinan, talak dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1947 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.[2]
Dalam surat biro peradilan tersebut dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukan 13 kitab-kitab yakni : Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in, Syarqawi ‘Alat Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al-Mahalli, Fatkhul Wahab, Tuhfah, Targhib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, Syamsuri Li Faraid, Bughyat Al-Musytarsyidin, Al-Fiqih Al Madzahib Al-Arba’ah, dan Mughni Al-Muhtaj.[3]
Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung didalamnya pun belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Bagi yang berpendapat hukum positif adalah hukun yang tertulis, dan hukum yang menjadi pedoman Peradilan Agama masih dianggap bahwa hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi oleh ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Untuk menjembatani hal tersebut maka sejak tanggal 02 Januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan ini merupakan awal pergeseran hukum islam menjadi hukum tertulis. Namun bagian lain dari perkawinan seperti Kewarisan dan Wakaf masih di luar hukum tertulis sehingga masih banyak terjadinya perbedaan putusan oleh Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama karena pengambilan dan dasar hukumnya dari kitab fikih yang berbeda.
Pada sisi lain negara-negara Islam juga memberlakukan hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangannya. India pada masa Raja Al-Rijeb membuat dan memberlakukan hukum islam sebagai undang-undang yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri. Turki Utsmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-Adliyah. Sudan pada tahun 1983 mengodifikasi hukum Islam.
Atas dasar itu semua dan untuk memperoleh kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum islam setidak-tidaknya di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dengan SKB tersebut dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama, melakukan loka karya dan hasil pengkajian, penalaahan kitab kemudian ditambah dengan studi banding ke negara-negara Islam lainnya seperti Maroko, Turki dan Mesir dan setelah semua data yang terkumpul menjadi naskah kompilasi, diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden tanggal 14 Maret 1988 tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama.[4]
Untuk menjadikan Kompilasi sebagai undang-undang memerlukan waktu yang terlalu panjang sedangkan kebutuhan hukum sudah sangat mendesak. Oleh karena itu, pemerintah mengambil jalan pintas yaitu dengan menggunakan instrumen hukum Instruksi Presiden, maka lahirlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan sekaligus menggunakan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagai pedoman dan menyesuaikan masalah-masalah hukum Islam yang terjadi. Di samping itu, dalam surat Keputusan Menteri Agama tersebut memerintahkan agar Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama agar mengoordinasi pelaksanaannya.[5]
Kemudian dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 7  Tahun 1989 dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas tugas dan wewenangnya, yaitu :[6]
1.      Perkawinan
2.      Kewarisan
3.      Wasiat
4.      Hibah
5.      Wakaf
6.      Zakat
7.      Shadaqah
8.      Infaq
9.      Ekonomi syari’ah
Dalam pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah : bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, bisnis syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah.
C.     Hukum Formil Peradilan Agama
Meskipun lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura telah dibentuk oleh Pemerintah Belanda dengan Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl.1937 No 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957 tetapi dalam peraturan tersebut tidak disinggung sama sekali tentang hukum acara yang harus digunakan oleh hakim dalam memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena tidak ada ketentuan resmi tentang hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, maka para hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama mengambil inti sari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fikih yang dalam penerapannya berbeda antar satu Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama lainnnya.[7]
Oleh karena hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura. Reglement Voor De Buitengwesten (R.Bg) untuk luar Jawa dan Madura, maka kedua aturan hukum acara ini diberlakukan juga di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut.
Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakkukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut :[8]

1.      Reglement op de Burgerlijk Rechsvordering (B.Rv)
Hukum acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van Justie dan Residentie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 dan Stbl. 1849 No. 63. Berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848.
Dengan dihapuskannya Raad van Justie dan Hoogerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Tetapi oleh karena hal yang diatur dalam B.Rv masih banyak yang relevan dengan perkembangan hukum acara saat ini, dan untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan-ketentuan tersebut masih dipakai dalam pelaksanaan Hukum Acara Perdata dilingkungan Peradilan Umum. Misalnya, tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, dan ketetntuan hukum acara perdata lainnya.
2.      Inlandsch Reglement (IR)
Ketentuan hukum acara lain diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah namanya menjadi Het Herziene Indonesia Reglement (HIR) atau disebut juga Reglement Indonesia yang diperbarui RIB yang diberlakukan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
3.      Rechtsregelement Voor De Buitengwesten (R.Bg)
Ketentuan hukum acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang berada diluar Jawa dan Madura yang berperkara di Landraad.
Bab II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7 titel, yang masih digunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah seberang adlah titel IV dan V, sedangkan titel I, II, III, VI dan VII tidak digunakan lagi seiring dengan dihapuskannya Pengadilan Districgerecht, Districtraad, Magistraadgerecht, Residentiegerecht dan R. van Justitie.
4.      Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.
5.      Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga terdapat sumber Hukum Acara Perdata, sebagai sumber penerapan acara dalam praktik peradilan.
WvK diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23 khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275.
6.      Peraturan Perundang-undangan
a.       Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk daerah luar jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.
b.      Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir keduanya dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata dalam praktik Peradilan di Indonesia.
c.       Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung RI.
d.      Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-Undang ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum tersebut.
e.       Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut.
f.       Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 54 disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali hal-hal lain yang telah diatur secara khusus.
g.      Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari 3 buku, yaitu Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Wakaf.
7.      Yurisprudensi
Dalam kamus Fockerna Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, S.H (1998 : 14) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak boleh terikat dalam putusan yurisprudensi terasebut, sebab negara Indonesia tidak menganut asas ‘’ the binding force of precedent’’, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat keputusan sebelumnya.
8.      Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang Surat Edaran Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.
Surat edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI ini banyak pakar hukum menganggap bahwa Mahkamah Agung RI sudah mencampuri urusan hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana yang diatur pada Pasal 195 HIR dan R.Bg sekaligus tampaknya pendapat tersebut ada benarnya tetapi apabila dilihat Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang baru, disebutkan dalam pasal 11 ayat (4) ditegaskan bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang berada dibawahnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah Agung RI berwenang memberikan petunjuk apabila dianggap perlu agar suatu masalah hukum tidak menyimpang dari aturan yang telah ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirian hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang dianjurkan kepadanya.
9.      Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988 :8), doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan hukum acara guna, hakim dapat mengadili hukum acara perdatta. Doktrin itu bukan hukum,  melainkan sumber hukum.
Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fikih. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/ 1/ 1735 Tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan peraturan pemerintahan No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam kitab fikih.
Dengan menunjukkan kepada 13 buah kitab fikih, diharapkan hakim Peradilan Agama dpat mengambil atau menyerahkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang dianjurkan kepadanya dilingkungan Peradilan Agama.
Beberapa asas hukum acara peradilan agama, antara lain :[9]
1.      Pemeriksaan perkara dimulai setelah diajukan gugatan/permohonan,
2.      Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau tidak jelas,
3.      Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
4.      Putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat ‘’Bismillahirrahmanirrahim’’,
5.      Pengadilan mengadili dengan menurut hukum dan dengan tidak membeda-bedakan orang,
6.      Pengadilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan,
7.      Sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian dilakukan sidang tertutup,
8.      Rapat pemusyawaratan hakim bersifat rahasia,
9.      Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.


  
 
Kesimpulan

1.         Hukum materiil yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum formil yaitu hukum yang mengatur cara-cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil.
2.         Sebelum tahun 1991, yakni sebelum lahirnya KHI, hukum materiil Peradilan Agama merupakan hukum tidak tertulis, karena masih berserakan di berbagai kitab-kitab fikih dan pada tahun 1958 sudah diarahkan hanya pada 13 kitab saja.
3.         Hukum formil sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hukum acara Peradilan Agama masih mengambil dari kitab-kitab fikih, karenanya kemungkinan terjadinya perbedaan sangat besar. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum (HIR dan Rbg) kecuali hal-hal yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989.


Daftar Pustaka

Djalil A Basiq, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar